Chereads / Vivianne's Scandal / Chapter 6 - Tuan Putri Yang Dikutuk

Chapter 6 - Tuan Putri Yang Dikutuk

"Aku akan mengganti infusmu, Nona," kata seorang suster pada Vivi yang tengah berbaring dengan tubuh lemasnya di atas tempat tidur yang berada di ruang perawatan VIP ini.

Namun Vivi menolak ucapan suster tersebut dan sambil menggelengkan kepalanya ia menembunyikan tangannya di balik punggung. "Aku sudah baik-baik saja. Aku harus pulang untuk mengurus tuanku sekarang."

"Kau tidak dengar apa kata Dokter Lucas tadi? Kau masih harus diinfus! Menurutlah!" kata Eric yang membuat Vivi langsung diam dan tidak protes lagi saat suster itu mengganti infusnya.

"Maaf, Nona. Tanganmu…" kata suster itu saat kesulitan memasang infus untuk Vivi karena tangan wanita itu terus menggenggam erat tangan Eric. Eric mencoba melepas genggaman Vivi yang justru membuat wanita itu semakin mempererat genggamannya yang secara refleks membuat Eric melotot padanya.

"Oi! Lepaskan tanganmu! Suster ini harus mengganti infusmu!" ujar Eric seraya kembali berusha untuk menarik tangannya agar terlepas dari genggaman Vivi.

Namun hal tersebut justru membuat Vivi jadi semakin mengerahkan seluruh tenaganya untuk bisa menggenggam tangan Eric lebih kuat. "Jika aku melepaskan tanganmu, kau tidak akan pergi lagi, kan?"

Eric menatap Vivi yang bicara dengan lirih. Kedua mata wanita itu tampak seperti seseorang yang benar-benar sangat takut untuk ditinggalkan. Jadi dengsn nada yang lebih lembut dari sebelumnya Eric berkata, "Tidak, aku tidak akan pergi. Cepat lepaskan tanganku!"

Namun Vivi tidak lantas mempercayai ucapan Eric dan terus menggenggam tangan pria itu. Eric menghela napas lalu merogoh saku celananya dan menyodorkan kunci mobilnya pada Vivi. "Kau boleh menyimpannya jika tidak percaya." Dan coba lihat, Vivi benar-benar menerima kunci itu dan menyembunyikannya di bawah bantalnya meski sebenarnya Eric tidak benar-benar bermaksud melakukan hal tersebut.

***

Kini hanya Eric dan Vivi yang berada di dalam ruang perawatan itu. Eric membiarkan tangan kirinya terus digenggam oleh Vivi dan menyuapi wanita itu dengan tangan kanannya. Wanita itu hanya mau makan saat Eric yang menyuapinya.

"Bibi Vivi," panggil Eric. Namun Vivi mengabaikannya. "Oi! Aku memanggilmu! Bibi Vivi!"

Suara Eric yang meninggi itu membuat Vivi menatapnya. Wajah wanita itu benar-benar kelihatan bingung saat bertanya, "Bibi Vivi? Panggilan macam apa itu, Tuan?"

"Kau tidak ingat? Aku selalu memanggilmu Bibi Vivi sejak 5 tahun yang lalu karena kau sudah jadi sangat cerewet seperti bibi-bibi sejak kita pertama bertemu dulu," jelas Eric.

Vivi tersenyum pada Eric meski wajahnya masih kelihatan bingung. "Tapi kita baru bertemu sekitar 2 tahun yang lalu, Tuan."

"Benarkah?" Eric mencoba mengingat film yang masih diputar di seluruh bioskop di negara itu. "Memang begitu. Tapi aku tetap akan memanggilmu Bibi Vivi. Biasakanlah dirimu!"

"Bibi Vivi…" gumam Vivi. "Apa itu berarti sesuatu?"

"Artinya? Uhm itu…" Eric tampak berpikir. "Itu nama seorang wanita."

Wajah Vivi langsung berubah, terlihat cemburu. "Siapa wanita itu, Tuan?"

"Dasar bodoh," bisik Eric pada dirinya sendiri. Ia merasa ikut menjadi bodoh karena harus mengikuti alur cerita yang dibuat Vivi. "Wanita itu adalah seorang putri, namanya Putri Vivianne." Eric memulai ceritanya. Vivi tampak sangat tertarik hingga memiringkan tubuhnya menghadap Eric.

"Putri Vivi ini tidak secantik putri-putri yang lain, namun karena sifatnya yang ceria dan apa adanya, semua orang senang berada di dekatnya. Meski kadang ia akan jadi menjengkelkan, namun jika kau bersama Tuan Putri yang satu ini kau pasti akan melupakan masalahmu. Entah itu karena dia yang membuatmu tersenyum, membuatmu kesal, atau memberimu masalah yang lain hingga kau melupakan masalahmu yang sebenarnya."

