Embusan angin menerpa daun – daun di jalan besar. Penghuni warung yang berada di tepi jalan menyipitkan matanya agar debu tidak menyapa matanya. Sekumpulan pemuda yang biasa duduk santai di warung tersebut adalah sekelompok pembalap yang cukup terkenal. Bukan balap motor illegal karena mereka memiliki ijin. Salah satu darinya adalah anak salah satu professor ternama di rumah sakit besar.
"Aku harus pulang," ucap salah satu pemuda dengan kemeja hitamnya. Ia meneguk habis kopi hitamnya dan hendak pergi dari warung jika saja temannya tidak lebih dulu bertanya.
"Pulang ke rumah? Aku ingin bertemu adikmu."
"Dia tidak di rumah. Jarang sekali. Tapi, kalaupun di rumah aku tidak akan membolehkannya bertemu denganmu, tentu saja."
Gelak tawa terdengar sesaat setelah laki – laki dengan kemeja hitamnya tersebut selesai berbicara. Sudah mulai sore dan hujan akan segera menyapa permukaan. Lebih baik pulang lebih dulu daripada harus berdiam diri di warung dan berakhir pulang tengah malam.
"Reyhan, jangan lupa. Besok ada mata kuliah pagi. Kita harus menata ruangan karena besok jadwal kelompok kita," yang lebih muda beberapa bulan tersenyum setelah bicara. Ia percaya dengan temannya itu. Laki – laki yang sudah berteman dengannya bahkan sebelum Ryasa dibolehkan keluar rumah sendirian.
"Siap, komandan! Aku duluan. Sampai jumpa, kawan!"
Reyhan berjalan meninggalkan warung menuju parkiran motor kampus. Masih banyak mahasiswa di sana dan masih bercengkrama bersama teman – temannya. Reyhan lebih memilih untuk pulang karena adik satu – satunya itu akan pulang ke rumah hari ini. Ia senang bisa berkumpul bersama adik dan bundanya. Keluarga kecil dengan sejuta kehangatan.
Karena Reyhan adalah satu – satunya laki – laki di keluarga ia sering merasa wajib untuk menjemput dan menanyakan kabar adiknya. Adiknya tidak memiliki sosok ayah untuk dijadikan panutan dan ia mau adiknya tetap percaya laki – laki. Sosok Reyhan selalu menjadi penenang untuk trauma yang adiknya rasakan. Walaupun seharusnya terlihat sangat berat, tapi ia tidak bisa terus berada di kubangan yang sama. Ia laki – laki dan ia akan berjuang dengan apa yang ia miliki. Tidak peduli dengan teman – temannya yang sibuk berpacaran dan memadu kasih, Reyhan akan menjadi laki – laki yang bisa membuat keluarganya tetap bersatu.
Senyumnya melebar saat tungkainya melangkah masuk ke dalam rumah. Ia melihat adiknya yang sedang berdiri di dekat televisi sambil menatap ponselnya lamat – lamat. Memakai headphone sebagai kebiasaan dan membuat Reyhan tertawa. Adiknya tidak akan tahu kalau kakaknya tengah berencana jahil. Maka Reyhan menggendong adiknya tiba – tiba, membuat pekikan meramaikan rumah besar yang sering kali sunyi. Bunda yang sedang berdiri di perbatasan dapur dan ruang tengah tertawa.
"Kakak! Kau mengagetkanku!" omel adiknya dengan teriakan yang sama nyaringnya. Wajahnya kesal, tapi tersenyum setelahnya. Memeluk kakak satu – satunya dengan erat dan mencubit lengannya.
"Ryasa baru sampai. Baru saja masuk sudah marah – marah. Dia bilang nenek sihir itu datang ke parkiran fakultasnya," ucap bunda Athalia – nama bunda keduanya.
"Nenek sihir? Oh, wanita itu? Bicara apa?" kali ini Reyhan menoleh ke adiknya. Sepertinya masih asyik dengan lagu yang melantun heboh di headphone miliknya.
"Ya? Dia bilang kenapa tidak pernah mau bertemu dengan suaminya. Aku jawab saja kalau dia bukan siapa – siapa. Dia juga mengatakan omong kosong. Sama seperti sebulan lalu."
"Kalau dia masih ayah kita?" Ryasa mengangguk. Senang saat mendengar lagu yang ia sukai terputar di telinga. "Memangnya Kak Rey masih menganggap suaminya itu ayah kita? Aku lebih menyukai Kak Rey saja. Bunda juga. Sudah bahagia seperti ini."
