Aku tersenyum sumringah saat melangkah keluar dari kantor perusahaan ojek online yang baru beberapa bulan hadir di kotaku ini. Pendaftaran ku untuk menjadi rider disetujui, aku bahkan sudah di beri modal jaket, helm dan pulsa lima puluh ribu, padahal aku sendiri belum mulai bekerja. Dengan penuh semangat aku mulai mengaktifkan akun rider milikku sambil mengenakan jaket hijau tersebut di tubuhku. Baru saja akun ku aktif, nada dering yang aku pilih untuk menandakan pesanan masuk, berbunyi. Lekas ku geser layar ponselku perlahan, meneliti pesanan, lalu menelpon orang yang sudah memesan jasaku. Setelah memastikan pesanan, aku berangkat ke alamat tujuan, meninggalkan pelataran kantor perusahaan ojek yang baru lima menit lalu aku tinggalkan. Dengan perasaan bahagia dan syukur yang tak terhingga, aku jalani pekerjaan baru ini dengan penuh semangat. Ini demi anak-anak, demi ketiga harta paling berhargaku di dunia. Semoga Tuhan membukakan kemudahan untukku dalam menjalankan profesi baru ini... Aamiin.
*
Aku melirik jam yang melingkar di pergelangan tanganku, sudah pukul sembilan malam. Itu artinya waktuku untuk ngojek sudah habis. Enaknya bekerja begini, kita bisa mengatur jam kerja sendiri. Tidak ada keharusan mengerjakan pesanan dalam satu hari yang akan memberatkan, kecuali kalau kita mau dapat bonus. Tapi, bonus apapun nggak ada artinya bagiku jika harus kehilangan terlalu banyak waktu berkumpul dengan anak-anakku.
Ku raih ponsel dari saku depan jaket hijau yang aku kenakan, bermaksud hendak mematikan aplikasi rider, tapi tiba-tiba nada pesanan masuk berdering lagi. Kutatap alamat tujuan si pemesan, lalu bersyukur. Alamat pengantarannya tidak terlalu jauh dari tempatku tinggal, alamat penjemputan pun tak jauh dari tempat ku berdiri saat ini. Aku segera menghubungi nomor ponsel si pemesan, bicara sebentar dengannya untuk mengkonfirmasi pesanan, lalu segera berangkat ke tempat penjemputan.
*
"Bapak Alvin Sanjaya?" Tanyaku pada seorang pria yang sedang berdiri di depan sebuah hotel, dia langsung menghadapkan tubuhnya ke arahku dan menatapku lama, bukannya langsung menjawab pertanyaanku.
"Maaf, Pak... Apa benar Bapak ini Bapak Alvin Sanjaya, yang memesan ojek online sepuluh menit yang lalu?" Aku bertanya lagi, dengan kalimat yang sengaja diucapkan sangat pelan dan jelas agar dia bisa memahami pertanyaanku. Agak kesal juga melihat tatapannya yang aneh, seperti sedang mempertanyakan apakah benar aku ini seorang tukang ojek atau tidak.
"Iya... Tapi… Kamu cewek, kan?" Pria itu malah balik bertanya, aku menurunkan masker yang menutupi wajah dari hidung sampai ke dagu, lalu membalas tatapan keraguannya.
"Saya wanita, Pak... Maaf... Bapak mau saya antar atau mau di cancel saja?" Aku bertanya dengan setengah kesal. Bukannya apa-apa, semakin lama ngobrol, maka semakin lama juga berangkat dan semakin lama juga aku pulang. Waktu terus berjalan dan aku harus segera pulang.
"Eeehhh... Iya... Antarkan saya sesuai map," jawabnya cepat sambil sesekali menoleh ke arah gedung hotel yang ada di belakang tubuhnya, lalu naik ke atas boncengan motor yang aku kendarai, sambil menyambut helm yang aku berikan.
"Ok... Siap, Pak?" Tanyaku sebelum mulai melajukan motor.
"Ok, siap," jawabnya cepat. Aku segera membawa Pak Alvin menjauh dari depan gedung hotel tempat dia berdiri tadi. Sayup ku dengar teriakan seseorang memanggil namanya, tapi karena Pak Alvin tidak memintaku untuk berhenti, maka aku terus melajukan motor menuju tujuan.
*
Motor kuhentikan tepat di depan sebuah rumah yang sangat gelap, aku lekas meraih sebuah pena dari saku samping jaketku sekedar untuk waspada. Daerah ini memang terang benderang, lampu jalanan menyinari jalanan di bawahnya dari awal masuk ke jalanan ini hingga ke ujung jalan. Meskipun begitu, aku tetap harus waspada. Maraknya kejahatan akhir-akhir ini membuat aku sedikit merasa takut kalau harus pulang hanya tinggal nama saja. Wajah ketiga anakku seketika terbayang setiap aku sedang waspada seperti sekarang.
"Berapa?"
"Sepuluh ribu Pak," jawabku sambil menghadapkan layar ponsel milikku ke arah pria bernama Alvin itu. Dia merogoh saku celananya, lalu mengeluarkan beberapa lembar uang dari sana.
"Ini... Ambil aja," ucapnya tanpa menatap wajahku, aku langsung menoleh untuk meraih uang yang dia berikan setelah sebelumnya mematikan aplikasi rider dan memasukkan ponsel ke dalam saku jaket. Tanganku menggantung di udara, lalu kembali ku tatap wajah pria itu sambil menjatuhkan tangan ke paha.
