Eric duduk di sofa ruang tengahnya dengan kedua kaki yang berada di atas meja dan tangan terlipat di depan dada. Televisi yang menyala menyiarkan acara musik, namun kedua mata Eric tertuju pada Vivi yang sedang sibuk mengepel lantai.
Meski tampaknya serius sekali, namun terlihat sangat jelas jika Vivi tidak bisa melakukan pekerjaan rumah dengan benar. Wanita itu membuat lantai menjadi sangat basah dan aroma dari pembersih lantai tercium kuat karena takaran yang berlebihan.
"Kau tidak bisa mengepel?" tanya Eric yang membuat Vivi menoleh padanya. "Aku tidak bisa pergi ke mana-mana karena kau membuat lantainya sangat basah!"
Vivi memperhatikan sekelilingnya dan wajahnya langsung berubah sedih saat menyadari dirinya tidak mengepel dengan benar. Melihat hal itu Eric mendecakkan lidahnya. "Letakkan alat pel lantai itu!"
"Tapi aku belum selesai."
"Ada Bibi yang akan datang dan bersih-bersih. Kau tidak usah membersihkan apapun lagi."
"Tidak usah bersih-bersih? Jadi aku hanya perlu memasak?" tanya Vivi.
"Masak juga tidak perlu! Aku akan beli makanan di luar."
Vivi terdiam untuk beberapa saat dan hanya menatap kedua mata Eric dengan tatapan bingung. "Lalu sebagai pelayanmu, apa yang harus kulakukan?"
"Tidak ada! Aku tidak butuh pelayan."
Jawaban ketus Eric kembali membuat Vivi terdiam. Namun tidak lama suara isakan wanita itu mulai terdengar, membuat Eric bingung. "Oi! Mengapa kau menangis? Bibi Vivi, kau kenapa?"
Vivi menggigit bibir bawahnya sementara kedua tangannya mencoba menghapus air mata yang tidak mau berhenti mengalir dari kedua matanya. Ia lalu menatap Eric dengan masih terisak-isak. "Tuan... Tuan sudah tidak memerlukanku lagi?"
"Bukan begitu, maksudku. Hei! Hentikan dulu tangisanmu!"
"Aku sudah tidak dibutuhkan lagi di sini."
"Bukan begitu!"
"Jika Tuan mengusirku, lalu aku harus pergi ke mana? Hanya Tuan satu-satunya yang mau menerimaku di du‒"
"Oi! Bibi Vivi!"
Bentakan Eric berhasil menghentikan ratapan Vivi. Wanita itu menatap Eric dengan wajah terkejut, namun kemudian menangis lebih keras sambil menutupi wajahnya. "Tuan bahkan sudah melupakan namaku dan terus memanggilku dengan nama yang tidak kukenal. Siapa itu Bibi Vivi? Aku ini Hana... Hana, Tuan!"
"Ya Tuhan..." Eric menyembunyikan wajahnya di kedua telapak tangannya, terlihat sangat frustrasi. Ia lalu menopang dagunya dengan telapak tangan kirinya yang ditumpukan di paha kirinya, menatap Vivi yang masih terus menangis.
"Hentikan," kata Eric. "Aku akan mengusirmu sekarang juga jika kau tidak menghentikan tangisanmu."
Vivi langsung menjauhkan kedua tangan dari wajahnya, menatap Eric sambil menarik ingusnya dengan sisa isakan yang membuat bahunya terguncang-guncang. Eric mendecih melihat wanita itu yang tengah menatapnya sambil menghapus air matanya. "Apa kau sedang berakting sekarang? Mengapa kau cepat sekali menghentikan tangisanmu?"
"Ka-karena kau bilang akan mengusirku," sahut Vivi dengan diiringi cegukannya.
"Duduk!" Vivi mematuhi perintah Eric dan langsung duduk dengan kepala tertunduk. "Dengar, aku tidak butuh pelayan di apartemen ini."
"Tuan..." Suara Vivi kembali terdengar serak, membuat Eric mendesis kesal hingga Vivi tidak berani menatapnya lagi.
"Aku tidak ingin kau jadi pelayanku. Berhentilah memanggilku tuan!"
"Apa itu artinya aku dipecat?"
"Iya, kau dipecat!" seru Eric. Namun sebelum Vivi menangis lagi ia dengan cepat menambahkan, "Ada tempat yang bisa kau tinggali di sebuah kawasan elite yang sangat nyaman. Tempat itu bagus dan kau bisa menempatinya dengan gratis. Carilah pekerjaan yang bagus, jangan jadi pelayan!" kata Eric yang sebenarnya sedang membicarakan apartemen mewah milik Vivi.
Vivi tidak menjawab, hanya diam dengan kepala tertunduk. Eric mencoba mengintip wajah wanita itu, namun tidak bisa melihat ekspresi wajahnya. "Apartemen itu sangat mewah. Di sana juga ada banyak pakaian dan sepatu bagus yang bisa kau pakai. Kau pasti akan senang dan betah di tempat itu," bujuk Eric.