Bunda yang sudah duduk di sofa jelas tertawa saat mendengarnya. Ia sendiri tidak memiliki rasa lagi. Menikah cukup lama bukanlah alasan untuk tetap bertahan saat salah satunya berubah menjadi pengkhianat. Bunda pun tidak butuh barang rusak. Ia sudah berdiri dengan kakinya sendiri sejak umurnya masih kepala satu. Sama seperti Ryasa sekarang.
"Ayo makan dulu, Reyhan, Ryasa."
Reyhan dan Ryasa berjalan mengikuti bunda ke meja makan. Sudah banyak lauk yang tersaji di sana. Reyhan ikut tersenyum saat melihat adiknya duduk di kursi meja makan dengan manik yang berbinar senang. Sudah lama tidak berkumpul seperti ini.
"Bagaimana hari ini? Apakah ada mata kuliah yang sulit dipahami?" tanya Bunda. Wanita paruh baya yang masih cantik itu sedang mengambilkan nasi untuk kedua anaknya.
"Tidak ada. Semuanya seru. Dan lagi, Kak Rey, sepertinya Kala butuh pacar. Dia terus saja mengatakan kalau mamanya bertanya."
Reyhan dan Bunda tertawa saat mendengarnya. Mereka juga sudah mengenal Kala. Si gadis SMA heboh yang kerap kali datang ke rumah hanya untuk bermain atau hanya sekedar mengantarkan makanan buatan mamanya.
"Serius ditanyakan? Mama Kala suka bercanda, bukan?"
"Bunda seperti tidak tahu saja bagaimana Kala. Apa saja bisa dijadikan topik pembicaraan. Oh, ya, omong – omong café ramai akhir – akhir ini. Bunda dan Kak Rey harus datang ke café saat acara amal nanti," ujar Ryasa semangat. Ia bahkan belum memakan sesuap pun makanan yang ada di piringnya saat Reyhan sudah akan menyelesaikan makanannya.
"Acara amal? Kapan?"
"Minggu ini. Teman – teman Kak Reyhan juga harus datang, ya. Aku dan Kala akan membuat banyak makanan lezat. Kita berencana untuk membuat dalgona candy juga. Kala bilang itu mudah."
"Kalau sulit biar Kala saja yang membuatnya," celetuk Reyhan. Bunda tertawa saat mendengarnya. Reyhan dan Kala memang lebih sering menjahili satu sama lain. Awalnya bunda mengira kalau Reyhan menyukai Kala, tapi ternyata tidak. Dia hanya suka memiliki banyak adik. Beruntung ada beberapa teman Kala yang juga sering datang ke café, jadi Reyhan memiliki banyak adik.
Jangan tanyakan apakah teman – teman Kala dan Kala sendiri nyaman atau tidak diperlakukan seperti adik oleh Reyhan, mereka senang bukan main karena Reyhan itu baik sekali. Sering mengajak mereka pergi ke pameran motor dan pameran seni. Reyhan ahli melukis, omong – omong. Walaupun tidak begitu indah, tapi karya Reyhan cukup indah saat dipajang di beberapa dinding rumah. Bunda sendiri yang meminta Reyhan untuk memajangnya di sana karena ia bangga dengan anaknya.
"Kemarin kau tidak sarapan. Makan apa di café?" tanya Reyhan tiba – tiba. Menyelidik. Ia akan marah kalau adiknya tidak makan dengan benar. Bunda langsung menoleh ke Ryasa yang sedang asyik mengunyah udang goreng tepung. Astaga, udang ini lezat sekali. Tolong jangan ganggu Ryasa karena ia harus menikmati setiap sari udang yang sedang ia makan.
"Ryasa tidak sarapan?" tambah bunda dengan tatapan menyelidik pula.
"Hehehe, tidak. Aku makan roti di café jam sepuluh. Karena tidak ada kelas, aku langsung ke café saja."
"Ryasa."
Astaga. Ryasa bisa tenggelam sekarang. Tatapan Reyhan seakan langsung menusuk maniknya. Mata elangnya menatap Ryasa tajam.
"Ayo ikut aku ke gedung fakultas teknik. Besok, ya. Tidak ada paksaan, tapi harus ikut."
"Tidak mau! Banyak bebek!"
Eh? Bebek? Bunda menoleh lagi. Anaknya ini ada – ada saja kelakuannya. Sejak kapan di gedung fakultas teknik banyak bebek? Tolong sabarkan bunda Athalia.
"B – bebek?" Reyhan hampir tertawa saat menyebutnya.
"Daripada buaya aku lebih suka menyebutnya bebek."