Chereads / Vivianne's Scandal / Chapter 7 - Kerinduan Yang Asing

Chapter 7 - Kerinduan Yang Asing

"Tidak usah, kau masih sakit. Tidurlah di kamarmu saja!" Eric mencoba menghentikan Vivi yang sedang memasak di dapur apartemennya, namun wanita itu bersikeras dan terus melanjutkan menyiapkan makan malam.

Eric akhirnya menyerah dan membiarkan wanita itu memasak. Ia duduk di atas meja dapur yang diletakkan berhadapan dengan kompor, menatap punggung Vivi yang tampak sangat sibuk itu. "Aku tidak pernah makan masakanmu sebelumnya."

Terdengar tawa pelan Vivi sebelum tanpa menolehkan kepalanya wanita itu menyahut, "Aku selalu memasak untukmu setiap hari, Tuan."

Eric menghela napas panjang. "Jadi aku harus terus mengikuti jalan cerita dalam film itu?" gumamnya yang membuat Vivi menoleh padanya.

"Kau bicara apa, Tuan?" tanya Vivi.

Eric menggelengkan kepalanya lalu melompat turun dari meja. "Aku akan menunggu di meja makan. Masak yang enak! Aku cerewet soal makanan, jadi jangan sampai makanannya tidak enak karena aku tidak akan mau memakannya nanti!"

Vivi menunjukkan senyumannya lalu dengan nada penuh percaya diri ia berkata, "Tuan selalu makan semua masakanku dengan lahap, jadi aku sangat percaya dengan rasanya."

Saat makanan dihidangkan, Eric tidak tahu harus berkomentar seperti apa. Hanya dengan melihat tampilannya saja ia sudah bisa menebak seperti apa mengerikannya rasa makanan yang gosong itu.

"Oi..." Eric berucap sambil menatap Vivi yang berdiri di dekatnya. "Kau ingin meracuniku, Bibi Vivi? Makanan macam apa ini? Gosong di mana-mana! Kau tidak bisa memasak, hah?"

"I-ini... Ini masakan yang biasa kumasak, Tuan," sahut Vivi takut-takut karena Lian yang bicara padanya sambil melotot itu kelihatan galak sekali. "Aku... Aku selalu memasak seperti ini dan biasanya kau suka sekali."

"Makanan seperti ini bukan makanan untuk manusia!" Eric berseru sambil mendorong piring di hadapannya menjauh. "Aku tidak mau memakannya! Aku akan makan di luar saja!" Eric lalu bangkit dari duduknya dan melangkah pergi meninggalkan meja makan.

"Skizofrenia mungkin sudah mengubah kepribadiannya menjadi Hana. Namun soal kemampuan, dia masih tetap Vivianne!" gerutu Eric. Sambil mengganti sandal rumahya dengan sepatu, ia menoleh ke belakang, ke arah ruang makan di mana Vivi berada. Wanita itu masih berdiri di tempatnya dengan kepala tertunduk.

Eric mengerutkan keningnya dalam sekali. Ia menunggu untuk beberapa saat, namun jadi sangat kesal saat Vivi hanya terus diam di tempatnya dengan menundukkan kepalanya dalam-dalam seolah sedang merenungi kesalahannya.

"Oi!" Vivi mengangkat kepalanya saat mendengar suara Eric di dekatnya. Pria itu kini telah berdiri di hadapannya sambil berkacak pinggang. "Ini tidak benar! Kau tidak marah padaku? Kubilang masakanmu ini bukan makanan untuk manusia, Bibi Vivi!"

"Masakanku memang terlihat mengerikan, Tuan. Ini memang bukan makanan yang pantas untuk dimakan manusia," sahut Vivi dengan wajah sedih yang membuat Eric semakin kesal padanya.

"Kau seharusnya marah! Kau tahu, kau bisa menghancurkan set yang telah diatur untuk syuting saat aku mengejek aroma parfummu atau saat aku menggodamu selama syuting. Kau itu sangat pemarah! Mengapa sekarang kau hanya diam saja saat aku menghina masakanmu, hah? Seharusnya kau marah padaku! Ayo marah! Marah-marah seperti bibi-bibi tua yang galak itu kan keahlianmu!"

