"Kenapa tidak pulang sekarang saja? Sejak tadi kau terus bekerja. Makan siang saja sedikit sekali. Ayo, Kak, kita makan di rumah saja."
Mahesa mendongak untuk menatap Juan yang sedang berdiri di depannya. Banyak yang sudah pulang lebih dulu dari café karena memang sudah malam. Satya dan Azka pulang bersama sejak satu jam yang lalu. Sejak tadi Mahesa hanya diam saja di kursi yang terletak di pojok café. Sok sibuk dengan ponselnya seakan sedang bermain game, padahal ia saja jarang sekali memiliki waktu untuk bermain ponsel.
Radeva Juan, laki – laki yang berdiri di depan Mahesa ini adalah adik kelas Kala. Sudah lama saling mengenal dan rumah Juan adalah rumah yang paling dekat dengan Mahesa. Satu perumahan dan satu cluster, bahkan orang tua keduanya saling mengenal.
"Pulang saja duluan. Aku akan menunggu Ryasa."
"Wah, serius ingin dekat dengan Kak Ryasa rupanya. Baiklah kalau begitu. Aku pulang bersama Kak Sean, ya!"
Mahesa mengangguk saat Juan menepuk bahunya dan melambaikan tangan bersama Sean di rangkulannya meninggalkan Mahesa yang duduk sendirian. Beberapa menit setelahnya barulah Ryasa keluar dari dapur. Ia baru saja selesai mencuci semua piring makan teman – teman yang datang membantu. Awalnya Mahesa ingin membantu, tapi Reyhan menahannya karena ia tahu kalau adiknya tidak suka diganggu saat sedang bekerja. Mahesa yang memang sedang dalam tahap mendekati menurut saja.
"Ryasa." Yang dipanggil menoleh. Ia kira hanya ada Reyhan yang masih di café, tapi ternyata malah kakak satu – satunya itu yang entah sudah pergi ke mana.
"Kak…"
"Mahesa. Athalla Mahesa."
"Ah, Kak Mahesa yang pernah datang ke rumah? Kalau tidak salah yang disuruh menginap oleh bunda?"
Mahesa mengangguk diiringi dengan senyum. Senang sekali saat tahu Ryasa mengingatnya walaupun lupa siapa namanya. Yang terpenting sudah pernah tahu sebelumnya. Sejak pagi keduanya memang beberapa kali bertemu dan saling melempar senyum, tapi Ryasa hanya menganggap itu formalitas saja sebagai ucapan terima kasih karena telah membantu café untuk acara amal.
"Ada apa, Kak? Ada barang yang tertinggal di belakang?"
"Mau keluar bersamaku?"
Ryasa mengernyit. Apa – apaan ini? Tiba – tiba sekali. Tidak ada salahnya menyetujui. Hitung – hitung membalas kebaikannya selama sehari ini.
"Boleh. Mau dibawakan jaket? Sudah dingin malam – malam begini."
Mahesa hanya mengangguk mengiyakan. Sejak pagi ia memang hanya memakai kaus hitam dengan celana jeans saja. Udara sedang panas saat siang hari. Mahesa berangkat bersama Reyhan dan tidak membawa jaket. Awalnya ia kira Ryasa akan meminjamkan jaket milik Reyhan, tapi saat keduanya sudah berjalan beriringan di pinggir jalan raya, Mahesa tahu kalau yang ia pakai adalah jaket Ryasa sendiri.
Tidak ada kendaraan dan tidak ingin juga menaiki kendaraan. Udara malam ibu kota yang sedang dalam musim hujan sudah cukup untuk menjadi alasan untuk berjalan kaki dengan damai. Masih banyak yang berlalu-lalang karena masih cukup terang. Setidaknya belum tengah malam, lagipula ibu kota tidak pernah tertidur. Selalu ada orang-orang yang bekerja tengah malam atau sekedar berjalan-jalan untuk merefresh pikiran.
Mahesa tahu Ryasa bukan tipe gadis yang banyak meminta. Jangankan kepada orang lain, kepada Reyhan saja jarang sekali jika tidak benar-benar terpaksa, maka Mahesa tidak akan memaksa gadis itu untuk apa yang tidak ia sukai.
"Terima kasih sudah membantu, Kak. Memangnya tidak ada tugas atau kelas yang dipindah? Besok hari libur. Siapa tahu ada kelas yang dipindah. Dengar-dengar Kak Reyhan juga ada kelas yang dipindah untuk besok," ucap Ryasa. Ia tersenyum senang sambil memandangi jalanan yang bersih. Kawasan yang cukup elite karena selalu rapi dan bersih.
