"Tiga Februari 1993. Itu tanggal lahirku, kan? Kenapa di antara semua angka, kau justru menggunakan rangkaian dari tanggal lahirku untuk jadi sandi rumahmu?"
"Ah..." Eric membuka mulutnya, namun tidak tahu harus berkata apa saat tiba-tiba kegugupan menyerangnya karena Vivi yang saat ini menatapnya dengan curiga.
"Kita merayakannya setiap tahun, kan!" Eric berkata dengan semangat saat akhirnya menemukan alasan untuk disampaikan pada Vivi. "Sejak 5 tahun yang lalu, kita selalu merayakan ulang tahunmu bersama-sama di lokasi syuting, karena itu aku jadi sangat ingat tanggalnya. Bukan karena aku sengaja ingin mengingatnya! Tapi itu karena aku memang selalu bekerja denganmu setiap kali kau ulang tahun."
Vivi menatap Eric dalam diam. Alasan pria itu masuk akal, dan itulah yang membuat Vivi jadi merasa kecewa sekarang.
"Sungguh, itu karena‒"
"Aku tahu!" Vivi menyela ucapan Eric dengan nada yang agak ketus. "Tapi bukankah harusnya kau minta izin lebih dulu padaku sebelum memakai tanggal lahirku sembarangan?"
"Minta izin? Kenapa aku harus‒ Oi! Mau ke mana?"
Eric belum selesai protes saat Vivi sudah lebih dulu meninggalkannya. Membuatnya bingung melihat wanita itu tiba-tiba kelihatan marah padanya untuk alasan yang tidak ia mengerti.
"Tapi... Bisa-bisanya aku pakai sandi dari tanggal lahirnya!" Eric memukul kepalanya sendiri saat ingat kebodohan yang telah dilakukannya.
"Untungnya itu hanya Bibi Vivi. Jika wanita lain, aku bisa kena skandal hanya karena menjadikan tanggal lahirnya sebagai sandi pintuku."
***
"Selamat ulang tahun, cintaku Vivi. Kuharap kau bisa terus sehat dan bahagia dan kita akan terus merayakan ulang tahunmu bersama-sama seperti ini sampai seratus tahun lagi."
Di dalam kamarnya yang hanya diterangi oleh cahaya dari lampu meja, Vivi tersenyum menatap layar ponselnya yang sedang menampilkan video lama antara dirinya dan Eric. Video yang diambil saat ulang tahunnya 2 tahun yang lalu, yang dirayakan di sela-sela waktu syuting drama yang diperankannya bersama Eric.
Sejak 5 tahun lalu, karena Vivi selalu merayakan ulang tahunnya di lokasi syuting Eric yang juga selalu mendappatkan pekerjaan yang sama dengannya itu akan ikut merayakan ulang tahunnya juga bersama para kru dan penggemar yang datang ke lokasi syuting. Dan karena banyak penggemar yang datang, untuk menyenangkan mereka biasanya Vivi dan Eric akan saling bersikap romantis.
"Tapi... Tidak mungkin semuanya ini hanya akting, kan?" gumam Vivitanpa melepaskan pandangan dari layar ponselnya. Kedua matanya menatap sendu wajah Eric yang sedang tertawa lepas di sisinya yang sedang memotong kue ulang tahun. Tawanya benar-benar sangat lepas hingga rasanya Eric lebih bahagia dari dirinya yang sedang berulang tahun.
"Mungkin ada beberapa yang akting, tapi pasti ada juga yang tulus, kan?"
Vivi mencoba mengingat, namun tidak benar-benar merasa yakin dengan ketulusan Eric. Nyatanya semua hal romantis yang selama ini mereka lakukan di depan kamera hanya untuk keperluan syuting atau untuk sekadar menyenangkan hati para penggemar yang selalu mendukung mereka berdua untuk menjalin hubungan.
Kemudian Vivi ingat saat dirinya berpura-pura menderita alzheimer agar bisa berada di sisi Eric meski harus berakting sebagai Hana. Berbohong seperti itu saja sebenarnya sudah sangat menyakitkan bagi Vivi. Namun bagian yang tak kalah menyakitkan adalah karena Eric tidak pernah benar-benar bersimpati padanya dan menerimanya dengan sangat terpaksa.
"Tidak apa-apa. Tidak apa-apa." Vivi memejamkan kedua matanya sambil memeluk ponselnya di dadanya. Mencoba menghibur dirinya agar tidak menangis saat cinta sepihaknya yang menyedihkan pada Eric membuat dadanya jadi terasa sangat sesak.
