Setelah perkumpulan mendadak kemarin sore, café Ryasa terus saja didatangi lebih banyak pelanggan karena katanya mereka ingin bertemu dengan para pemuda tampan yang duduk memenuhi café. Kala yang mendengarnya tertawa keras. Ada-ada saja para pelanggannya. Sayangnya tidak setiap hari teman-temannya itu berkumpul. Kalau setiap hari, mungkin Ryasa harus bersiap dengan pesanan yang membludak.
"Kala, kau sudah membeli minuman? Kau dan Riki, bukan?" tanya Ryasa saat ia baru keluar dari dapur.
"Belum. Aku dan Riki akan ke supermarket setelah aku selesai bekerja. Kak Ryasa bagian apa?"
"Aku yang membawa alat makan dan alat masak."
Kala mengangguk. Ia mengambil ponselnya dan melihat daftar nama dan barang-barang yang dibawa. Ia dan Riki ditugaskan membawa minuman dan gelas kertas. Karena yang berpartisipasi ada banyak – Mahesa, Reyhan, Satya, Azka, Ryasa, Sean, Juan, Kala, dan Riki – maka barang yang dibawa per orangnya tidak banyak. Kalau disatukan semua pasti bisa untuk berlibur sepekan mengingat Reyhan dan Azka yang selalu membawa lebih barang.
"Kak, itu Kak Reyhan sudah menunggu." Kala menunjuk Reyhan yang baru saja datang dan berdiri di depan café dengan dahi yang terlihat. Sudah menarik perhatian anak sekolah menengah atas yang baru saja pulang sekolah, tentu saja. Niatnya pasti untuk pamer daripada untuk berdandan rapi di depan dosen.
Ryasa mengangguk mengiyakan. Ia mengambil tas nya di dekat pintu dapur dan langsung keluar dari café. Menepuk bahu kakaknya lebih dulu dan tersenyum. Reyhan yang menoleh langsung merinding. Tidak biasanya adiknya tersenyum seperti itu.
"Kenapa? Wajahku aneh?" tanya Ryasa heran. Ia tidak merasa ada yang aneh di wajahnya.
"Seram sekali tersenyum seperti itu. Ayo cepat. Kita juga harus membeli camilan."
Ryasa masih diam di tempatnya. Entah seram apa yang dimaksud kakaknya itu. Tapi, akhirnya Ryasa menurut juga. Berjalan memasuki mobil dan menyalakan radio seperti biasa. Reyhan sering bercerita tentang harinya jika Ryasa bersamanya. Tidak ada waktu untuk diam karena keduanya sama-sama sibuk menceritakan harinya.
"Marshmallow atau jeli bunga, kak?" tanya Ryasa saat berada di depan stan camilan manis. Harus membawa camilan manis karena semua temannya suka, terutama Juan dan Sean si anak kecil yang tidak ingin disebut anak kecil.
Reyhan berdiri di samping Ryasa. Melihat kemasan marshmallow dan jeli bunga yang dipegang adiknya. Ia harus memastikan komposisinya baik-baik saja dan tidak ada yang memicu kambuhnya alergi. Beberapa temannya memiliki alergi terhadap komposisi tertentu.
"Ambil saja dua-duanya. Aku yakin nanti juga akan habis mengingat banyak anak kecil yang akan ikut."
Sang adik mengangguk. Menaruh beberapa kemasan marshmallow dan jeli bunga dan kembali berjalan ke stan camilan lainnya. Sebenarnya membeli makanan sebanyak apapun pasti akan habis karena yang berpartisipasi cukup banyak, apalagi nafsu makan mereka juga tidak sedikit. Reyhan tidak pernah keberatan sama sekali membelikan makanan untuk teman-temannya karena selalu dihabiskan.
"Kak, beli susu? Atau Kala sudah beli susu?" tanya Ryasa lagi. Reyhan terkekeh. Ia sedang melihat bungkusan kopi hazelnut yang disukai teman-temannya saat adiknya bertanya.
"Ambil apa saja yang kau inginkan, Yas. Kalaupun tidak habis saat di vila, pasti akan kita makan juga. Semuanya pasti bermanfaat dan jangan bertanya lagi."
"Woah, serius? Aku boleh membeli banyak camilan?"
Reyhan mengangguk. Ia senang kalau adiknya senang. Lagipula ia hanya memiliki bunda dan Ryasa. Sudah pasti Reyhan menyayangi keduanya.
"Boleh, tentu saja. Bunda bilang sudah menyiapkan alat makan dan alat masak. Kita beli pisau saja karena bunda hanya menyiapkan dua pisau."
Ryasa mengangguk senang. Ia mendorong troli belanja dengan perasaan yang sungguh bahagia. Reyhan ikut terkekeh saat melihat adiknya yang terus tersenyum sepanjang acara belanja ini.
"Kak Mahesa?"
Reyhan menoleh. Mencari Mahesa yang baru saja disebut Ryasa. Ia tidak melihat adanya Mahesa di sini.
