"Jadi, kamu guru ASN?"
Alvin dan Hendra melotot tak percaya menatap Dila, yang baru saja menceritakan latar belakang kehidupannya. Mereka berdua pikir, Dila hanya seorang tukang ojek biasa. Keduanya benar-benar tidak percaya kalau menjadi tukang ojek adalah cara Dila memenuhi kebutuhannya dengan anak-anaknya. Ada perasaan iba yang tiba-tiba saja merasuk di hati kedua sahabat itu, mendengar perjuangan Dila untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya, bertanggung jawab pada kesalahan yang sudah dia buat, karena terlalu percaya pada laki-laki yang dulu menjadi suaminya.
"Tepatnya ASN yang bodoh," jawab Dila sambil tersenyum santai. "Sudah sekali dikhianati, masih juga percaya kepada janji manis laki-laki, menemaninya dari nol agar ketulusanku dibalas kesetiaan. Tapi, hasil akhirnya masih tetap sama," lanjut Dila lagi, ditutup dengan helaan nafas berat yang memilukan bagi orang yang mendengarnya.
"Ok... Berapa jumlah hutangmu semuanya?"
Dila menoleh dan menatap Hendra, "Tiga ratus juta, sudah maksimal," jawab Dila kemudian. Hendra menoleh dan menatap Alvin, yang masih terus menatap Dila dengan kagum.
"Baiklah... Besok, Alvin akan mengantar kamu ke bank untuk membayar semua hutang-hutangmu itu," sahut Hendra memutuskan, melihat sahabatnya yang sedang asyik memandangi Dila, Hendra berinisiatif untuk membuat keputusan sendiri.
"Jangan bercanda, Pak... Itu jumlah yang banyak," ucap Dila sambil tersenyum, merasa kalau Hendra tidak serius dengan ucapannya.
"Saya serius, Mbak Dila... Alvin sendiri yang akan menemani Mbak Dila membayar lunas hutang-hutang tersebut di bank besok, iya kan Vin?"
Alvin tiba-tiba tersentak oleh pertanyaan dan jawilan tangan Hendra di pahanya, dia lekas menoleh dan menatap Hendra yang sedang memelototinya.
"Ap-Apa, Hen?" Tanya Alvin tergagap, Hendra mendengus kesal melihat tingkah sahabatnya itu.
"Dila punya hutang di bank tiga ratus juta, kamu yang akan menemaninya ke bank untuk membayar semua hutang-hutang itu besok, iya kan?" Hendra mengulangi pertanyaannya kepada Alvin, melafalkannya perlahan dan tegas.
"Iya," jawab Alvin tak kalah tegas, Dila melotot kaget sekaligus tak percaya dengan apa yang didengarnya.
"Baiklah, silahkan Mbak Dila baca isi surat perjanjian yang sudah kami susun semalam. Dila boleh bertanya ataupun mengajukan keberatan pada poin-poin yang Mbak Dila tidak setujui." Hendra menyerahkan kertas surat perjanjian tersebut pada Dila, dan Dila menyambut kertas tersebut.
Baru saja membaca beberapa poin yang terdapat di dalam surat perjanjian, kedua mata Dila langsung membelalak kaget.
"Lll-Lima-Lima puluh juta? Vin!!" Dila langsung menoleh dan menatap Alvin dengan kedua mata melotot tajam, tak percaya pada salah satu poin yang tertera di sana.
"Iya... Itu nafkah yang akan aku berikan kepadamu setiap bulan, untuk kamu pribadi, bukan untuk biaya rumah tangga. Apa itu kurang? Kalau kurang...."
"Nggak!! Ini malah kebanyakan kalau hanya untukku sendiri!!"
Alvin dan Hendra menoleh bersamaan dan saling bertukar tatapan aneh, setelah itu keduanya kembali menoleh dan menatap Dila.
"Aku tidak sekonsumtif itu, Vin!! Ini apa lagi!!" Dila meletakkan kertas perjanjian tadi di atas meja, lalu menunjukkan masing-masing poin yang membuatnya keberatan, Alvin dan Hendra ikut memajukan tubuh dan setengah membungkuk menatap poin-poin yang ditunjuk Dila.
"Kalau maksud kamu ini biaya pribadi aku dan ketiga anak-anakku... Ini berlebihan. Lima puluh juta untukkku, dan anak-anak masing-masing dua puluh juta... Ini berlebihan! Aku nggak mau!" Sahut Dila tak suka.
"Dila... Dila... Begini, ya... Tunggu dulu. Ada satu hal yang harus kamu sadari terlebih dahulu." Hendra lekas merebut kalimat yang hendak disampaikan Alvin, Dila menoleh dan menatap ke arah Hendra.
"Setelah kalian menikah nanti, otomatis kamu akan menjadi istri Alvin Sanjaya, pengusaha muda ternama di kota bahkan di negara ini. Kamu... Mau tidak mau harus mengubah sedikit penampilanmu, maaf.... Kamu harus melakukan perawatan, mengenakan pakaian dan segala barang yang menempel di tubuhmu harus barang-barang yang bagus dan bermerk, makanya uang segitu diberikan untukmu, agar kamu bisa memantaskan penampilanmu dengan Alvin." Hendra menjelaskan tujuan uang lima puluh juta itu diberikan, Dila hanya membalas tatapan Hendra dengan mata yang sudah berubah sayu.