"Nggak ada uang pas, Pak? Maaf, uang saya nggak ada untuk kembaliannya, atau uang lima puluh ribu mungkin," tanyaku baik-baik. Pria bernama Alvin itu mengangkat kepala dan menatap wajahku, sesaat kami sama-sama terdiam sambil saling tatap.
"Ambil saja, itu rezeki kamu," ucapnya santai.
"Ini kebanyakan, Pak. Kalau kembaliannya hanya dua ribu sih pasti langsung saya ambil, tapi ini sembilan puluh ribu… Maaf, saya tidak bisa menerimanya," balasku.
"Nggak ada... Nih... Lihat sendiri," sahutnya kesal sambil memperlihatkan beberapa lembar uang merah yang ada di tangannya, seketika saja emosiku langsung terpancing. Setelah tadi dia buat aku lama menunggu, sekarang kasih uang besar, lalu marah pula karena menolak uang kembalian yang dia berikan.
Aku langsung menyalakan mesin motor, lalu menatapnya kembali.
"Nggak usah, Pak... Terima kasih. Setidaknya besok kalau hanya punya uang besar, Bapak pesan taksi online saja, bukan ojek online... Permisi," ucapku ketus, lalu lekas melaju menjauh dari pria aneh itu.
*
Hujan deras memang selalu membawa berkah untuk orang-orang dengan profesi tertentu, salah satunya para pengantar makanan. Kita nggak perlu bawa penumpang, tapi uang yang dihasilkan lumayan. Dapat bonus dari kantor plus uang cash dari pemesan. Ini hari Minggu yang basah, hujan sedari pagi mengguyur kota ini. Aku sudah keluar dari rumah sejak pukul sebelas tadi siang untuk menerima pesanan pembelian makanan. Sampai pukul lima sore ini, sudah sepuluh kali aku mengantarkan makanan. Bonus dari kantor tiga ribu rupiah per pesanan, artinya aku sudah mendapatkan tiga puluh ribu yang akan di transfer langsung ke rekening milikku besok pagi. Ditambah uang cash yang jumlahnya beragam, jarak pengantaran terdekat dihargai tiga ribu dan terjauh sepuluh ribu. Total pendapatan hari ini rasanya sudah lebih dari cukup. Jadi, hari ini aku bisa pulang lebih awal.
Saat ini aku sedang menunggu pesanan sepuluh potong ayam goreng dari salah satu gerai fast food ternama di dunia. Karena ini sudah pesanan ke sebelas, aku memutuskan kalau ini adalah pesanan terakhir ku hari ini. Setelah selesai mengantarkan pesanan ayam goreng ini, aku akan segera mematikan aplikasi dan pulang ke rumah.
Setelah hampir tiga puluh menit menunggu, akhirnya pesanan makananku selesai juga. Sambil menunduk ku fotokan jumlah uang yang harus disiapkan oleh si pemesan, jadi saat aku datang dia sudah menyiapkan uangnya. Ku masukkan ponsel ke dalam saku depan jaket, lalu melanjutkan langkah hendak keluar dari gerai fast food ini.
"Mbak!! Tunggu!!"
Aku langsung menghentikan langkah, lalu menoleh ke belakang. Sekedar untuk memastikan apakah benar aku yang dipanggil dan diminta berhenti tadi.
Seorang pria datang mendekatiku, semakin dekat aku semakin mengenali wajahnya. Itu adalah si Alvin Sanjaya yang tidak punya uang kecil saat ku antarkan beberapa malam yang lalu.
"Ini... Uang ojek malam itu, Mbak masih ingat kan?" Tanyanya dengan wajah yang dipasang sedatar mungkin. Aku meraih uang sepuluh ribu yang dia ulurkan, karena itu memang hakku.
"Masih... Terima kasih Pak Alvin," jawabku santai.
"Wah... Hebat... Masih kenal nama saya juga," sahutnya sambil tertawa kecil.
"Saya selalu ingat wajah dan nama penumpang ojek saya yang aneh-aneh," ucapku cepat, tawanya seketika hilang mendengar ucapanku.
"Sekali lagi terima kasih banyak, Pak... Saya permisi dulu... Mari." Aku langsung berpamitan untuk segera berlalu keluar dari gerai fast food. Keluar dari pintu, aku bertemu dengan rekan sesama rider yang baru akan masuk mengambil pesanan pelanggannya. Kami ngobrol sebentar, lalu kembali melanjutkan tugas masing-masing.
Kelar ngobrol dengan sesama rekan rider tadi, aku langsung melangkah turun ke parkiran dan menghampiri motorku. Keningku mengernyit saat melihat tiga bungkusan tergantung di leher motor matic milikku. Kuedarkan pandangan ke sekeliling area parkir, mencari orang yang sekiranya baru saja salah meletakkan makanan yang baru saja dibeli atau mungkin hanya sekedar menitip sebentar, tapi tak ada terlihat siapapun di sana, kecuali satpam yang duduk di depan pintu masuk sebuah ruangan berdinding kaca.
"Punya siapa sih ini? Arghhh... Bikin lama aja!" ucapku bersungut-sungut.
"Punya saya, Mbak."