"Jangan berhalusinasi," ucap Reyhan pelan. Ia sedang sibuk memasukkan berbagai macam mie ke dalam troli.
"Serius itu Kak Mahesa. Lihat saja."
Akhirnya Reyhan menoleh lagi. melihat arah pandang adiknya yang terus melihat ke stan sayuran. Memang ada seseorang yang mirip dengan Mahesa, tapi Reyhan tidak yakin itu Mahesa. Kakak tingkatnya itu jarang sekali keluar rumah kalau tidak benar-benar butuh, apalagi sekarang di stan sayur sendirian. Untuk apa Mahesa di sana?
"Yas, itu bukan Kak Mahesa. Mana mau dia membeli sayur sendiri. Ayahnya saja mempekerjakan orang untuk membeli bahan makanan."
Ryasa hanya diam setelah kakaknya bicara barusan. Ia kira itu Mahesa karena terlihat familiar, tapi ternyata bukan. Benar kata Reyhan, untuk apa Mahesa berbelanja sendiri di saat ayahnya sudah memfasilitasi dengan baik. Pun Ryasa berjalan kembali mengikuti Reyhan yang mengambil banyak camilan. Sesekali Ryasa yang memasukkan banyak makanan manis karena gadis itu suka sekali makanan manis.
Setelah troli sudah penuh, Ryasa mendorong trolinya ke kasir dengan riang. Ia senang sekali bisa membeli makanan manis sepuasnya. Bunda sering menawarkan ikut belanja bulanan dan kedua anaknya boleh mengambil apa saja, tapi berbelanja berdua dengan Reyhan rasanya lebih menyenangkan karena keduanya sama-sama menjahili satu sama lain dan berakhir dengan tawa.
"Besok berangkat jam berapa, Kak?" tanya Ryasa setelah memasukkan paper bag berisi belanjaannya.
"Pagi. Kita akan semobil dengan Azka dan Kak Mahesa."
Ryasa langsung tersedak soda yang sedang ia teguk. Dari sekian temannya kenapa harus Azka dan Mahesa yang semobil dengannya? Apakah ia sedang dipermainkan sekarang? Rasanya Ryasa sudah gugup saat ini, bahkan sebelum naik ke mobil untuk berangkat liburan.
"Kenapa tidak Sean dan Juan saja? Satya menyetir sendiri? Yakin tidak lelah?"
"Kenapa panik begitu dikelilingi orang yang menyukaimu? Kau juga menyukai keduanya?"
"Ish! Sudah, cepat. Aku lapar."
Reyhan tertawa di belakang Ryasa. Adiknya itu tidak bisa berbohong padanya. Reyhan rasa adiknya itu bukan menyukai kedua pemuda yang katanya sangat menyukainya itu, tapi ia tahu kalau Azka dan Mahesa sama-sama menyukai Ryasa dan menggabungkan mereka pasti akan terasa canggung. Reyhan tidak merasa mereka akan canggung, Ryasa saja yang sensitif soal itu. Perempuan selalu lebih perasa.
"Ingin makan apa?" tanya Reyhan begitu menjalankan mobilnya keluar dari tempat parkir supermarket.
"Biasa saja. Aku ingin es krim yang banyak, Kak."
Gemas sekali kalau adiknya sedang dalam manja seperti ini. Kalau sudah lapar dan manja, maka Ryasa tidak akan galak sama sekali. Ia hanya ingin makan dan akan tertidur setelahnya. Reyhan sudah hafal sekali kegiatan sehari-hari adiknya itu.
"Kalau boleh memilih, kau akan memilih Kak Mahesa atau Azka?" tanya Reyhan. Tiba-tiba sekali. Ryasa hampir saja menyemburkan sodanya lagi.
"Kenapa bertanya seperti itu? Tumben sekali membolehkan. Biasanya Kak Rey memasang taring kepada semua laki-laki yang mendekatiku."
"Aku tahu kapan harus menjaga dan kapan harus mendukung. Kalau menurutku mereka berdua sama-sama baik. Azka lebih lembut dibanding Kak Mahesa, tapi Kak Mahesa lebih perhatian dibanding Azka. Love language mereka jelas berbeda. Entah mana yang lebih kau sukai. Yang jelas, jangan terburu-buru atau aku tidak akan segan memukul salah satu dari mereka kalau mereka membuatmu menangis sekali saja."
Ryasa menatap kakaknya ngeri. Ia tidak membicarakan Azka ataupun Mahesa sebelumnya dan sekarang kakaknya malah menceramahinya tentang menjaganya dengan tembok besar. Selalu saja menjaga adiknya yang sebenarnya bisa menjaga dirinya sendiri. Pun Ryasa hanya tersenyum malu. Ia tidak masalah dengan Reyhan yang cerewet seperti ini.
"Aku suka Kak Reyhan saja."
"Astaga. Sadar, Yas! Aku harus membawamu ke rumah sakit sekarang."