Vivi menggigit bibir bawahya, matanya mulai berkaca-kaca. "Ma-maafkan aku... Aku... Aku..." Vivi menghentikan ucapannya dan memilih untuk menutup matanya dengan punggung tangan kirinya saat isakan yang keluar dari mulutnya membuatnya tidak dapat melanjutkan perkataannya.

"Astaga! Kau menangis, hah?" Eric bertanya dengan terkejut saat mendengar suara isakan Vivi. Selama mengenal wanita ini, meski mereka sering bertengkar, namun ia tidak pernah sampai membuat Vivi menangis seperti ini. "Hei! Berhenti menangis! Kau membuatku merasa aneh!"

"Maafkan aku, Tuan. Aku hanya ingin melayanimu dengan baik. Tapi seharusnya aku menyadari kemampuanku. Berani-beraninya aku menyuguhkan makanan seperti itu padamu," kata Vivi sambil terisak-isak. Ia berusaha keras menghentikan tangisnya dan terus menyeka air matanya yang tidak mau berhenti mengalir.

"Bibi Vivi…" Eric meraih tangan kiri Vivi yang sedang menghapus jejak air matanya sendiri. Ia mengamati pergelangan tangan wanita itu yang diperban. "Apa ini sakit?"

"Tuan…" Vivi menatap Eric dengan wajahnya yang memerah karena tangisannya. "Itu tidak sakit."

"Oi!" Eric kembali meninggikan suaranya hingga membuat Vivi yang sudah mulai dapat menghentikan air matanya itu kembali berkaca-kaca. "Wanita sepertimu yang akan membuat semua orang heboh saat jarimu tergores pisau, mengapa kau berani sekali melakukan hal sebodoh ini? Apa kau tidak takut pada rasa sakit? Kau tidak takut pada kematian? Kau tahu, bertahan hidup hingga usiamu sekarang ini sangat sulit! Mengapa kau begitu mudah memutuskan untuk mati, hah? Memangnya kau pikir ke mana kau akan pergi setelah mati? Kau hanya akan masuk neraka jika bunuh diri!"

"Itu karena Tuan adalah hidupku," jawab Vivi dengan nada sedih. "Saat Tuan sudah tidak menginginkanku lagi, apa gunanya aku hidup? Hanya Tuan yang menganggapku di dunia ini dan menjadikan hidup yang kujalani ini sebagai sesuatu yang berharga."

Ucapan Vivi membuat Eric terdiam. Itu adalah dialog yang diucapkan Hana dalam salah satu adegan. Namun dibandingkan aktingnya saat itu, sekarang Vivi tampak lebih menghayati perannya dan mampu membuat hati Eric bergetar karena ucapannya.

"Dasar bodoh," desis Eric. Ia melepaskan cekalannya pada tangan Vivi lalu kembali ke kursinya.

"Ini semua hanya sandiwara seperti yang sudah-sudah. Aku hanya perlu berakting menjadi Aiden, tidak perlu menganggapnya serius!" Eric berbisik pada dirinya sendiri saat memutuskan untuk mengikuti permainan Vivi.

Eric melirik Vivi dengan ekor matanya dan mendapati wanita itu berdiri sambil terus menatapnya. Ia lalu mengambil sendok dan garpu dan mulai menyantap makan malam yang telah Vivi siapkan untuknya

"Tuan, kau tidak perlu memakannya!" cegah Vivi. Namun terlambat, masakannya yang gosong itu sudah berada di dalam mulut Eric.

Eric mengunyah makanannya sambil menatap Vivi. Keningnya berkerut sangat dalam seolah benar-benar tersiksa dengan makanan yang kini ada di dalam mulutnya. "Kau tidak mau makan? Aku tidak bisa menghabiskan semua ini sendiri."

Vivi menatap Eric yang memakan makanannya dengan lahap itu dan tiba-tiba saja air matanya kembali mengalir.

