"Makan dulu. Kau harus makan. Aku sudah membuatkan nasi goreng dan mie goreng ini untukmu, sayang."
Astaga. Ryasa bisa saja langsung pergi dari tempat duduknya sekarang. Ia sedang berjongkok di dapur untuk mengambil tempat makan besar karena lusa adalah acara amal. Harus mendeorasi café hari ini dan besok supaya benar – benar rapi.
"Kak Rey, jangan memanggilku sayang. Pandangan teman – temanmu itu agak mencurigakan," ucap Ryasa gugup.
Reyhan dan Ryasa memang berada di meja yang berbeda dengan teman – teman Reyhan, tapi teman – temannya berada di meja sebelahnya. Semuanya mendengar ucapan Reyhan yang terus membujuk adiknya untuk sarapan.
"Jangan menatapku seperti itu. Aku masih waras dan tidak menyayanginya selain sebagai adik. Kalian menatapku seperti aku criminal di sini."
"Ryasa sepertinya butuh istirahat, Rey. Matanya masih sembab."
Reyhan menoleh ke satu temannya. Kakak tingkat yang memang sudah lama dekat. Mereka berada di geng motor yang sama. Pembalap sejati dengan banyak penggemar walaupun kebanyakan bukan mahasiswa dari kampus yang sama karena mereka tidak memberitahu secara gamblang. Tidak mau memberitahu juga karena tidak mau memiliki pengikut yang genit.
"Ayo, Yas. Kakak temani."
Ryasa mengangguk. Mengikuti Reyhan ke kamarnya. Reyhan sempat pamit kepada teman – temannya dan menyuruh mereka menunggu Kala. Gadis itu akan memimpin dekorasi hari ini.
Reyhan duduk di kursi tepat di depan Ryasa yang duduk di pinggir kasur. Adiknya memang tidak terlihat bersemangat sejak pagi tadi. Reyhan baru akan mengusilinya jika tidak tahu kalau Ryasa sedang tidak baik – baik saja.
"Ada masalah?"
Ryasa mengangguk. Meminta Reyhan memeluknya lebih dulu sebelum ia bercerita.
"Jangan disimpan sendiri. Kakak akan membantu."
"Tadi malam aku video call."
Reyhan mengangguk. Siap mendengarkan curhatan adik satu – satunya itu.
"Kak Bintang seperti biasa. Memberi ucapan selamat untuk café karena acara amal. Beberapa menit kemudian mama Kak Bintang datang. Dia bilang.. hiks.. tega sekali, Kak Rey."
Tangan besar Reyhan mengusap punggung sempit adiknya, menenangkan. Ia tidak akan memaksa Ryasa supaya bercerita. Bintang adalah laki – laki yang Ryasa sukai. Sudah hampir lima bulan. Bintang berada di universitas yang sama, tapi berbeda jurusan. Ia menyukai Bintang karena laki – laki itu pekerja keras. Membantu banyak kegiatan kampus mulai dari yang mudah sampai yang membuat kepala pusing. Tidak terlalu sering bertemu karena Bintang sangat sibuk. Mereka menyempatkan untuk video call untuk sekedar menyapa siapa tahu Bintang akan menyukainya balik. Dan sepertinya benar, Bintang juga menyukai Ryasa. Tapi, sejak tadi malam, Ryasa tidak mau bertemu Bintang lagi.
"Tidak apa – apa. Adik kakak kuat."
"Mama Kak Bintang bilang kalau aku jelek. Dia bilang Bintang tidak seharusnya dekat dengan gadis yang tidak memiliki ayah karena hanya mau mengambil uang Kak Bintang saja. Dia juga bilang kalau… hiks… aku terlihat lemah dan tidak bisa bekerja keras, padahal tidak tahu aku bekerja sekarang. Memangnya Ryasa jelek sekali, kak? Jahat sekali."
Reyhan masih mengusap punggung Ryasa. Membiarkan adiknya menangis dahulu dan akan melanjutkan pertanyaan setelahnya. Ryasa memang suka sekali kalau dekat dengan Bintang. Beberapa kali laki – laki dengan surai kecoklatannya itu juga membantu Ryasa mengerjakan tugas di café dan taman kampus. Banyak momen, tapi rasanya dilupakan akan lebih baik. Beberapa mungkin akan berpikir kalau Ryasa berlebihan, tapi Ryasa tahu kakaknya itu waras. Reyhan tidak akan mengatakan sesuatu yang mencerminkan orang bodoh.
