"Apa ini? Kenapa tidak bisa?"
Di depan pintu apartemen Eric, Vivi kelihatan gusar karena tidak bisa membuka pintu tersebut. Ia telah mencoba memasukkan sandi yang selama ini diketahuinya, namun sandinya salah terus hingga kini ia harus menunggu beberapa menit untuk bisa kembali membuka pintu tersebut.
"Apa itu tanggal lahirnya? Atau tanggal film pertamanya rilis?" pikir Vivi yang mencoba memecahkan sandi rumah Eric sambil berjongkok di sebelah pintu.
"Tapi kenapa dia jahat sekali tiba-tiba mengganti sandi pintunya tanpa mengatakan apapun padaku? Memangnya apa yang sudah kulakukan padanya hingga dia kesal sekali aku ada di rumahnya? Aku bersih-bersih, mencuci pakaian, bahkan menyiapkan makanan untuknya! Dia harusnya senang ada pelayan cantik yang tinggal di rumahnya tanpa perlu dibayar!"
Vivi terus menggerutu, namun semakin berusaha membenarkan tindakannya ia jadi semakin merasa betapa mengganggunya apa yang dilakukannya saat ini jika dilihat dari sisi Eric yang sama sekali tidak mencintainya.
"Salah sendiri tidak mau mencintaiku! Jika dia juga mau membalas perasaanku pasti semuanya tidak akan jadi serumit ini! Jika dia juga mencintaiku, pasti menyenangkan bisa tinggal bersama!"
Dan karena tidak tahu harus melakukan apa jika mundur sekarang, jadi Vivi memutuskan untuk terus bersikap keras kepala.
"Setidaknya jika begini dia pasti akan membuka pintunya," gumamnya seraya memainkan kedua ibu jarinya di layar ponselnya.
***
"Ya?"
"Ini pesan antar dari restoran ayam goreng."
Eric menatap layar intercom dengan kening berkerut, merasa heran karena dirinya sama sekali tidak memesan ayam goreng. "Aku tidak pesan ayam goreng!"
Pengantar yang kelihatannya masih sangat muda itu kelihatan bingung. Ia menundukkan kepalanya, menatap Vivi yang masih terus berjongkok untuk menyembunyikan dirinya dari kamera intercom sambil menutupi rambut dan separuh wajahnya dengan jaket agar pengantar itu tidak tahu jika dirinya adalah Vivianne.
"Tapi alamatnya sudah benar," kata pengantar itu setelah Vivi memberinya isyarat untuk terus memaksa Eric agar mau menerima pesanannya.
"Tapi aku tidak pesan, tuh!" Dan Eric masih bersikeras untuk menolaknya.
"Tapi pesanannya belum dibayar dan sudah tidak bisa dibatalkan lagi. Aku tidak bisa pergi sebelum kau membayar ayam gorengnya."
Eric menghela napas panjang. Merasa tidak punya pilihan lain, ia mengambil dompetnya dan membuka pintu untuk membayar ayam goreng yang tidak dipesannya itu agar pengantar tersebut segera pergi dan tidak mengganggunya lagi.
Namun baru saja membuka sedikit pintunya, seseorang mendorong pintu tersebut lebih lebar dan berlari masuk hingga membuat kedua mata Eric melotot kaget.
"Apa itu?" tanya Eric pada pengantar ayam goreng. "Pencuri?"
"Ayam gorengnya," kata pengantar itu berusaha menahan Eric yang hendak melihat siapa orang yang sudah masuk ke dalam rumahnya. "Tolong cepat dibayar dulu."
***
Eric duduk dengan kedua tangan terlipat dada, menatap tajam pada Vivi yang saat ini sedang menatapnya denga wajah kalem.
"Jadi sekarang kau ini Vivianne? Bibi Vivi?" tanya Eric yang membuat Vivi memicing tak senang padanya. Yang tanpa perlu dijawab lagi Eric sudah yakin tebakannya benar karena hanya Vivi yang bisa memberinya tatapan seperti itu jika dirinya menyebut wanita itu 'bibi'.
"Lalu jika kau sudah kembali pada akal sehatmu mengapa kau justru bersikap seperti ini? Kau tidak tahu jika menerobos rumah orang lain sembarangan itu bisa dilaporkan pada polisi?"
"Apa maksudnya aku kembali pada akal sehatku? Kau pikir selama ini aku gila? Aku sedang sakit, sialan!"
"Oh, tapi kau kelihatan sangat sehat sekarang hingga bisa mengumpatiku seperti itu."