"Lihat! Kau menangis lagi?" Eric bicara dengan nada tinggi sementara mulutnya masih dipenuhi makanan. Vivi menggelengkan kepalanya dan dengan cepat menghapus air matanya lalu duduk di hadapan Eric. Ia mengambil makanan untuk dirinya sendiri lalu memakannya. Membuat Eric menahan tawanya saat melihat Vivi mengernyitkan dahiya ketika mencicipi makanan yang wanita itu masak sendiri.

"Ini mengerikan sekali. Bagaimana kau bisa memakannya seperti itu, Tuan?"

Eric menghabiskan air di dalam gelasnya sebelum menjawab pertanyaan Vivi. Makanan yang rasanya aneh itu membuatnya harus meminum banyak air agar bisa segera melewati tenggorokannya. "Kau menyiapkan makanan ini untukku dengan tanganmu yang sakit. Bagaimana aku bisa tega mengabaikannya begitu saja?"

Vivi menatap pergelangan tangan kirinya yang diperban. "Sudah kukatakan ini tidak sakit. Aku baik-baik saja," gumamnya. Namun saat ia kembali menyuapkan makanan ke dalam mulutnya wajahnya tiba-tiba berubah. Ia memutup mulut dengan telapak tangan kanannya dan memegangi perut dengan tangan kirinya.

Eric yang melihat hal itu menghentikan makannya. "Kau kenapa, Bibi Vivi?"

Vivi tidak menjawab pertanyaan Eric. Dengan gerakan terburu-buru ia bangkit dari kursinya dan berlari menuju kamar mandi tanpa mempedulikan panggilan Eric.

"Bibi Vivi! Kau kenapa? Oi! Buka pintunya!" Eric menggedor pintu kamar mandi yang terkunci dari dalam. Terdengar suara Vivi yang sedang muntah, membuat Eric tidak bisa untuk tidak merasa khawatir.

Tidak lama suara Vivi yang muntah itu hilang digantikan oleh bunyi air yang mengalir dari keran dan beberapa saat setelahnya pintu kamar mandi terbuka. "Kau kenapa?" Eric mengulang kembali pertanyaannya. Ia semakin khawatir saat melihat wajah Vivi yang sangat pucat.

"Tuan…" Vivi menyeka mulutnya dengan punggung tangan. Ia menatap Eric dengan wajah malu. "Sebaiknya… Sebaiknya kau tidak usah memaksakan diri untuk memakan masakanku."

"Hah?"

"Aku… Aku benar-benar tidak tahan dengan rasa masakanku sendiri yang mengerikan. Kau tidak usah memakannya lagi, Tuan."

Eric langsung merasa kedua bahunya yang sempat tegang itu terkulai lemas seketika saat melihat wajah malu Vivi. "Bibi Vivi… Kupikir kau kenapa. Ternyata…" Eric tertawa pelan saat melihat kepala Vivi tertunduk semakin dalam karena merasa malu. "Tapi bagaimana ini? Aku masih lapar. Kurasa perutku lebih kuat dari perutmu dan tidak masalah jika aku melanjutkan‒"

"Jangan, Tuan!" potong Vivi cepat. "Aku akan membuatkan makan malam yang lain untukmu."

"Yang lain?" tanya Eric dengan wajah tak yakin.

"Itu… Bagaimana dengan mie instan? Kurasa jika mie instan aku pasti bisa membuat yang enak."

Eric menatap punggung Vivi yang kembali berkutat di depan kompor untuk membuatkannya mie instan. Dan tiba-tiba saja, perasaan kosong yang asing merasuk ke dalam hatinya saat ia melihat punggung milik wanita yang telah menjadi rekan kerjanya selama 5 tahun terakhir ini.

"Padahal kau ada di depanku sekarang, tapi kenapa rasanya aku sangat merindukanmu sekarang?" gumam Eric dengan pandangannya yang masih tertuju pada Vivi. "Bibi Vivi, kuharap kau bisa segera kembali. Aku merasa sangat tidak cocok dengan Hana yang cengeng ini. Aku hanya ingin dirimu yang sebenarnya sekarang."

**To Be Continued**