Suasana café masih ramai walaupun jam masih menunjukkan pukul sebelas malam. Para pelanggan sudah pulang dan hanya tersisa karyawan café dan para relawan. Mereka semua enggan pulang dan akan menonton film yang sekarang sedang disiapkan Reyhan. Proyektor sudah ditata dengan rapi dengan speaker yang terpajang di seluruh penjuru café.
Kala menekan tombol di remot yang dipegangnya untuk menutup kaca café dengan lapisan gelap supaya tidak ada orang di luar yang bisa melihat ke dalam. Sean dan Juan senang sekali saat hanya diberikan pekerjaan untuk mengambil bantal, boneka, dan guling di kamar Ryasa. Memang banyak sekali boneka di kamar café Ryasa karena banyak sekali yang meghadiahkannya boneka. Sengaja disimpan di café karena siapa tahu butuh.
Lantai marmer café sudah dilapisi dengan karpet berbulu milik Kala dan Riki. Riki rela pulang dulu untuk mengambil karpet diantarkan oleh Satya. Kala, Satya, dan Riki sama-sama mencurigakan. Kenapa juga Riki hanya ingin diantar Satya, padahal Mahesa menawarkan diri lebih dulu untuk menyetir.
"Hei, kau mau ku ubah menjadi biru?" sentak Reyhan kepada Azka yang hanya akan mengambil salah satu boneka. Reyhan terkejut karena ia kira Azka ingin merebahkan dirinya di samping adiknya.
"Lebih baik kau memakai bubble wrap kalau ingin bertemu Reyhan, Ka."
Celetukan Mahesa barusan langsung mengundang tawa. Reyhan memang protektif sekali kepada adiknya. Sekarang saja Reyhan membatasi siapa yang akan berbaring di samping Ryasa. Hanya ada Reyhan di sampingnya. Sisi kanan Ryasa belum ada yang mengisi. Sempat menoleh siapa tahu Kala akan berbaring di sebelahnya dan ternyata gadis itu malah asyik memakan kue kering bersama Satya.
"Kak, kasihan Kak Mahesa duduk sendiri di ujung. Boleh duduk di sini, ya?"
"Hanya duduk. Kalau kau mengantuk Kak Mahesa harus pergi."
See? Reyhan Diraya memang setegas itu. Pun Ryasa hanya tersenyum dan mengangguk. Ia melambaikan tangan ke arah Mahesa dan dijawab dengan ekspresi bingung. Mahesa baru saja akan memakan nasinya jika saja Ryasa tidak memanggilnya. Akhirnya Ryasa yang berjalan ke tempat Mahesa.
"Baru makan malam? Ah, maafkan aku tidak tahu. Aku akan menemanimu saja di sini."
"Memangnya Reyhan membolehkan?" tanya Mahesa khawatir. Takut dibuat menjadi biru.
"Boleh saja. Nanti aku yang memarahkan dia kalau tidak suka. Beres."
Mahesa tertawa setelahnya. Ia hanya diam menghabiskan nasinya dan Ryasa duduk melihat dinding yang sudah terpampang layar proyektor. Sedang memilih film. Kala dan Riki heboh sekali di bagian tengah. Pantas saja tidak ada yang bisa tidur. Ryasa memang menyukai suasana seperti ini karena sangat menyenangkan, apalagi ia bisa membuat banyak orang tersenyum juga. Rasanya seperti sudah memberikan yang terbaik untuk banyak orang yang ia sayangi.
Film mulai terputar setelah Riki memberitahu jangan ada lagi yang berisik, tapi bukan Juan dan Sean namanya kalau hanya diam dan tenang. Kedua bocah itu terkikik geli saat melihat Satya yang tengah memakan potongan besar roti.
Seminggu belakangan sedikit banyak hal yang menyenangkan terjadi. Menyiapkan acara amal, makan bersama bunda dan Reyhan, bertemu dan semakin dekat dengan Mahesa, dan jangan lupakan membeli bahan acara amal dan bertemu dengan Azka.
"Ujian sebentar lagi. Biasanya tetap belajar sambil mengurus café?" Mahesa menoleh. Menatap Ryasa yang asyik mengunyah wafer yang baru saja dioper teman-teman di depannya. Pembagian makanan seperti ini terkadang agak menyebalkan karena Juan dan Sean sering jahil saat mengambil makanan.
"Iya. Kenapa memangnya?"
"Tidak apa-apa. Hanya kagum saja bisa membagi waktu seperti itu."
"Turun ke arena balapan juga menghabiskan banyak waktu. Kak Rey pernah dimarahi bunda karena terlambat makan malam karena asyik balapan. Kita sama-sama sibuk bekerja, bukan?"
Mahesa mengangguk setelahnya. Orang lain mengira Mahesa dan teman-teman yang tergabung dalam klub balapan hanya membuang-buang uang dan waktu, tapi nyatanya klub balapan tempat di mana mereka tergabung adalah klub internasional. Bekerja secara legal dan tentu saja dengan ijin.