"Sudah lupakan saja. Lingkungan Bintang memang toxic sekali. Kau sendiri tahu, hm?"
Ryasa mengangguk dalam pelukan Reyhan. Ia tahu sejak dulu kalau mama Bintang memang sering bergosip di mana mana. Awalnya Ryasa menganggap semuanya tidak apa – apa, toh ia ingin dekat dengan Bintang saja dan bukan keluarganya, tapi itu Ryasa yang masih bocah. Ia masih polos dan tidak tahu sebenarnya sedang berjalan ke kubangan lumpur yang penuh dengan racun.
"Tidak apa – apa. Sebagai pengalaman saja. Lain kali kalau ingin dekat dengan siapapun harus berhati – hati, ya? Aku tidak mau adik kesayanganku ini menangis lagi."
***
"Kalau novel, genre apa saja yang ia sukai?"
Kala duduk berhadapan dengan salah satu teman Reyhan. Di sampingnya ada banyak kardus makanan yang belum terisi. Mereka sedang mengobrol di saat semua orang sibuk dengan dekorasinya, apalagi Reyhan yang sudah marah – marah karena Satya tidak tahu barang apa yang dimaksud Reyhan. Maklum saja kalau mereka berdua sering heboh di seluruh penjuru dunia. Azka saja hanya bisa menggeleng – gelengkan kepala.
"Tidak ada yang spesifik. Hanya saja Kak Ryasa suka semua yang realistis, atau bisa juga yang fiksi asalkan super hebat dan yang menulis agak gila. Kalau yang biasa saja dia tidak akan suka," ucap Kala antusias. Kembali mengingat koleksi novel Ryasa yang ia pajang di kamar atas café. Banyak sekali novel di sana dan jelas sekali Kala betah di café karena ia boleh meminjam novel milik Ryasa. Tidak usah membeli, hanya tinggal menunggu Ryasa membelinya saja dan Kala akan meminjam.
"Memangnya sudah suka Kak Ryasa sejak kapan, Kak?"
Yang ditanya langsung diam. Awalnya wajahnya antusias karena bisa bertanya tentang Ryasa dengan leluasa tanpa gangguan Satya yang katanya sedang dekat dengan Kala.
"E – eh? Tidak tahu."
"Sudah lama. Sepertinya lebih lama dari Azka. Azka selalu meminta ijin untuk bertemu dengan Ryasa, tapi aku jarang membolehkannya. Nah, saat itu juga Kak Mahesa memerhatikan Ryasa. Bukan menguntit. Lebih ke mata – mata amatir."
Mahesa jatuh dari kursinya saat tiba – tiba Reyhan datang entah dari mana. Yang ia tahu Reyhan sedang heboh meminta tolong Satya untuk menahannya saat akan jatuh di tangga dekat taman belakang dan sekarang sudah berdiri di sampingnya dengan senyum tampannya.
Athalla Mahesa. Laki – laki dengan wajah tirusnya dan mata yang bulat seperti Bambi. Lebih banyak diam daripada bercanda bersama temannya, tapi bisa menjadi pendengar yang baik. Mahasiswa jurusan yang sama dengan Reyhan, tapi Mahesa berada satu tingkat di atasnya. Berada di geng motor yang sama. Pembalap sejati dan juga anak tunggal yang disayangi. Mahesa lebih tinggi dari Reyhan. Suka memakai kemeja dengan celana oversized. Oh, jangan lupakan berbagai topi yang ia pakai, dan semuanya cocok. Tampan dan manis.
"Kenapa tidak bicara langsung saja dengan Kak Ryasa?" tanya Kala kepada Mahesa. Jujur saja, Reyhan juga menunggu jawaban Mahesa. Yang ditanya takut – takut menjawab karena Reyhan benar – benar galak kalau adiknya lecet sedikit saja.
"Ryasa sedang dekat dengan Bintang. Aku tidak mau membuat mereka risih."
Eh? Mahesa juga tahu? Kala saja tidak tahu kalau Ryasa dekat dengan Bintang. Wah, Mahesa benar – benar mata – mata amatir rupanya.
"Kakaknya juga galak. Ryasa juga, tapi aku suka. Gemas."
"Dekati saja. Kalau adikku menangis lagi mudah saja, aku hanya tinggal membuatmu biru – biru seperti Smurf, bukan?"
Kala membulatkan matanya. Astaga, Reyhan ini seram sekali.