"Tuan…" Ekspresi cemas terlihat sangat jelas di wajah Wendy saat Eric membuka pintu apartemen untuknya. Pria itu masih mengenakan kemeja berwarna putih yang 2 kancing teratasnya dibuka dan memasang ekspresi kesal di wajahnya.
"Masuklah!" perintah Eric. "Dia ada di dalam dan bertingkah sangat aneh."
Wendy cepat-cepat mengganti sepatunya dengan sandal rumah dan melangkah masuk. Di ruang tengah, tampak Vivi yang sedang merapikan meja. Ini hampir pukul 3 pagi dan wanita itu sedang bersih-bersih di apartemen Eric. Terlihat sangat aneh di mata Wendy karena wanita itu tahu dengan pasti bagaimana Vivi di apartemennya sendiri saja sangat malas bersih-bersih.
"Oh? Ada tamu." Menyadari kehadiran Wendy, Vivi menghampiri wanita itu dan tersenyum dengan sopan padanya. "Silakan duduk, Nona. Aku akan menyiapkan minuman."
Wendy hanya bisa menggigit bibir bawahnya melihat Vivi yang telah ia layani selama 6 tahun terakhir ini memperlakukannya seperti orang asing.
"Lihat itu! Dia sangat aneh, kan?" Eric menghampiri Wendy sambil menunjuk punggung Vivi yang meninggalkannya. Ia lalu memperhatikan penjuru apartemennya. "Apa jangan-jangan ini acara jebakan dan dia sedang mengerjaiku?"
"Tuan..." Wendy berkata dengan suara gemetar. "Aku menemukan ini di apartemen Nona Vivi."
Eric menerima amplop berwarna coklat yang disodorkan oleh Wendy dengan kening berkerut. Kerutan di keningnya masih terus ada saat ia membaca isi surat tersebut sampai akhirnya ia menemukan sebuah fakta yang berhasil membuat kedua matanya terbelalak kaget. "A-apa ini... Dia... Bagaimana bisa dia sakit seperti ini?"
Wendy menutup mulut dengan punggung tangannya saat ia tidak bisa lagi menahan isakannya. "Aku juga tidak mengerti. Selama ini aku yang selalu di dekatnya tidak tahu apa-apa. Dia menyimpan semua itu sendiri dan menderita seorang diri. Aku merasa sangat tidak berguna."
"Mengapa kalian berdiri di sana? Silakan duduk dan nikmati tehnya. Aku ada di dapur jika kalian membutuhkanku."
Perkataan Vivi mengalihkan perhatian Eric padanya. Pria itu menghampiri Vivi dengan langkah-langkah lebar dan membanting amplop yang ada di tangannya dengan keras ke atas meja hingga membuat Vivi tersentak. "Oi! Kau bercanda? Lelucon macam apa ini, Vivianne?!"
"A-ada apa, Tuan? Apa aku sudah berbuat salah?" tanya Vivi takut-takut.
"Kau pikir kau bisa menipuku? Alzheimer? Kau pikir aku bodoh?!" Eric berkata dengan nada membentak yang terdengar melengking di akhir kalimatnya.
Vivi mengalihkan tatapan bingungnya pada Wendy, berharap wanita itu bisa menjelaskan situasinya. Namun wanita itu justru menangis semakin keras saat tatapan mereka bertemu.
"A-Alzheimer? Siapa?" tanya Vivi.
"Aku tidak punya waktu untuk bercanda denganmu, Bibi Vivi. Aku sangat lelah setelah menjalani semua jadwalku!" bentak Eric. "Carilah orang lain yang punya banyak waktu luang untuk kau ajak bercanda. Cepat pergi!"
Vivi menatap Eric dengan wajah hampir menangis. "Aku harus pergi ke mana? Aku tidak punya tempat yang bisa kutuju, Tuan."
Eric mengusap wajahnya kesal lalu menoleh pada Wendy yang sedang berusaha menghentikan tangisannya. "Bawa dia pergi!"
Wendy menganggukkan kepalanya lalu menghampiri Vivi untuk membawanya pergi.
"Tuan…" Vivi terus mengarahkan tatapannya yang sarat akan permohonan pada Eric, namun pria itu sama sekali tidak mempedulikannya dan memalingkan wajahnya ke arah lain hingga akhirnya Vivi benar-benar meninggalkan apartemennya bersama Wendy.
"Alzheimer? Yang benar saja!" Eric mendengus kesal. Ia mengambil kertas yang tadi ia banting di atas meja dan membacanya lagi, kali ini dengan pelan-pelan tanpa melewatkan satu kata pun.
"Separah itukah keadaannya? Apa dia akan kehilangan semua ingatannya?" gumamnya. Namun kemudian Eric mengacak-acak rambutnya gusar. "Aku yang akan jadi gila jika sampai mempercayainya! Padahal dia bilang tidak akan bekerja lagi setelah proyek kami selesai, tapi mengapa sekarang dia diam-diam mengambil proyek dari acara jebakan bodoh seperti ini?"
***
Hari ini Eric tidak memiliki jadwal apapun dan menghabiskan sepanjang paginya untuk tidur. Namun saat ia baru selesai mandi ketika hari sudah sangat siang bel berbunyi menandakan ada yang datang.
Melalui layar intercom Eric melihat seorang pria dengan kemeja berwarna biru muda dan jas putih tengah berdiri di depan pintu. "Siapa?"
"Aku Dokter Lucas," jawab pria itu saat mendengar suara Eric. "Aku datang untuk menemui, Tuan Eric."
"Aku tidak memanggil dokter kemari."
"Aku datang untuk membicarakan tentang Nona Vivianne."