"Aku yang memilih untuk menyimpan cinta ini sendirian. Eric sama sekali tidak salah apa-apa. Ini semua hanya tentang perasaanku sendiri. Aku tidak bisa menganggapnya jahat hanya karena dia tidak memiliki perasaan yang sama denganku."
Vivi membuka matanya dengan terkejut saat mendengar bunyi notifikasi pesan masuk. Ia dengan buru-buru memeriksa pesan tersebut saat berpikir jika mungkin Eric yang mengirim pesan untuknya.
Namun Vivi jadi kecewa saat melihat jika Lucas lah yang mengirimkan pesan untuknya.
'Jangan lupa minum obatmu dan segera tidur setelahnya. Jangan begadang untuk alasan apapun. Aku menunggumu di rumah sakit besok untuk pemeriksaan rutin.'
"Dia ini selalu begini pada semua pasiennya atau hanya padaku saja jadi secerewet ini?" gerutu Vivi sambil membalas pesan Eric dengan mengirimkan sebuah stiker lucu untuk pria itu.
Tapi kemudian Vivi menghela napas panjang saat kembali terpikirkan tentang Eric.
"Pasti aku akan ssenang sekali jika Eric yang begini padaku. Ini terasa seperti orang cerewet yang yang menyebalkan jika orang lain yang menyampaikannya, tapi jika itu Eric aku pasti akan merasa sangat diperhhatikan jika dia sampai mengirimiku pesan seperti itu."
***
"Dia tidak jadi kesal karena berpikir aku menyukainya, kan? Dia tidak mungkin berpikir aku menyukainya hanya karena aku menggunakan tanggal lahirnya untuk dijadikan sandi pintuku, kan?"
Sementara itu di saat yang sama dengan Vivi yang sedang menggalaukan Eric, di dalam kamarnya yang sudah dimatikan lampu utamanya itu Eric juga sedang menggalaukan tentang Vivi.
Yang Eric sendiri juga tidak mengerti mengapa dirinya jadi merasa galau begini hanya karena Vivi.
"Tentu saja tidak mungkin! Mana mungkin dia bisa berpikir jika aku menyukainya? Dia itu kan bibi-bibi yang bodoh!" gerutu Eric.
"Dulu saja dia tidak pernah sadar jika aku menyukainya padahal sudah kutunjukkan dengan sangat jelas! Dia itu batu! Bibi-bibi yang terbuat dari batu! Tidak mungkin mengerti tentang cinta-cintaan seperti itu!"
Eric jadi ingat masa beberapa tahun yang lalu. Di awal-awal saat dirinya mulai menjadi pasangan Vivi dalam drama dan film.
Vivi wanita yang sangat cantik dan berkepribadian cerah. Meski kadang cerewet dan suka marah-marah, namun kehadirannya seperti matahari terbit di ladang bunga matahari. Atau setidaknya itulah yang Eric rasakan. Tentang bagaimana dulu dirinya pernah menjadi setangkai bunga matahari yang hanya selalu menatap pada satu matahari yang bersinar dengan terangnya yang bernama Vivi.
Namun masa-masa itu sudah berlalu sekarang. Masa-masa cintanya yang berteppuk sebelah tangan. Yang rasanya sangat berat untuk terus mencintai wanita yang menjadi kesayangan semua orang sementara wanita itu tidak pernah memiliki perasaan yang sama dengannya.
"Tapi dulu aku bahagia sekali," pikir Eric saat ingat bagaimana dulu dirinya selalu bersemangat untuk pergi bekerja karena itu adalah saat dirinya bisa bertemu Vivi.
"Apakah aku menyerah terlalu cepat? Bagaimana bisa aku menyerah begitu saja tanpa pernah benar-benar berjuang?" pikir Eric. "Lagipula mau disesali sekarang pun juga sudah terlambat. Aku sudah tidak menyukainya lagi sekarang."
Eric memejamkan kedua matanya, mencoba untuk tidur agar dirinya tidak perlu lagi memusingkan tentang perasaannya yang telah lalu pada Vivi. Namun saat wajah polos Vivi yang menganggap dirinya adalah Hana tiba-tiba terbersit di dalam benaknya, kedua mata Eric kembali terbuka dengan sebuah ide yang muncul begitu saja.
"Apa... Apa jika aku mencoba untuk mencintainya lagi aku bisa merasakan kebahagiaan yang seperti dulu lagi? Tidak apa-apa meski itu Hana, setidaknya kali ini aku tidak akan mmerasa bertepuk sebelah tangan lagi. Haruskah aku mencoba mewujudkan perasaanku yang sudah terkubur?"
**To Be Continued**