"Selamat pagi, Tuan!"
"Selamat pa‒ Ya ampun!" Eric yang menuangkan air ke dalam gelas dengan kedua mata nyaris tertutup itu langsung berteriak kaget saat menyadari Vivi lah yang telah menyapanya. "Ka-kau… Kau…"
"Ada apa, Tuan? Mengapa kau terkejut begitu?" tanya Vivi bingung.
"Sial!" Eric membalikkan tubuhnya memunggungi Vivi, menggosok-gosok wajahnya dengan cepat lalu merapikan rambutnya yang berantakan. Ia lalu kembali menghadap Vivi tanpa menatap wanita itu. "Oi, Bibi Vivi! Biasanya aku sangat tampan saat bangun tidur."
"Apa?"
"Jangan berpikir yang aneh-aneh karena aku sedikit berantakan pagi ini. Aku hanya sedikit kelelahan, karena itu aku bangun dengan keadaan berantakan. Biasanya aku sudah tampan sejak bangun tidur!"
"Tuan…" Eric mengangkat wajahnya saat mendengar tawa pelan Vivi. "Apa sekarang kau malu karena aku melihat wajah baru bangun tidurmu?"
"Oi!" seru Eric kesal. "Kau berani mentertawakanku, hah? Kau ingin mati?"
"Ti-tidak. Aku tidak bermaksud begitu, Tuan. Maafkan aku yang sudah sangat lancang. A-aku… Aku…"
Mulut Eric terbuka dengan sendirinya saat melihat Vivi yang minta maaf berkali-kali padanya dengan wajah ketakutan. "Kau berlebihan sekali. Hei! Aku tidak akan benar-benar membunuhmu hanya karena hal ini."
"Terima kasih, Tuan. Aku benar-benar menyesal, aku tidak akan mentertawakanmu lagi," kata Vivi sambil dengan penuh kesungguhan menunjukkan penyesalannya pada Eric.
Eric memiringkan kepalanya, menatap Vivi dengan aneh sebelum membalikkan tubuhnya. Namun baru 2 langkah ia kembali berbalik pada wanita itu. "Oi, Bibi Vivi! Ini aneh sekali! Mengapa kau terus-menerus minta maaf hanya karena hal kecil, hah? Kau membuatku merinding jika seperti itu!"
"Maaf, Tuan. Aku tidak bermaksud membuatmu merinding. Aku… Aku minta maaf." Kepala Vivi terus tertunduk, tidak berani menatap Eric. Dan hal tersebut tentu saja membuat Eric semakin kesal.
"Angkat wajahmu!" perintah Eric yang langsung membuat Vivi mengangkat wajahnya. "Apa yang kau tertawakan tadi? Apa kau mentertawakan wajahku? Wajahku terlihat aneh hingga kau mentertawakannya?"
"Tidak, Tuan! Itu tidak benar! Kau sangat tampan!" Vivi menyangkal hal tersebut sambil menggeleng-gelengkan kepalanya berkali-kali dengan menunjukkan wajah seriusnya pada Eric.
Eric mengerjap-ngerjapkan kedua matanya sebelum berdeham pelan dengan gelagat yang tampak salah tingkah. Ia merasa aneh saat mendengar Vivi memujinya tampan karena biasanya wanita itu tidak pernah kehabisan ide untuk mengejek wajahnya dan menyamakannya dengan benda atau makhluk apa saja yang jelek.
"Ja-jangan memujiku tampan seperti itu! Aneh mendengarnya darimu," kata Eric. Yang meski ingin menyampaikannya dengan tegas pada Vivi agar wanita itu mengerti namun justru tidak dapat menahan dirinya dari rasa gugup yang membuat ucapannya jadi terbata-bata.
"Sebut aku babi atau bapak tua seperti biasanya agar aku juga bisa mengejekmu! Jika kau memujiku seperti itu…" Eric berhenti sejenak, lalu bicara lagi dengan suara yang lebih pelan. "Aku tidak tahu harus balas memujimu seperti apa."
Vivi menatap Eric dengan bingung, membuat Eric menjadi frustrasi. "Jangan membuatku merasa aneh di hari sepagi ini, Bibi Vivi! Tolong ejek aku, kumohon! Itu akan membuatku merasa lebih baik!"
Vivi mengusap-usap tengkuknya sebelum menunjuk bibir Eric tanpa berani mengarahkan kedua matanya untuk menatap apa yang ada di sana. "Itu… Ada bekas air liur di sekitar bibirmu, Tuan."
