"Kau pikir kau siapa? Jangan membuatku merasa malu begini. Tolong pergilah!"
Eric duduk di tepi tempat tidur yang selama 2 hari ini digunakan oleh Vivi. Wajah Vivi serta apa yang wanita itu katakan padanya sesaat sebelum pintu lift tertutup tidak mau berhenti mengganggunya, terus berputar-putar di dalam kepalanya. Membuatnya tidak tenang dan merasa sangat aneh.
"Itu benar. Mengapa aku harus peduli? Memangnya aku siapa? Aku bukan siapa-siapanya! Yang benar saja, apa aku benar-benar terbawa suasana sampai menganggap jika diriku ini Aiden sungguhan?"
Tatapan Eric lalu jatuh pada sebuah jaket yang tergantung di balik pintu. Jaket berwarna merah itu bukan miliknya, melainkan milik Vivi.
"Lihat itu, dia meninggalkan jaketnya! Tsk, bagaimana dia bisa pergi keluar di cuaca sedingin ini tanpa mengenakan jaket? Wanita lemah yang mudah kena flu itu, apa dia sudah gila? Sepertinya dia memang sengaja ingin sakit agar tidak perlu pergi bekerja!" Eric bersungut-sungut sambil membawa jaket tersebut keluar.
"Ya ampun, aku mulai lagi!" Eric menghentikan langkahnya di ruang tengah. Ia meletakkan tangan kanan di pinggangnya sementara tangan kirinya mengangkat jaket milik Vivi di depan wajahnya. "Memangnya aku peduli? Kenapa juga aku harus peduli! Biarkan saja dia tidak pakai jaket. Dia sendiri yang tidak mengizinkanku untuk melihatnya!"
Eric melanjutkan langkahnya menuju kamarnya setelah melepaskan jaket Vivi dari tangannya dan membuatnya teronggok di lantai.
Tapi baru dua langkah berjalan Eric lagi-lagi berhenti lalu menolehkan kepalanya ke arah jaket tersebut. "Jaket ini benar-benar makan tempat jika terus dibiarkan ada di rumahku. Aku harus segera menyingkirkannya!"
***
Mendekati jam makan siang, bel di apartemen Eric berbunyi. Eric yang memang telah mengundang orang tersebut untuk datang hanya membuka pintu sedikit untuk mengeluarkan tangan kirinya yang menenteng jaket milik Vivi. "Kembalikan ini pada nonamu!"
"Tuan Eric!" Wendy berseru memanggil Eric sambil buru-buru menahan pintu yang akan ditutup dengan kedua tangannya, membuatnya kini dapat melihat wajah Eric. "Apa kau tahu di mana Nona Vivi?"
Alis kiri Eric terangkat. "Tidak ada di apartemennya?" tanyanya.
"Tidak ada. Dia juga sama sekali tidak bisa dihubungi," sahut Wendy. Wanita muda itu menggenggam jaket Vivi erat-erat dengan kekhawatiran yang terlukis jelas di wajahnya. "Bagaimana jika sakitnya Nona Vivi tiba-tiba kambuh dan dia bertingkah aneh lagi di tempat umum? Meski dia punya banyak penggemar, dia juga memiliki banyak orang yang tidak menyukainya. Di mana dia sekarang? Apa dia akan baik-baik saja jika sendirian seperti ini?"
Eric lama terdiam dengan wajah serius sebelum mengerjapkan matanya dengan ekspresi terkejut seolah baru menyadari sesuatu. Ia lalu menyingkirkan tangan Wendy dari pintunya.
"Itu tugasmu untuk mengkhawatirkannya, bukan tugasku. Cepat cari dia jika kau benar-benar khawatir!" ketus Eric sebelum menutup pintu dengan kasar.
Namun tidak lama pintu kembali terbuka dan kepala Eric tersembul keluar. "Hubungi aku jika kau sudah menemukannya!"
"Menghubungimu, Tuan?"
"Bukan karena aku khawatir! Kau jangan salah paham!"
"Aku... Aku tidak berpikir begitu," kata Wendy sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Bibi Vivi... Dia..." Eric berhenti sejenak, wajahya tampak seperti sedang berpikir sebelum melanjutkan perkataannya. "Ada barangku yang terbawa olehnya dan aku harus memastikan jika ia tidak menghilangkannya. Itu sangat berharga untukku."
"Baik, Tuan."
"Aku tidak mengkhawatirkannya, lho!"
"Aku mengerti, Tuan."
"Baiklah." Eric mengangguk-anggukkan kepalanya. "Cepat temukan nonamu!"
Kali ini Eric benar-benar menutup pintu dan tidak membukanya lagi hingga membuat Wendy bisa pergi untuk mencari Vivi. Namun saat sudah duduk di ruang tengah, menatap aparetemen mewahnya yang terasa sangat kosong karena kini hanya dirinya saja yang ada di sana, Eric langsung bangkit dari duduknya.
"Dia tidak pernah menemukan tempat persembunyian yang baru. Jadi aku pasti bisa menemukannya di salah satu tempat yang bisa dia kunjungi untuk bersembunyi."
***
"Aku tahu kau tidak benar-benar ingin menghilang."
Vivi yang sejak tadi duduk melamun di depan danau buatan di taman yang sangat sepi hingga nyaris tidak ada pengunjungnya ini menolehkan kepalanya dengan terkejut saat tiba-tiba mendengar suara seseorang.
Itu adalah Eric, yang berjalan menghampirinya dengan kedua telapak tangan pria itu yang tersimpan di dalam saku celananya.
"Apa yang kau lakukan di sini?" Vivi bertanya dengan nada tidak senang setelah Eric duduk di sampingnya.
