Chereads / Vivianne's Scandal / Chapter 3 - Keputusan Terlambat

Chapter 3 - Keputusan Terlambat

"Aku tidak akan mengambil pekerjaan bersamamu lagi, Vivi. Jadi ini akan menjadi proyek film terakhir kita."

Vivi mengerjapkan kedua matanya. Terlihat bingung dengan apa yang Eric ucapkan padanya. "Tidak… Tidak mengambil pekerjaan bersamaku lagi? Lalu bagaimana dengan penggemar kita?"

"Justru karena itulah! Para penggemar menjadi semakin tidak terkendali. Mereka selalu memaksa kita untuk pacaran sungguhan bahkan menikah dan punya anak. Setiap kali mereka melihat kita bersama wanita atau pria lain mereka akan sangat marah seolah memergoki kita sedang berselingkuh. Ini sudah sangat mengganggu!" Eric berkata dengan nada kesal, sepertinya tidak main-main saat berkata jika dirinya merasa terganggu dengan tingkah penggemar fanatik mereka.

Eric lalu menyimpulkan senyumnya saat melihat Vivi hanya diam saja. "Lagipula aku juga ingin dipasangkan bersama aktris yang masih muda, cantik, tinggi dan seksi. Jadi, Bibi Vivianne, ayo kita jadikan ini pekerjaan terakhir kita dan lakukan yang terbaik untuk adegan ending nanti," kata Eric seraya menyodorkan tangan kanannya pada Vivi.

Vivi menatap tangan Eric yang menunggunya untuk bersalaman itu. Namun tanpa membalas uluran tangan pria itu, Vivi kembali menaikkan pandangannya pada Eric dan berkata, "Aku mendapat tawaran untuk bermain dalam drama bersama Marcus."

"Oh, Marcus yang itu? Itu bagus. Dia sangat terkenal setelah filmnya sukses."

"Tapi aku sudah menolaknya," ujar Vivi yang membuat Eric menatapnya bingung.

"Ditolak? Kenapa? Apa itu peran yang sulit? Hei! Seharusnya kau mengambil tantangan dengan peran yang sulit, Vivi!"

"Bukan itu," sahut Vivi dengan suara berbisik. "Setelah film ini berakhir aku tidak akan mengambil pekerjaan lagi."

"Kau akan berhenti jadi artis? Apa kau patah hati karena tidak bisa berakting bersama denganku lagi?" tanya Eric dengan kedua mata membulat yang justru membuat Vivi menyipitkan kedua matanya karena alasan konyol yang pria itu pikirkan.

"Tentu saja bukan itu, bodoh! Aku akan menghabiskan banyak waktu untuk diriku sendiri dan tidur siang sepuasnya."

"Eii, dasar bodoh!" seru Eric seraya memukul puncak kepala Vivi dengan sendoknya. "Seharusnya saat kau sedang berada di puncak karirmu kau memanfaatkannya untuk melakukan banyak pekerjaan dan mengumpulkan banyak uang. Kau tidak ingat bagaimana usaha yang telah kau lakukan untuk sampai di titik ini? Berhentilah jadi pemalas dan teruslah bekerja keras!"

"Aku sudah cukup bekerja keras! Sekarang saatnya aku memberi diriku yang telah bekerja keras ini hadiah."

"Hadiah? Hadiah apa?"

"Aku ingin pergi ke Swiss," sahut Vivi. Kemudian sambil menatap Eric ia bertanya, "Kau ingat desa kecil tempat kita syuting film pertama yang kita perankan bersama dulu?"

"Ah, desa kecil yang cantik itu. Sungai di sana sangat cantik, tentu saja aku masih mengingatnya!"

"Saat itu aku datang ke sana untuk bekerja dan tidak punya banyak waktu untuk jalan-jalan. Itu membuatku ingin pergi ke sana sekali lagi untuk berlibur."

"Wah, aku iri sekali. Saat kau sedang berlibur nanti aku pasti sedang sibuk dengan drama baruku."

"Drama baru?"

"Iya. Aku akan main film bersama Tiffany dan syutingnya akan dimulai akhir tahun ini."

Vivi menatap Eric tak percaya. "Jadi kau sudah mengambil pekerjaan lain? Hei! Kau bahkan tidak berkata apa-apa padaku!"

"Memangnya aku harus berkata apa padamu? Ah, apa jangan-jangan kau sudah teracuni oleh para penggemar kita dan menganggap hubungan kita sebagai sesuatu yang nyata?"