"Air liur?" Eric menyentuh sudut bibirnya dengan ujung telunjuk sebelum menjadi panik dan memelototkan kedua matanya pada Vivi saat merasakan bekas air liurnya yang telah mengering di sana. "Ini bukan air liur! Ini bekas aku minum tadi!" sangkal Eric sambil mengusap-usap bibirnya dengan telapak tangan kanannya. Masih sambil melotot pada wanita itu karena sepertinya ia sedang berusaha keras untuk menyembunyikan rasa malunya.
"Maaf, Tuan. Tuan benar, itu bukan air liur. Aku yang salah lihat. Aku yang salah. Kumohon maafkan aku, Tuan!" Vivi kembali menundukkan kepalanya dalam-dalam sambil meminta maaf berkali-kali pada Eric.
Eric berhenti mencoba membersihkan bekas air liurnya dan menghela napas bosan saat melihat kepala Vivi yang tertunduk takut. "Oi! Bukan begitu caranya! Saat kau mengejekku, meski aku berteriak kesal padamu kau tidak boleh takut! Terus saja ejek dan tertawakan aku, tidak usah minta maaf atau merasa takut!"
"Tapi, Tuan‒"
"Angkat wajahmu!" Lagi-lagi perintah Eric itu membuat Vivi langsung mengangkat wajahnya seolah memattuhi setiap perintah Eric ada dalam pengaturan otomatis dalam dirinya.
"Anggap jika air ini bekas air liurku. Walaupun sebenarnya memang hanya air minum biasa, anggap saja ini air liur!" Eric berkata dengan serius, tidak hanya menipu Vivi taapi juga dirinya sendiri tentang sesuatu yang memang benar adalah air liurnya yang sudah mengering itu.
"Sekarang coba kau ejek aku! Tertawakan aku karena aku bangun dengan bekas air liur di wajahku," kata Eric lalu melipat tangan di depan dadanya, menunggu Vivi mengejeknya.
Vivi menatap wajah Eric lekat-lekat. Tatapannya lalu turun ke bibir pria itu yang dihiasi oleh bekas air liur yang telah mengering. Ia kembali menatap mata Eric dengan ragu, membuat pria itu menganggukkan kepala sebagai tanda bahwa ia bisa memulai ejekannya sekarang.
"Kau sangat tampan," kata Vivi seraya mengarahkan ibu jarinya ke bibir Eric, mengusap bekas air liur di sekitar bibir pria itu dengan penuh kelembutan. "Kau selalu terlihat sangat tampan dalam situasi apapun, Tuan. Aku tidak bisa menemukan celah untuk mengejekmu."
Eric mematung di tempatnya, tanpa sadar menahan napas dan kedua matanya sama sekali tidak bisa berkedip saat merasakan jari halus Vivi yang bersentuhan langsung dengan kulit wajah dan bibirnya. Kedua matanya terpaku pada kedua mata Vivi yang saat ini sedang memperhatikan bibirnya dengan serius.
Ini bukan pertama kalinya Eric merasakan kulit wanita yang halus seperti ini, bahkan banyak aktris yang memiliki kulit yang lebih halus dari kulit Vivi. Dan ini juga bukan pertama kalinya Vivi menyentuhnya seperti ini. Selama bekerja menjadi lawan main wanita ini, sudah tidak terhitung berapa banyak adegan semacam ini yang telah mereka lakukan. Bukan hanya sentuhan seperti ini, bahkan Vivi adalah aktris yang paling banyak melakukan adegan ciuman bersamanya.
Namun kali ini berbeda. Bagi Eric sentuhan Vivi terasa berbeda karena saat ini tidak ada kamera yang sedang menyorot mereka. Tidak ada sutradara, tidak ada kru, tidak ada yang menonton. Hanya ada mereka berdua yang melakukan adegan ini di dunia nyata.
Dan yang paling aneh, Eric merasa jantungnya berdetak terlalu berlebihan hanya karena sentuhan Vivi.
"Bibi Vivi." Eric akhirnya bersuara, namun tidak membuat Vivi menatapnya. Wanita itu baru menatapnya saat ia mencekal tangan kanannya, membuat jarinya berhenti bergerak di sekitar bibir Eric. "Jika ini semua hanya lelucon… Aku akan benar-benar marah padamu. Aku bahkan bisa membencimu jika semua ini hanya permainanmu saja."
**To Be Continued**