"Menikahlah denganku."
"Uhukkkk!! Uhukkkk!! Uhukkkk!!"
Dila yang tengah asyik menikmati makan siangnya, langsung tersedak mendengar ajakan Alvin. Lekas diraihnya gelas air minum miliknya yang berada di samping kiri piring, lalu meminum isi gelas tersebut hingga habis.
"Kamu...."
"Aku serius."
Dila melotot kesal pada Alvin, yang sudah memotong kalimatnya. Segera saja Dila membasuh tangannya, padahal nasi di piringnya belum habis, gulai kepala ikannya pun masih banyak tersisa di dalam piring khusus di hadapan piring makannya.
'Ini nggak lucu, Vin... Sumpah." Dila menekan nada bicaranya sambil mengeringkan tangannya dengan selembar tissue.
"Aku memang tidak sedang membuat lawakan, aku serius." Alvin membalas tatapan Dila yang tajam dengan tatapan serius.
"Nggak... Aku menolak."
"Meski demi anak-anak?"
Dila melotot marah menatap Alvin, merasa tak senang anak-anaknya dilibatkan dalam hal ini.
"Mau sampai kapan kamu ngojek? Apa kamu yakin pendapatanmu ngojek akan bisa menutupi biaya sekolah anak-anakmu hingga mereka sarjana?"
"Itu urusanku! Yang penting aku akan terus berusaha."
Alvin meraup oksigen sebanyak-banyaknya, tidak menyangka akan sesulit ini meyakinkan tukang ojek perempuan yang ada di hadapannya.
"Menikah itu tidak semudah bilang iya, Vin. kamu masih muda, belum pernah menikah, makanya kamu mudah sekali mengajak perempuan untuk menikah."
"Lihat latar belakangmu, lihat latar belakangku juga. Kita ini bagai bumi dan langit, jauh!! Aku janda, anakku tiga, hutangku banyak dan aku bukan orang kaya. Apa yang mau kau harapkan dariku? Beban? Apa hidupmu kurang menantang sehingga kau berani mengajak janda miskin beranak tiga ini menikah?"
Panjang lebar Dila menjelaskan perbedaan keduanya, tapi Alvin yang sudah mantap dengan keputusannya tak mau mendengarkan.
"Begini saja... Anggap saja kita menikah kontrak."
"Apa?!!" Dila melotot kaget sekaligus marah pada ucapan Alvin, "bisa-bisanya laki-laki ini berpikir seperti ini?" Pikir Dila di dalam hati.
"Tunggu... Dengarkan dulu penjelasanku."
Alvin memulai ceritanya tentang amanat yang ditinggalkan sang ayah sebelum beliau meninggal, sebuah amanat yang sudah memaksanya harus menikah sebelum usia yang sudah ditentukan almarhum. Juga tentang perempuan-perempuan yang pernah mengkhianatinya, meninggalkannya karena tahu kekurangannya. Tapi Alvin tidak memberitahu Dila kekurangan apa yang dimilikinya, sehingga membuat perempuan-perempuan yang dicintainya, berselingkuh di belakangnya.
'Sisa waktuku hanya tiga bulan, kalau tidak semua harta peninggalan Papa akan jatuh ke tangan orang yang salah. Aku tidak mau itu terjadi." Alvin menutup ceritanya dengan helaan nafas berat.
"Aku akan membayar semua hutang-hutangmu, berapapun itu jumlahnya. Aku akan membiayai pendidikan anak-anakmu hingga mereka menyelesaikan kuliah dan mencapai mimpi-mimpinya dan aku tidak akan pernah menyakitimu dan anak-anak... Aku janji!"
"Aku sudah kenyang makan janji palsu laki-laki," ucap Dila lirih.
"Begini saja, besok siang temui aku di kantor. Kita akan membuat perjanjian langsung di hadapan pengacara pribadiku. Kau bisa simpan surat perjanjian yang asli, agar kau percaya kalau aku tidak sedang bercanda."
Dila menghela nafas berat, tawaran Alvin memang menggiurkan, tapi pengalamannya tentang pria yang selalu berakhir luka, membuatnya tidak semudah itu menerima tawaran tersebut.
"Aku mohon, Dil... Aku sangat membutuhkan bantuanmu."
Lagi-lagi Dila menghela nafas, bayang wajah ketiga anaknya hadir begitu saja di benaknya. Si sulung sebentar lagi akan kuliah, sementara hutangnya di bank sudah maksimal. Seketika saja Dila meragukan kemampuannya menguliahkan si sulung. Anak laki-laki satu-satunya, berkali-kali harus gagal ikut turnamen sepak bola. Itu karena Dila tak sanggup membelikan sepatu bola yang bagus dan mahal untuknya. Sementara si bungsu... Perjalanannya masih panjang, entah apakah Dila masih kuat ngojek saat si bungsu nanti memulai pendidikannya. Dila langsung dihantui rasa takut, takut kalau dia tidak bisa mengantarkan anak-anaknya untuk meraih mimpi.