Namun dengan nada yang terdengar menyebalkan, Eric justru membalik pertanyaan Vivi dengan berkata, "Kau yang sedang melakukan apa di tempat ini? Jika memang ingin bersembunyi dan tidak ingin ditemukan siapapun, kau harusnya pergi ke tempat yang benar-benar rahasia, kan?"
"Ini juga tempat yang rahasia. Tidak banyak orang yang tahu."
"Tapi aku tahu."
"Kau selalu tahu tempat persembunyianku. Menyebalkan!"
Eric menyeringai kecil, merasa sedikit lega karena setidaknya Vivi yang jadi ketus padanya ini lebih membuatnya nyaman dibandingkan Vivi saat menjadi Hana yang hanya selalu bersikap manis dan baik padanya.
"Kau tidak ke rumah sakit?" tanya Eric setelah beberapa saat mereka berdua hanya terdiam.
"Aku sudah baik-baik saja sekarang," sahut Vivi.
"Tidak mau ke rumah sakit?"
"Aku sudah minum obatku."
"Ah, jadi ada obatnya juga?"
Vivi tidak menjawab pertanyaan Eric lagi, membuat pria itu menatapnya yang saat ini memeluk kedua lututnya sambil menumpukan dagunya di atas lutut dengan tatapan kosongnya yang tertuju ke arah danau.
"Apa benar-benar tidak bisa disembuhkan lagi?"
Vivi menolehkan kepalanya pada Eric, yang kini berada dalam posisi memeluk lutut yang sama dengan dirinya.
"Sudah terlambat," jawab Vivi. "Pengobatan yang kujalani hanya akan memperlambat prosesnya, namun setelah waktunya tiba maka aku akan benar-benar kehilangan semua ingatan tentang hidup yang kujalani saat ini dan hanya menjalani hidupku sebagai Hana."
"Kenapa harus Hana?" tanya Eric. "Kau punya banyak peran lain sebagai wanita yang hebat, tapi kenapa kau justru terjebak dengan peran sebagai seorang pelayan yang menyedihkan?"
"Tapi menurutku Hana itu tidak menyedihkan. Dia justru wanita yang sangat beruntung yang membuatku sangat iri padanya," sahut Vivi yang membuat Eric mengangkat sebelah alisnya dengan wajah bingung.
"Bagaimana bisa seorang aktris kaya sepertimu merasa iri pada pelayan seperti Hana?"
"Karena dia memiliki Aiden," jawab Vivi sambil menatap langsung pada kedua mata Eric. "Dia memiliki pria yang sangat mencintainya dan rela mengorbankan apapun untuknya. Dia dicintai dengan cara yang sangat luar biasa oleh pria yang juga sangat ia cintai. Cinta mereka yang sangat tulus pada satu sama lain benar-benar membuatku sangat iri."
"Ya, cinta mereka luar biasa sekali sampai rasanya tidak masuk akal. Aku tidak akan pernah mau mengambil peran untuk kisah cinta yang tidak masuk akal seperti itu lagi. Film seperti itu bisa mencuci otak, termasuk yang dilakukannya padamu!"
Ucapan Eric membuat Vivi mendengus pelan, merasa agak kesal karena pria itu justru membenci film favorit yang diperankannya.
"Tapi... Kau tahu kan, aku tidak bisa selamanya mengikuti perrmainanmu seperti itu."
Vivi kembali menoleh pada Eric saat mendengar ucapan serius pria itu.
"Aku ini bukan Aiden dan aku punya kehidupanku sendiri sebagai Eric. Jika akhirnya kau akan selamanya menjadi Hana... Kurasa kau harus menemukan Aiden milikmu sendiri yang benar-benar tulus mencintaimu," ucap Eric.
"Tapi tidak ada orang lain yang bisa menjadi Aiden bagi Hana selain dirimu."
"Tapi aku tidak mau terus jadi Aiden!" Kali ini Eric agak meninggikan suaranya, menegaskan pada Vivi jika dirinya benar-benar tidak menyukai hal tersebut.
"Aku serius bersimpati pada apa yang menimpamu. Itu benar-benar mengejutkan karena kau tiba-tiba muncul dengan kondisi seperti itu. Tapi... Kita ini bukan siapa-siapa dan aku punyahidup sendiri yang ingin kunikmati sendiri tanpa terganggu olehmu," jelas Eric.
Vivi hanya diam saja, jadi Eric bertanya, "Kau dengar, kan? Aku bukannya ingin membuatmu tersinggung, lho. Aku hanya ingin menyampaikan isi hatiku. Aku benci jika harus terus berakting seperti itu bahkan di dunia nyata."
"Aku mengerti. Aku akan berhenti dari semua aktivitasku di dunia hiburan dan fokus pada pengobatanku saja," ujar Vivi.
"Itu bagus. Memang seharusnya begitu," kata Eric sambil mengeluarkan ponselnya yang berdering. Yang kemudian membuatnya mendecakkan lidahnya kesal saat melihat nama manajernya yang tertera di layar ponselnya.
"Kau harus berusaha keras untuk sembuh karena aku juga akan bekerja keras untuk jadi semakin populer," ujar Eric seraya bangkit dari duduknya. Yang kemudian membuat Vivi mengerang kesal padanya saat tangannya dengan jahil mengacak-acak rambut wanita itu.
"Pulanglah, Bibi vivi! Cuacanya jadi semakin dingin dan mungkin akan segera turun hujan," kata Eric sebelum benarr-benar meninggalkan Vivi.
"Dasar bodoh!" dengus Vivi sambil kembali meletakkan dagunya di atas lututnya. "Apa dia tidak mengerti saat kukatakan padanya bahwa aku tidak akan pernah bisa disembuhkan lagi?"
**To Be Continued**