Vivi ikut tersenyum saat melihat Eric tersenyum ketika menatapnya. Pria itu tidak perlu membayangkan tentang Putri Vivianne itu ke mana-mana karena sang putri yang ia ceritakan itu sedang berbaring di hadapannya, tersenyum sambil memusatkan seluruh perhatian padanya.

"Namun tiba-tiba sesuatu yang buruk terjadi. Seorang penyihir mengutuknya dan memenjarakan jiwa yang lain di dalam tubuhnya hingga Putri Vivi tidak bisa lagi menguasai tubuhnya itu."

Vivi membulatkan kedua matanya. "Kasihan sekali. Apa itu jiwa yang jahat yang dipenjarakan oleh si penyihir di dalam tubuh Putri Vivi?" tanya Vivi dengan nada penasaran.

"Tidak, si penyihir memenjarakan jiwa seorang wanita yang sedang jatuh cinta dalam tubuhnya."

"Hm? Kurasa itu bukan kutukan. Cinta itu sebuah hadiah yang luar biasa, kan?"

"Kau salah. Putri Vivi tidak pernah mencintai pria ini, behgitu juga sebaliknya. Jadi menurutku, ini benar-benar kutukan paling merepotkan yang pernah ada karena sekarang mereka harus bersama padahal sebenarnya mereka tidak saling mencintai," jelas Eric.

"Kutukan seperti itu… Bukankah selalu dipatahkan dengan cara yang sama?" tanya Vivi dengan tampang berpikir.

"Cara yang sama apa itu?" Eric balik bertanya dengan penasaran. Jika ada sesuatu yang benaer-benar bisa mengembalikan Vivi seperti sebelumnya, ia tentu akan langsung mencobanya.

"Ciuman, Tuan. Ciuman dari cinta sejati selalu berhasil mematahkan kutukan seburuk apapun itu," sahut Vivi.

Eric menatap Vivi dengan kerutan halus di dahinya. "Haruskah aku mencobanya?" gumamnya yang membuat kerutan halus itu menular ke dahi Vivi.

Eric menarik napas panjang lalu mencondongkan tubuhnya ke arah Vivi, membuat wajahnya menjadi dekat dengan wajah wanita yang tengah berbaring itu. Sadar dengan apa yang akan terjadi berikutnya, Vivi memilih untuk memejamkan kedua matanya sambil kedua tangannya meremas selimut yang menutupi hingga dadanya.

Namun hingga beberapa saat berlalu tidak ada yang terjadi dan membuat wanita itu kembali membuka matanya, mendapati wajah gusar Eric yang tengah menatapnya.

"Aku tidak bisa. Aku hanya bisa menciummu jika ada kamera yang menyorotku. Selama 5 tahun ini, semua ciuman kita selalu seperti itu, Bibi Vivi. Terjadi di depan kamera dan banyak orang yang menonton kita. Menciummu di tempat sepi ini tanpa ada kamera atau satu pun orang yang melihatnya membuatku menjadi gugup," jelas Eric yang justru membuat Vivi semakin bingung dengan penjelasan panjang lebarnya itu.

"Lupakan saja!" ketus Eric kemudian. "Lagipula hal semacam ciuman yang mematahkan kutukan itu tidak ada di dunia nyata! Itu hanya ada di negeri dongeng, di dunia nyata mana mungkin ada cinta sejati sungguhan seperti itu!"

Eric baru akan menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi saat tiba-tiba Vivi menarik tangannya dan mencium bibirnya dengan cepat. Eric bahkan tidak sempat memejamkan matanya dalam kurun waktu yang sangat singkat itu dan hanya bisa membulatkan kedua matanya dengan terkejut saat menerima perlakuan Vivi yang benar-benar di luar dugaannya ini.

"Itu… Itu selalu berhasil padaku, Tuan. Sekarang aku sudah merasa sangat sehat," kata Vivi dengan wajah memerah.

Eric menatapnya dengan mulut sedikit terbuka. Ia tidak bisa berkata apa-apa dan detik berikutnya tanpa bisa ia tahan ia sudah cegukan. Dengan wajah memerah, Eric menutup mulut dengan telapak tangan kanannya dan memalingkan wajah ke arah lain. Ia menepuk-nepuk dadanya, namun tidak dapat membuat cegukannya berhenti. "Seingatku Hana itu wanita yang sangat pemalu. Tapi kenapa sekarang dia yang membuatku jadi sangat malu?" batinnya.

**To Be Continued**