"Pikirkan lah dulu masak-masak, ini demi anak-anakmu, demi masa depan mereka."
"Jangan takut-takuti aku, Vin!" Ucap Dila kesal, anak-anak adalah sesuatu yang dapat melemahkan benteng pertahanannya. Dia merasa diintimidasi jika anak-anaknya dibawa-bawa dalam masalah apapun.
"Aku tunggu besok siang di kantor, kau bisa buktikan sendiri keseriusanku ini!"
Dila kembali menatap Alvin dengan tajam, mencoba mencari kebenaran di tatapan lembut Alvin untuknya.
*
"Kau yakin dia akan datang?"
Hendra, pengacara pribadi Alvin, bertanya dengan memasang wajah serius. Sejak Alvin memintanya datang hari ini dan membuat sederet perjanjian yang akan ditandatanganinya, Hendra belum berhenti bertanya-tanya, apa benar ada perempuan yang bisa menerima kekurangan Alvin ini dengan tulus? Miris memang... Kekayaan justru membuat laki-laki sulit menemukan pendamping yang setia dan tulus mencintai apa adanya. Apa lagi dengan keadaan Alvin, entah perempuan mana yang bisa menerima kekurangannya itu.
"Nggak."
"Lah!! Ngapain kau minta aku datang? Kalau kau sendiri tidak yakin dia akan datang!"
"Aku berharap dia akan datang dan mau membantuku," jawab Alvin lirih, Hendra menghela nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Rasa iba pada sahabatnya ini seketika menyelimuti diri.
Setelah itu, Alvin dan Hendra terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Entah apakah Dila akan datang atau tidak, tapi keduanya berharap perempuan itu akan datang. Meskipun kemungkinannya hanya sepuluh persen saja, Alvin tetap menaruh harapan pada Dila.
*
Tiga jam sudah berlalu, Alvin menghembuskan nafasnya dengan kasar. "kenapa kau tidak mau membantuku, Dil?" Alvin mengepalkan tangannya dengan erat, bertanya bpada dirinya sendiri tentang penolakan Dila ini.
"Sepertinya...."
"Permisi, Pak." Tiba-tiba saja Lusi, sekretaris Alvin, masuk ke dalam ruangan, memotong kalimat yang akan disampaikan Hendra. Alvin dan Hendra menoleh berbarengan dan menatap tajam ke arah sekretaris tersebut.
"Mbak Dila Aprilia sudah datang, apakah...."
Alvin langsung bangkit dari duduknya, lalu berjalan cepat keluar dari ruangannya. Lusi yang belum menyelesaikan kalimatnya langsung terdiam melihat respon bosnya itu. Hendra menghela nafas lega, mengucapkan syukur di dalam hatinya sambil tersenyum. Dia jadi penasaran, perempuan seperti apa Dila yang menurut Alvin bekerja sebagai tukang ojek dan berstatus janda anak tiga itu.
Sementara di luar ruangan, Alvin dan Dila berdiri berhadapan dengan masing-masing memberi tatapan yang entah... Alvin yang begitu bahagia melihat kehadiran Dila, sementara Dila yang membalas tatapan Alvin dengan tatapan pasrah.
"Aku mau baca isi perjanjiannya dulu," kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut Dila, Alvin berjalan cepat ke arahnya, kemudian tanpa malu-malu memeluk tubuh Dila untuk mengungkapkan perasaan lega sekaligus ucapan terima kasihnya. Tubuh Dila seketika menegang mendapatkan pelukan yang tiba-tiba dari Alvin, setahun sudah tubuhnya tidak merasakan hawa panas yang dihantarkan tubuh pria ke tubuhnya. Ini bukan perkara mudah buatnya yang seorang janda, tubuhnya yang sudah lama tak disentuh tentunya akan langsung bereaksi jika diperlakukan seperti ini.
"Terima kasih, Dil... Terima kasih. Aku janji tidak akan pernah menyakiti kamu dan anak-anakmu, meski seujung kukupun."
Dila menghela nafas berat dan panjang, menetralisir perasannya saat ini, sekaligus mengenyahkan rasa panas yang tiba-tiba saja timbul akibat dipeluk.
"Aku mau lihat isi surat perjanjiannya dulu, Vin."
Alvin melepaskan pelukannya di tubuh Dila, dia menatap perempuan yang ada di hadapannya dengan tatapan lembut yang penuh harap.
"Ayo... Kita ke ruanganku."
Alvin mengenggam tangan Dila dan mengajak perempuan itu masuk ke dalam ruangannya, dia seakan lupa kalau status mereka berdua hanya sebatas pengendara ojek dengan penumpang saja. Alvin seperti orang yang tiba-tiba saja menderita amnesia saat ini, sementara Dila hanya bisa menahan nafas menerima perlakuan Alvin kepadanya.