"Saya tidak tahu kalau harus seperti itu... Maaf."
Alvin dan Hendra langsung menghela nafas lega mendengar jawaban Dila.
"Tapi, tetap saja kebanyakan, tiga puluh juta saja!" Pungkas Dila, Alvin dan Hendra melotot kaget mendengar keputusan Dila. "Lagi pula, saya tidak tahu mau beli pakaian mahal dimana? Biasanya juga beli baju di pasar atau beli on line yang lebih praktis. Dengan uang sebanyak itu, dalam lima bulan saya udah bisa punya toko pakaian sendiri," sambung Dila lagi
"Anak-anak juga tidak membutuhkan uang sebanyak ini untuk kebutuhan sehari-hari, lima juta sudah cukup! Jangan ajari anak-anak saya menjadi anak-anak yang manja!"
Hendra menghempaskan punggungnya ke sandaran sofa, menepuk keningnya dan meraup kasar wajahnya sendiri. Sementara Alvin, dia malah tersenyum bangga dengan apa yang Dila sampaikan. Jelas terlihat, kalau Dila hanya butuh biaya pendidikan untuk anak-anaknya saja, bukan mengubah total cara mereka hidup selama ini.
"Maaf, Pak Hendra... Di sini hanya diterakan kalau saya berselingkuh maka saya harus kehilangan semua fasilitas yang Alvin berikan, tanpa mengharap apalagi meminta harta gono gini."
Hendra kembali menegakkan tubuhnya, membalas tatapan Dila untuknya dengan tatapan serius. Alvin yang duduk bersebelahan dengan Dila juga melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan Hendra.
"Bagaimana kalau justru Alvin yang berselingkuh?"
Hendra dan Alvin kembali menoleh berbarengan, saling bertukar tatapan sebentar.
"Alvin tidak akan mungkin berselingkuh," jawab Hendra cepat, Alvin mengangguk setuju.
"Siapa yang bisa menjamin?" Tanya Dila lagi, tubuhnya yang semula membungkuk membaca isi surat perjanjian yang ada di atas meja, berubah tegak menghadap Hendra.
"Manusia bisa berubah kapanpun, tidak akan ada yang bisa menjamin orang baik akan selamanya baik, begitu juga sebaliknya. Sudah dua kali saya dikhianati, padahal keduanya hanya laki-laki biasa, tidak punya banyak harta, bahkan saya yang menemani dan mendukung mereka dari nol."
"Apa lagi dengan Alvin... Dia punya banyak uang... Saya bahkan tidak perlu menemaninya lagi dari nol. Perempuan mana yang tidak akan tertarik pada Alvin Sanjaya yang punya segalanya, sampai sekarang saja saya masih bingung, kenapa saya yang dia pilih untuk menjadi istri? Sekalipun hanya sebagai istri kontrak. Padahal di luar sana, saya yakin masih banyak perempuan yang mengharap menjadi istrinya, bahkan mereka tidak perlu susah-susah memantaskan diri, karena sudah pantas untuk mendampingi seorang Alvin Sanjaya."
"Saya hanya tidak mau, mimpi anak-anak saya hancur lagi bersamaan dengan pengkhianatan bapak sambungnya ini. Terjadi atau tidak, jangan hancurkan mimpi anak-anak saya. Cukup hancurkan saya saja, saya sudah terbiasa dengan kata pengkhianatan, tapi anak-anak jangan."
Hendra dan Alvin menghela nafas panjang, kemudian menunduk lemah. Keduanya bisa merasakan betapa besar cinta Dila pada ketiga anak-anaknya itu.
"Baiklah... Saya akan menambahkan, kalau Alvin berselingkuh, dia tetap harus memberikan nafkah untuk anak-anak empat kali lipat dari yang biasa dia berikan, seumur hidup anak-anak. Jadi, sekalipun ketiganya sudah menikah, uang tersebut akan tetap menjadi hak anak-anak."
Hendra menoleh dan menatap Alvin setelah mengucapkan itu, Dila juga. Keduanya meminta persetujuan Alvin untuk isi perjanjian yang satu itu. Alvin lekas mengangguk mantap setuju, dia tahu sekali kalau dia tidak mungkin berselingkuh dari perempuan yang bisa menerima kekurangannya itu. Hari ini Alvin memang terpaksa menyimpan rahasia kekurangannya, tapi setelah menikah nanti, Alvin memutuskan untuk bicara jujur pada Dila. Agar Dila tidak berharap lebih darinya yang lemah.
Dila menghela nafas lega melihat Alvin setuju dengan perjanjian yang satu itu, karena buatnya kebahagiaan anak-anak lah yang utama, bukan kebahagiaannya semata.
"Baiklah... Saya akan segera mengubah isi surat perjanjian ini, besok Dila bisa datang lagi dan kalian berdua bisa menandatangani surat perjanjian ini bersama-sama."
Alvin dan Dila sama-sama mengangguk setuju, keduanya berbarengan menoleh dan saling bertukar tatapan. Ada sedikit rasa menyapa hati keduanya, entah perasaan apa, keduanya memilih untuk tidak mengambil peduli dulu saat ini.