Ryasa tersenyum senang saat ia baru saja keluar dari kamarnya. Semalam Mahesa mengantarkannya pulang dan mengucapkan selamat malam. Bukan Mahesa yang membuatnya sebahagia ini, tapi kakaknya yang sekarang sedang duduk manis di sofa ruang tamu. Menatap televisi dengan eskpresi seriusnya, padahal masih ada kelas yang harus ia datangi. Sepertinya Reyhan akan membolos.
Tidak menghiraukan Reyhan yang masih fokus dengan berita yang akhir-akhir ini menurutnya sangat menyeramkan, Ryasa menaruh secangkir teh madu untuk kakaknya. Minuman wajib yang dibuat bunda setiap pagi.
"Lucu sekali. Nama korban diberitahu dengan gamblangnya, tapi nama pelaku malah disensor. Negeri ini benar-benar seperti judul buku penulis paling hebat."
Reyhan menoleh kepada adiknya yang duduk di sampingnya sambil mengunyah keripik singkong sebelum bunda menyuruh kedua anaknya untuk sarapan.
"Apa judulnya?" tanya Reyhan penasaran. Ia tidak terlalu banyak membaca buku. Ia hanya sering menemani Ryasa ke toko buku untuk memborong buku-buku inovatif atau novel yang menurutnya sangat bagus.
"Negeri para Bedebah."
"Wah, sepertinya aku harus membacanya."
"Ambil saja. Ada di kamarku. Di café."
Reyhan mengangguk. Keduanya kembali fokus ke layar televisi sembari mendengarkan berita yang sedang hangat-hangatnya. Negeri ini memang dalam fase sakit. Banyak orang aneh yang entah kenapa dijadikan petinggi, padahal mengurus anak saja tidak bisa. Gagal.
"Benar-benar tajam ke bawah," gumam Reyhan saat membaca headline news tentang seorang polisi yang menghamili kekasihnya dan disuruh aborsi. Benar-benar tidak manusiawi.
"Aku tidak heran lagi. Negara ini sakit. Cara paling mudah agar pelaku diadili seadil-adilnya hanyalah meminta banyak orang mengawal. Tenang saja, kak, kalau aku bertemu laki-laki seperti itu akan aku koleksi jari manisnya."
Reyhan sukses mendelik geli. Adiknya berbicara santai dengan ekspresi yang sungguh mengerikan. Membayangkannya saja sudah membuat Reyhan ingin sekali kabur ke kampus sekarang juga. Beruntung bunda memanggil nama keduanya. Kalau tidak mungkin Reyhan akan pamit ke kamar mandi supaya tidak disiksa adiknya. Yang menatap kakaknya hanya terkekeh. Suka saat melihat wajah ngeri kakaknya. Jahil sekali memang.
"Semalam bunda melihat adik diantar laki-laki. Itu siapa?" tanya bunda dengan suara khasnya. Jangan membayangkan bunda yang lembut karena pada nyatanya keluarga kecil ini suka kehebohan.
"Buaya sebelah," celetuk Reyhan dengan santainya. Sosis yang baru akan disuapnya langsung berpindah haluan ke mulut sang adik tersayang. Aduh, pagi-pagi sudah membuat api saja.
"Bebek sebelah, Bun."
Sekarang Reyhan yang mengambil garpu adiknya dan mencomot mie goreng miliknya. Bunda yang melihat hanya tertawa. Senang kedua anaknya akur walaupun harus menahan napas saat keduanya hendak berperang.
"Sepertinya bunda pernah melihatnya, tapi tidak terlalu jelas karena terhalang pagar. Satya atau Azka? Oh, atau yang dulu pernah bunda suruh menginap di rumah?"
"Nah yasudah. Suruh menginap lagi saja, Bun. Syaratnya membawa mahar."
"Kak Reyhan!"
Bunda kembali tertawa saat kedua anaknya sedang bertengkar dengan sengit. Saling memasukkan makanan dengan paksa ke mulut lawannya. Oh, jangan lupakan Ryasa yang sudah melipat tangan Reyhan ke belakang. Adiknya ini pernah ikut bela diri?
"Iya iya. Ya ampun tanganku. Ryasa sayang! KDRT ini namanya!"
"Sekali lagi kau berbicara aneh-aneh, aku akan membuang semua mainanmu di kamar, kak."
Ryasa kembali duduk dengan tenang. Ia juga menata kembali rambutnya yang sempat tertarik saat menggapai kepala Reyhan. Pagi-pagi seperti ini biasanya memang selalu diisi dengan banyak obrolan karena Reyhan maupun Ryasa pasti memiliki banyaj topik untuk diceritakan. Bunda sendiri juga sering bercerita kepada anak-anaknya tentang kantornya yang sekarang. Bunda bilang kalau suasana di kantornya sangat nyaman dan ramah. Tidak ada yang menatap sinis seperti di beberapa kantor lain, padahal seharusnya tidak boleh bersikap buruk kepada rekan kerja.