"Ma-mana mungkin begitu! Hanya saja…" Vivi tampak tergagap. Namun tidak lama ia sudah kembali meninggika suaranya sambil tangannya memukul lengan Eric dengan keras. "Hei, Tiffany itu terlalu muda untukmu! Setidaknya carilah lawan main yang pantas! Kau akan terlihat seperti pria paruh baya jika berdiri di sebelah Tiffany!"

"Pria paruh baya? Oi, Bibi Vivi!"

Vivi kembali menyipitkan matanya, kali ini sambil melipat kedua tangannya di depan dada. "Kasihan sekali si Tiffany itu harus berakting dengan pria tua cerewet sepertimu. Dia pasti sedang menyesali keputusannya sekarang."

"A-apa katamu? Hei‒"

"Kalian di sini?" ucapan Eric terpotong saat tiba-tiba pintu terbuka. Jerry berdiri di sana dengan sebuah payung berwarna merah yang melindungi tubuhnya dari guyuran hujan. "Pak Sutradara mencari kalian berdua. Dia ingin memberi arahan sebelum pengambilan gambar terakhir dimulai."

"Iya, kami akan ke sana sekarang," kata Eric seraya bangkit dari duduknya.

"Tapi, Tuan..." Jerry berkata dengan agak sungkan. "Aku hanya membawa satu payung ini."

"Lalu kenapa? Tinggalkan itu untuk kami. Rambut kami tidak boleh basah saat pengambilan gambar nanti," sahut Eric. Jerry hendak protes, namun saat melihat Wendy di kejauhan ia langsung meninggalkan payung tersebut di depan pintu dan berlari menghampiri wanita itu.

"Ayo kita pergi," ajak Eric dan mengulurkan tangan kanannya pada Vivi. Wanita itu hanya menatapnya tanpa melakukan apapun, membuat Eric mendecakkan lidahnya kesal. "Kau sudah membuat tanganku malu saat mengabaikan uluran tanganku untuk mengajakmu bersalaman tadi. Jika kau melakukannya lagi sekarang, kau benar-benar akan kuingat sebagai wanita yang kejam, Vivianne!"

Vivi menghela napas lalu menerima uluran tangan Eric dan melompat turun dari atas meja. Eric tersenyum pada wanita yang telah menjadi lawan mainnya dalam banyak judul film dan drama sejak 5 tahun terakhir itu. "Ini adalah yang terakhir, Bibi Vivi. Adegan terakhir kita dan juga ciuman terakhir kita. Jadi ayo kita lakukan yang terbaik dan nikmati adegan terakhir ini agar tidak ada penyesalan di masa depan."

***

"Jadi sekarang kau sudah punya waktu untuk menjalani perawatan, Nona Vivianne?"

Vivi tersenyum pada dokter berusia pertengahan 40-an yang duduk di hadapannya itu. "Aku sudah menyelesaikan semua pekerjaanku, Pak Dokter. Sekarang aku akan menurut semua perintahmu dan menerima semua perawatan yang kau berikan padaku."

Lucas menggelengkan kepalanya dengan wajah prihatin. "Seharusnya kau datang padaku lebih cepat, Vivi."

"Apa maksudmu, Pak Dokter?" Ekspresi Lucas mulai membuat Vivi khawatir. "Aku sudah di sini sekarang dan kau bisa langsung melakukan perawatan untukku."

Lucas menghela napas, menatap sedih pada Vivi dari balik kacamata berbingkai hitamnya. "Semua obat dan perawatan itu tidak bisa lagi menyembuhkanmu.. Itu hanya memperlambat prosesnya."

Vivi menatap dokternya itu tak percaya. "Tapi… Tapi aku akhirnya memiliki waktu luang untuk menjalani perawatan," ucapnya dengan suara mencicit. "Aku tidak akan pergi ke Swiss. Aku akan tinggal di rumah sakit saja."

"Vivi…"

"Kumohon sembuhkan aku, Pak Dokter." Vivi mulai menangis saat meraih tangan kanan Lucas dan menggenggamnya dengan kedua tangannya. "Aku tidak ingin menyerah. Aku akan menuruti semua perkataanmu. Aku akan minum obat yang paling pahit atau bahkan menjalani perawatan yang paling menyakitkan. Tolong aku, Pak Dokter. Kumohon... Tolong sembuhkan aku…"

**To Be Continued**