Vivi menghela napas kasar. Meski Eric membuatnya sangat kesal sekarang, namun ia harus mengalah karena saat ini dirinya sedang membutuhkan bantuan pria itu.
"Kenapa kau mengganti sandi rumahmu tanpa memberitahuku?" tanya Vivi. Sudah berusaha keras untuk tidak terdengar kesal yang sayangnya Eric justru menanggapinya dengan nada tinggi yang seperti sengaja ingin memancing pertengkaran.
"Ini kan rumahku! Mau ganti sandi 10 kali sehari juga terserah aku! Kenapa harus minta izin padamu, hah? Memangnya kau ikut menyumbang saat aku beli rumah ini? Tidak, kan? Ya sudah!"
Vivi mengepalkan kedua telapak tangannya, merasa sangat kesal karena pria di hadapannya ini sangat tengil. Namun lebih kesal pada dirinya sendiri yang masih saja tidak bisa berhenti mencintai pria tengil itu.
"Ini sakit, lho! Kau tahu bagaimana syoknya aku saat sadar dan mendapati tanganku sudah seperti ini? Aku tidak ingat apa yang sudah terjadi, tapi aku masih menanggung rasa sakitnya walaupun tidak tahu apa-apa!"
Vivi berkata sambil menunjukkan bekas luka di pergelangan tangan kirinya yang sudah memudar‒yang sebenarnya hanya luka goresan yang sengaja ia buat untuk memantapkan aktingnya sebagai Hana dan membuat Eric merasa bersalah karena telah membuatnya jadi seperti itu. Membuat Lucas lagi-lagi harus berbohong demi pasien nomor satunya itu.
"Lalu kau ingin aku bagaimana?" tanya Eric. "Kau pikir aku tidak bingung? Aku yang paling bingung di sini! Kau selalu mendatangiku sebagai orang lain dan memaksaku untuk mengikuti permainanmu! Memangnya kau pikir kau ini siapa sampai aku harus ikut bertanggung jawab pada keadaanmu seperti itu?"
Ucapan Eric terasa seperti sebuah pukulan keras di hati Vivi. Wanita itu menatap Eric dengan pandangan terluka sebelum berkata, "Jadi menurutmu aku ini bukan siapa-siapa meski kita selalu bekerja bersama sejak 5 tahun lalu?"
Sekarang Eric yang jadi bingung. Merasa sangat heran mengapa Vivi bersikap sok tersakiti begini padahal dirinya yang pertama mulai menganggap dirinya bukan siapa-siapa. Eric hanya ingin balas dendam, naun jadi tidak enak hati melihat Vivi terluka karena ucapannya.
"Itu‒"
"Ya sudah, aku bisa apa jika kau menganggap diriku ini tidak ada artinya?" Vivi memotong ucapan Eric, tidak memberi kesempatan pada pria itu untuk membela diri. "Sepertinya hanya aku saja yang menganggap jika kebersamaan kita selama ini istimewa."
"Istimewa apanya?" tanya Eric bingung. "Oi! Bibi Vivi, kau mau ke mana?" serunya saat melihat Vivi beranjak dari duduknya.
"Kau yang paling tahu sekeras apa industri tempat kita berada sampai-sampai aku tidak bisa mempercayai siapapun. Siapapun, kecuali dirimu yang kupikir sudah kuketahui luar-dalamnya," ujar Vivi dengan nada sedih yang membuat Eric terdiam.
"Tapi jika kau bahkan tidak menganggapku siapa-siapa..." Vivi menggantungkan ucapannya, kemudian dengan senyuman getir yang menghiasi wajahnya ia menambahkan, "Aku hanya akan berakhir sendirian tanpa siapapun yang bisa kupercaya di dunia ini. Entah itu sebagai Vivianne atau Hana, akhirnya aku hanya akan sendirian karena kau yang sama sekali tidak perrnah menganggapku."
Vivi membalikkan tubuhnya untuk melangkah pergi meninggalkan tempat itu. Namun baru beberapa langkah, seruan Eric berhasil membuat langkahnya terhenti.
"030293," kata Eric. "Sandi pintu yang baru."
Vivi membalikkan tubuhnya dan menatap Eric dengan bingung. Dibandingkan alasan mengapa Eric tiba-tiba memberitahunya sandi pintunya yang baru, ada hal lain yang membuat Vivi merasa jauh lebih bingung.
"Tiga Februari 1993. Itu tanggal lahirku, kan?" tanya Vivi. "Kenapa di antara semua angka, kau justru menggunakan rangkaian dari tanggal lahirku untuk jadi sandi rumahmu?"
**To Be Continued**