Kedua anak bunda sering kali meminta untuk sekedar ikut ke kantor walaupun hanya untuk mengantarkan makan siang atau makan siang bersama di restoran dekat kantor, tapi malah Reyhan dan Ryasa sendiri yang memiliki jadwal yang sangat padat sehingga jarang memiliki waktu luang ketika matahari berada di atas kepala. Reyhan sendiri sering datang ke café untuk membantu adiknya kalau café sedang ramai sekali. Bukannya meringankan beban, malah semakin banyak gadis yang datang ke café dengan alasan ingin meminta nomor telepon Reyhan.
Tidak apa-apa kalau café ramai. Itu artinya bagus dan banyak yang menyukai café milik Ryasa tersebut. Reyhan juga senang sekali kalau café ramai. Ia bisa mengobrol dengan banyak orang yang mungkin saja sedang gundah ataupun bahagia sekali karena mendapatkan nilai ujian yang baik. Banyak kisah di dalam café milik Ryasa walaupun umurnya belum mencapai dua tahun. Masih baru dan semoga akan terus bertahan.
"Yas, tidak mau mengganti warna rambut?" tanya Reyhan saat keduanya sudah duduk di sofa. Kembali ke depan televisi dan menonton drama yang sedang hangat. Drama dengan tema zombie. Di film atau drama zombie lain, zombie akan selalu menjadi zombie, tapi di drama ini berbeda karena mereka bisa berubah menjadi manusia biasa dan akan kembali berubah menjadi zombie jika haus.
Reyhan menarik tangan adiknya pelan. Menyuruhnya mendekat. Sekarang ia memegang rambut Ryasa yang masih agak basah karena pagi ini gadis itu mencuci rambutnya. Hari ini akan menjadi hari yang melelahkan karena nanti malam adalah malam amal.
"Warna apa, Kak?" tanya Ryasa sembari menaruh kepalanya di bahu kakaknya.
"Mint? Oranye? Atau biru?"
Ryasa tampak berpikir. Ide bagus juga. Atau mungkin ia bisa mengubah warna rambutnya kembali ke warna semula. Hitam dan sedikit kecoklatan. Ryasa mendongak. Menarik pelan kepala Reyhan agar condong padanya. Yang ditarik tidak protes sama sekali. Sudah biasa memiliki adik seperti ini.
"Kak Rey juga ganti warna rambut. Ayo kita ke salon bersama. Warna rambut kita sama, omong-omong."
Benar juga. Warna rambut kedua adik kakak itu memang sama. Kalau Ryasa memiliki warna pirang di bagian dalam rambutnya, maka Reyhan memiliki warna pirang di beberapa helai rambutnya sehingga tampak seperti uban. Tapi, ini Reyhan. Tidak ada warna yang tidak cocok untuknya. Parasnya saja mendukung sekali.
Ryasa kembali dalam acara duduk nyamannya dengan menyenderkan kepalanya di bahu Reyhan. Bunda yang baru saja akan berangkat bekerja langsung memberhentikan langkahnya. Menatap aneh ke Reyhan dan Ryasa yang sama-sama mengantuk. Keduanya sama-sama kelelahan karena mendekorasi café dan pulang malam. Belum lagi dengan tugas yang mengalir seperti air. Lancar sekali.
"Kalian tidak ada kelas?"
"Ini hari sabtu, bunda. Libur," balas Reyhan malas-malasan. Ingin langsung memejamkan mata saja. Padahal dalam hati Reyhan ingin sekali menyumpahi kelas yang seharusnya ia datangi siang nanti.
"Bunda ke kantor? Berapa lama?" tanya Ryasa. Ia hendak memeluk bundanya sebelum berangkat bekerja. Bundanya ini sungguh pekerja keras.
"Tidak lama. Hanya datang untuk menyelesaikan satu dokumen. Ingin makan siang apa? Atau kalian akan ke café siang nanti?"
"Kami makan siang di rumah saja. Setelah makan siang baru ke café. Ingin menunggu bunda pulang dulu."
Bunda tersenyum setelah mendengar ucapan Ryasa barusan. Anak bunda memang sangat manis. Lagipula Ryasa bisa datang sore. Kala dan karyawan lainnya akan mengurus keperluan yang dibutuhkan lebih awal.
"Reyhan sudah tidur. Yasudah tidur dulu. Akan bunda bangunkan saat makan siang."