Ryasa tertawa saat melihat tokoh utama terjatuh dengan wajah yang lucu. Mahesa juga tengah menonton film yang sedang ditayangkan, tapi ia terus saja melirik Ryasa yang tidak bisa berhenti tertawa. Ternyata gadis ini cantik sekali saat tertawa lepas seperti sekarang.
"Aku akan mengambil tas ku di mobil dulu, Kak."
Mahesa mengangguk. Ryasa beranjak dari tempatnya saat mengingat ia tidak melihat ponselnya sejak datang ke café siang tadi. Takut bundanya menghubunginya dan tidak terjawab. Bunda tidak boleh khawatir.
Gadis bersurai hitam dengan sedikit aksen piranv itu bersenandung senang saat melangkahkan kakinya keluar dari pintu utama café. Ia berjalan dengan santai ke parkiran yang berada di belakang café. Ryasa menepuk-nepuk tangannya sendiri. Bangga pada dirinya sendiri karena bisa berada di titik ini. Ah, semoga Ryasa tetap kuat.
"Mahesa jelas bukan untuknya. Keluarga Mahesa sempurna, untuk apa ia mendekati gadis yang keluarganya hancur seperti itu?"
Ryasa terdiam. Langkahnya terhenti saat baru saja akan membuka pintu mobil. Ia tidak mengenal suaranya. Sepertinya juga bukan teman rumah atau teman kampus. Ryasa terkekeh pelan. Mahesa tidak dekat dengan gadis lain selain dirinya. Sekalipun teman seangkatannya, tidak ada yang keluarganya hancur. Mahesa bukan tipe laki-laki yang sering berkumpul bersama banyak gadis.
"Mahesa itu mencari penyakit saja. Banyak yang ingin keluarganya utuh, tapi ia malah mendekati gadis pemilik café itu. Jangankan menjaga Mahesa, bahkan aku tidak pernah melihat dia dekat dengan laki-laki yang suka padanya. Mungkin mereka sudah tahu. Atau Mahesa sebenarnya belum tahu?"
Ryasa menutup pintu mobilnya setelah mengambil tas miliknya. Berjalan kembali ke café dengan pikiran yang berkecamuk. Bertanya kepada dirinya sendiri kenapa juga membiarkan Mahesa mendekatinya, padahal sudah jelas banyak yang tidak menyukainya. Ia suka Mahesa. Laki-laki itu pengertian dan memiliki pemikiran yang sama dengan Ryasa, maka Ryasa menyukainya. Tapi, sepertinya ini salah. Ia tidak mungkin membiarkan Mahesa merasakan apa yang ia rasakan.
Ryasa berjalan memutari café dan masuk melewati pintu belakang. Menaruh tas nya di lantai dan duduk di tangga dekat dengan rak penyimpanan bahan makanan kering. Membuka ponselnya dan melihat kolom pesan. Bunda bertanya apakah Ryasa dan Reyhan sudah makan. Seperti biasa.
"Kenapa tidak kembali ke depan?"
Ryasa mendongak. Terkekeh saat kembali mengingat apa yang dikatakan seseorang tadi saat di parkiran. Mahesa yang baru saja berjongkok jadi bingung. Ia tidak tahu kenapa Ryasa tiba-tiba terkekeh kaku. Mata tidak pernah bisa berbohong.
"Kalau dipikir, Kak Mahesa itu baik sekali, ya."
"Kenapa tiba-tiba? Apa yang baru saja terjadi?" Mahesa menatap Ryasa khawatir. Ada yang tidak benar di sini. Jelas ada yang salah.
Ryasa tertawa. Ia kembali terbayang dengan ucapan dua orang yang entah siapa. Tidak ingin tahu juga karena tidak berguna. Ia hanya harus membuktikan pada dirinya sendiri kalau ia tidak lemah. Sakit memang. Banyak yang mengatakan kalau seorang gadis yang sulit memercayai laki-laki akan sulit mendapat pasangan, dan mungkin saja itu benar. Banyak hal yang tidak Ryasa miliki. Ayah saja tidak ada. Bagaimana dengan masa depannya yang akan terus dipertanyakan ibu kekasihnya – semisal memiliki kekasih – kalau bertanya soal ayahnya? Ia tidak akan bisa menjawab.
"Tidak apa-apa. Bunda hanya bertanya aku bersama siapa," jawab Ryasa. Ia tidak akan pernah membiarkan siapapun yang ia sayangi ikut sakit. Tidak akan pernah.
Setelah itu Mahesa tersenyum. Ryasa tidak bisa bohong kepadanya. Cerita Reyhan tentang Ryasa yang selalu bahagia sudah tertancap dalam sekali. Tidak ada manusia yang selalu bahagia di dunia ini dan Mahesa tahu jalan yang Ryasa lalui tidak semulus teman-teman lainnya.