"Ah, tidak masalah. Aku free sampai minggu. Tidak ada kelas pindahan. Dosennya ada, tapi hanya ada tugas. Kau sendiri, tidak ada tugas? Sepertinya repot sekali menyiapkan acara amal."
Ryasa berjalan mengiringi Mahesa ke tempat duduk tepat di sebelah stasiun MRT. Suasana malam dan padatnya ibu kota selalu menjadi kesukaan Ryasa walaupun banyak orang yang tidak menyukai ibu kota karena ramai. Ryasa suka perkotaan dibanding pedesaan, jujur saja.
"Ada. Aku pandai membagi waktu, tenang saja. Tidak ada yang bisa menunda tugasku selain aku sendiri."
Mahesa terkekeh saat mendengarnya. Ia suka Ryasa yang selalu berpegang teguh pada pendiriannya. Tidak terbawa pergaulan teman yang suka berkumpul sepulangnya dari kampus walaupun Ryasa berasal dari keluarga yang berada. Gadis itu terlihat lebih suka menghabiskan waktunya sendiri.
"Ku dengar kau suka es krim hazelnut?"
Mahesa menoleh. Menatap Ryasa yang duduk di sebelahnya. Gadis itu sedang menatap langit dengan manik bulatnya. Walaupun langit ibu kota tidak banyak menunjukkan bintang karena sudah banyak polusi, tapi masih ada satu atau dua bintang yang terlihat. Cukup untuk memberitahu bahwa langit sedang cerah dan bahagia.
"Iya, suka. Sepertinya kau banyak tahu tentangku, ya? Suka? Jangan, Kak. Aku tidak bisa menjawab kalau ibumu bertanya apa pekerjaan ayahku."
Mahesa tahu cepat atau lambat Ryasa akan bicara seperti barusan. Ia sudah tahu sejak Reyhan yang bercerita padanya. Reyhan tidak akan membiarkan adiknya dekat dengan sembarang laki-laki dan menurut Reyhan Mahesa bukan laki-laki sembarangan. Ia sudah lama mengenal Mahesa dan tahu keluarga juga kehidupannya seperti apa. Dari situlah Mahesa tahu apa saja yang akan dikatakan, disukai, dibenci, dan apa yang menjadi obsesi Ryasa.
Tidak ada kata-kata yang bisa menyemangati bagi mereka yang sudah kecewa dengan seseorang. Mahesa sendiri tahu ia harus jatuh lebih dulu sebelum Ryasa menyukainya juga. Mencintai lebih dulu tanpa tahu hasilnya seperti apa. Memperlakukan Ryasa sebaik-baiknya meskipun tidak tahu hasilnya bagaimana. Jatuh ke samudera lebih dulu walaupun tidak pasti akan ada yang menolongnya. Ryasa pantas diperjuangkan dengan apa yang ia miliki. Gadis itu memiliki semua kepribadian yang mandiri dan independen. Tidak manja dan tidak juga sombong.
"Kau bicara seperti itu sudah seperti menyetujui aku menyukaimu saja. Sadar kalau aku suka padamu, ya?"
Eh? Aduh, Ryasa jelas bersemu sekarang. Walaupun Mahesa jarang mengobrol dengannya, tapi ia tahu mana yang menyukainya dan mana yang hanya suka berteman dengannya. Mahesa jelas bukan hanya suka berteman dengannya karena keduanya tidak pernah benar-benar berkumpul bersama hanya untuk mengobrol.
"Tidak apa-apa kalau tidak menyukaiku. Aku tidak memaksa juga. Ryasa yang tegas ini pasti akan menjauh kalau tidak nyaman. Kakakmu juga pasti mendukung. Aku bisa menyukaimu diam-diam saja."
"Kak Mahesa serius menyukaiku?"
"Iya. Reyhan pasti sudah mengatakannya juga. Tidak pantas juga kalau terus dipendam, bukan? Kalau sudah ditolak aku bisa perlahan tidak menyukaimu, mungkin. Aku tidak yakin."
Sekarang Ryasa yang menatap Mahesa. Ia memiringkan tubuhnya agar bisa menatap Mahesa yang jauh lebih tinggi darinya. Astaga, mata bambinya indah sekali. Bulat dan bersinar. Kenapa Mahesa tampan sekali?