Eric mengerutkan keningnya. "Membicarakan tentang Vivi denganku? Apa dia tidak salah mendatangi orang?" batinnya, namun tetap membukakan pintu untuk Lucas.
Eric dan tamu yang tidak dikenalnya itu duduk di ruang tengah apartemen Eric. Wajah dokter di hadapannya ini terlihat sangat serius seolah sedang bersiap untuk menyampaikan sesuatu yang sangat penting padanya.
"Jadi kau seorang dokter?" tanya Eric memulai pembicaraan.
"Benar. Ini kartu namaku." Lucas memberikan kartu namanya pada Eric. Eric hanya membacanya sekilas lalu kembali menatap pria itu. "Semalam Nona Vivi pasti membuatmu terkejut saat dia tiba-tiba datang padamu dan menganggap dirinya sebagai pelayanmu."
"Benar sekali, Pak Dokter. Dia bertingkah aneh dan ini," Eric menunjuk kertas pemberian Wendy yang masih berada di atas meja sejak semalam. "Di sini disebutkan dia menderita alzheimer."
Lucas mengangguk-anggukkan kepalanya. "Itu hasil pemeriksaanku. Dia memang menderita alzheimer. Sudah 2 tahun belakangan ini dan kondisinya terus memburuk."
Eric menatap Lucas tak percaya lalu mengedarkan pandangannya dengan liar ke setiap bagian apartemennya. "Di mana kalian menyembunyikan kameranya?"
"Tuan Eric…"
Eric tersenyum pada Lucas. "Ayolah, trik kalian sudah terbongkar. Kita sudahi ini sekarang dan biarkan aku beristirahat, ya?"
"Aku bersungguh-sungguh, Tuan."
"Kau keras kepala sekali," gerutu Eric. Ia membaca kartu nama Lucas lalu menyeringai pada pria itu. "Kau bukan seorang psikiater atau dokter kejiwaan. Lalu bagaimana kau bisa menangani pasien yang menderita alzheimer?"
"Nona Vivi sangat malu dengan penyakitnya ini dan berusaha merahasiakannya. Dia bahkan tidak mau mempercayai dokter mana pun dan hanya mau berobat padaku, dokter yang sudah menanganinya sejak dia memulai karirnya di dunia hiburan."
"Ah, jadi kau orang kepercayaan yang membantu Bibi Vivi mengerjaiku?" tanya Eric yang lebih terdengar seperti tuduhan. "Tapi apapun itu mengapa aku harus peduli? Kami tidak ada hubungan apa-apa selain rekan kerja. Ah, tidak. Film kami bahkan sudah berakhir dan aku tidak akan bekerja dengannya lagi."
"Pagi tadi Nona Vivi dilarikan ke rumah sakit setelah mencoba memotong urat nadinya sendiri."
Perkataan Lucas menghentikan kegiatan Eric yang masih mencoba mencari kamera tersembunyi dengan matanya.
"Dia sudah berada di dalam kondisi yang sangat parah di mana dia tidak bisa membedakan lagi yang mana dunia nyata dan yang mana fiktif. Nona Vivi percaya bahwa dirinya benar-benar Hana pelayan Aiden seperti yang ia perankan dalam film terakhirnya."
Lucas memberi jeda sejenak untuk melihat reaksi Eric. Pria yang duduk di hadapannya itu tampak sangat terkejut. "Dia menganggap semua itu nyata, termasuk perasaannya padamu yang dia anggap sebagai Aiden. Karena itu, saat kau mencampakkannya semalam dia merasa sangat sedih dan terluka hingga berbuat senekat itu."
Eric menaikkan telapak tangan kirinya untuk menutup mulutnya yang terbuka. "Jadi… Jadi dia menganggap jika aku juga benar-benar mencintainya?"
Lucas menganggukkan kepalanya. "Dalam kondisinya sekarang, Nona Vivi benar-benar telah kehilangan kendali pada dirinya. Yang dia tahu dirinya adalah seorang pelayan bernama Hana. Otaknya telah menutup semua ingatan akan siapa itu Vivianne dan menciptakan ingatan-ingatan fiktif yang membuatnya percaya bahwa dia benar-benar Hana."
Eric mengusap-usap pelipisnya pelan, mencoba meredakan rasa pusing yang tiba-tiba menyerangnya. "Apa dia tidak bisa disembuhkan?"
"Sayangnya pengobatannya sudah sangat terlambat. Yang bisa kita lakukan sekarang adalah membiarkan Nona Vivi menjalani hidup barunya sebagai Hana dan tidak memaksanya untuk mengingat siapa dirinya sebenarnya." Lucas menghela napas berat sebelum menambahkan dengan nada lebih serius. "Dan hidupnya sebagai Hana sangat bergantung padamu yang ia ketahui sebagai Aiden, Tuan Eric."
"Bergantung padaku?!" tanya Eric dengan nada tinggi. "Jadi sekarang aku harus bertanggung jawab padanya? Hei! Dia bukan siapa-siapa bagiku. Mengapa aku harus menjadi tempatnya bergantung?"
"Kumohon, Tuan Eric." Lucas meraih tangan Eric dan menggenggamnya dengan kedua tangannya. "Nona Vivi sangat membutuhkanmu sekarang. Dia bukan Vivianne yang penuh pertimbangan dalam setiap tindakannya. Dia adalah Hana yang sangat mencintai Aiden, yang akan lebih memilih kematian dibandingkan berpisah dengannya. Dia sudah banyak menderita selama ini, Tuan. Bahkan meski tidak ada hubungan apa-apa di antara kalian, mengingat hubungan kerja dan waktu yang telah kalian bagi bersama selama 5 tahun ini, tidakkah kau merasa bersimpati padanya?"
**To Be Continued**