"Aku akan belajar masak dengan benar dan membuatkanmu makanan yang enak, Tuan." Vivi berkata dengan suaranya yang pelan dan bergetar. "Aku juga akan belajar mengepel dengan benar dan melakukan pekerjaan rumah dengan baik."
"Kau tidak harus melakukan semua itu. Kau tidak harus menjadi pelayanku."
Wajah Vivi terangkat. Kedua matanya yang menatap Eric tidak berhenti mengalirkan air mata. "Aku hanya ingin bisa terus bersamamu dan melayanimu. Kumohon, biarkan aku terus di sini, Tuan."
Eric menatap kedua mata yang menangis itu dengan serius. Vivianne yang dikenalnya, aktris yang menjadi idola dari berbagai kalangan itu, adalah aktris yang bisa menangis hanya dalam waktu kurang dari 3 detik. Saat wanita itu berakting tertawa ia akan membuat orang yang melihatnya ikut tertawa. Dan ketika ia berakting menangis orang yang melihatnya akan ikut merasakan penderitaannya.
Dan sekarang, Vivi yang menangis dengan suaranya yang menyayat itu membuat hati Eric terasa sakit. Pria itu mengangkat tangan kirinya, menyentuh pipi Vivi yang basah. Air mata wanita itu terasa hangat saat menyentuh kulitnya. Bahkan wajah wanita itu kini sudah memerah.
Tanpa mengucapkan apapun, Eric menghapus air mata Vivi dengan perlahan. Itu bukan hal yang baru pertama kali ini ia lakukan mengingat ia sering menghapus air mata wanita ini di depan sorotan kamera. Namun hal yang baru kali ini ia rasakan adalah hatinya yang bergetar karena air mata tersebut. Hatinya yang terasa sakit saat melihat wanita itu menangis dengan pilu.
"Bibi Vivi, aku‒"
"E-Eric..."
Gerakan Eric terhenti begitu saja saat tiba-tiba Vivi memanggil namanya dengan dahi berkerut dalam. Wanita itu memundurkan wajahnya sambil meringis, membuat tangan Eric yang masih berada di pipinya kini menggantung di udara. Vivi menggigit bibir bawahnya kuat-kuat dan dengan wajah meringis ia mengedarkan kedua matanya dengan liar, terlihat sangat kebingungan.
"Bibi Vivi... Kau memanggilku apa tadi?" tanya Eric. Tangannya nyaris menyentuh bahu Vivi saat wanita itu memilih untuk berdiri.
"Mengapa aku ada di sini? I-ini... Aah..." Vivi menghentikan ucapannya dan berbalik memunggungi Eric, membungkuk sambil mengaduh kesakitan dengan tangannya yang memegangi kepalanya.
"Kau mengingatnya?" Eric membawa tubuhnya ke depan Vivi lalu memegang kedua bahu wanita itu. "Kau sudah ingat? Kau bisa mengingat siapa aku?"
Vivi menatap Eric dengan kedua matanya yang dibayangi air mata lalu dengan kasar menghempaskan tangan pria itu dari bahunya. "Kau pikir aku kenapa? Apa kau pikir aku akan melupakan semua orang? Apa menurutmu aku separah itu?!"
Eric terdiam. Wanita itu kini terlihat marah di tengah usahanya menahan rasa sakit yang membuatnya tidak bisa untuk berhenti meringis.
"Lupakan. Tolong lupakan ini," kata Vivi lalu melewati tubuh Eric dengan langkah terhuyung. Eric yang masih terkejut terdiam di tempatnya untuk beberapa saat sebelum memutuskan untuk menyusul wanita itu.
"Vivi!" Eric menahan pintu lift yang sudah hampir tertutup dengan kedua tangannya. "Biar aku menganta‒"
"Kau pikir kau siapa?" Perkataan Vivi terdengar dingin meski suaranya bergetar. "Jangan membuatku merasa malu begini. Tolong pergilah!"
Ucapan Vivi membuat Eric menjauhkan kedua tangannya dari pintu lift, membiarkan lift itu perlahan tertutup sambil terus memandangi wajah Vivi yang enggan menatapnya. Hingga akhirnya lift itu benar-benar tertutup dan membawa Vivi turun ke lantai dasar, Eric masih mematung di tempatnya.
"Itu benar," gumam Eric. "Memangnya aku siapa? Mengapa aku harus peduli?"
Wajah Vivi yang menangis saat memohon untuk diizinkan tinggal bersamanya beberapa saat yang lalu kembali terbayang di benak Eric. Kedua mata yang benar-benar menangis sedih dan air mata yang terasa hangat. Hanya dengan mengingatnya, sesuatu di dalam tubuhnya berdenyut dengan cara yang menyakitkan. Tangisan Vivi yang membuat hatinya terasa sakit itu benar-benar sesuatu yang aneh bagi Eric.
"Aku sudah tahu ini. Kau memang wanita yang kejam, Vivianne. Tapi... Kau apakan aku hingga perasaanku jadi kacau seperti ini?"
**To Be Continued**