Dila melirik jam tangan yang ada di pergelangan tangannya, sudah pukul sembilan. Itu artinya waktunya untuk mengumpulkan uang sudah habis. Dila memutar kunci motor, hendak beranjak dari tempatnya menunggu pesanan.
"Dila?"
Dila sontak menoleh ke arah suara seseorang yang sangat dia kenal, wajahnya seketika pucat melihat sosok pria yang menyebutkan namanya dari atas mobil, yang tiba-tiba saja sudah berhenti tepat di samping motornya. Pria tersebut menoleh ke arah perempuan muda yang duduk di sampingnya sambil tertawa mengejek, kemudian pria itu kembali menoleh dan menatap Dila, masih dengan tawa mengejeknya yang menjijikkan.
"Ngojek kamu sekarang? Kasihan...."
Pria tersebut tertawa terbahak-bahak, Dila lekas menghela nafas panjang dan menghembuskannya perlahan.
"Setidaknya aku tidak menjual diri, atau bahkan menyerahkan tubuh dengan gratis pada suami orang," sahut Dila sambil memasang senyum terpaksa. Tawa perempuan yang duduk di bangku penumpang mobil tersebut, sontak saja hilang. Matanya melotot marah menatap Dila, pria yang tadi melontarkan kalimat ejekan, langsung menoleh ke arah perempuan yang duduk di sampingnya. Sadar kalau perempuan itu sedang marah, pria tersebut kembali menoleh dengan kasar untuk menatap Dila.
"Kau...."
"Sudahlah, Mul... Jangan merendahkan pasangan harammu lagi dengan mengejekku. Aneh... Zaman sekarang perempuan lebih bangga menjadi pasangan haram dibandingkan jadi pasangan halal. Mau aja dibawa kesana kemari, tapi tidak dinikahi." Dila lekas memotong ucapan Mulya, pria yang mengejeknya dari atas mobil entah milik siapa.
"Hey, tukang ojek jelek!! Makanya kalau punya suami tu dijaga!! Gimana mau punya suami setia kalau nggak bisa buat nikmat, ya jelas aja ditinggal! Dua kali pula!!" Perempuan yang duduk di samping Mulya, Rina, menyahut dari dalam mobil, Dila hanya tersenyum sinis mendengar kalimat tersebut.
"Ini bukan soal kenikmatan... Ini hanya soal harga, yang murahan kan lebih mudah di dapat dan dilupakan. Lagian, laki-laki lapar yang suka celap celup nggak terlalu penting untuk dipertahankan, buat apa? Tempat yang pantas untuk sampah ya cuma di tempat sampah!"
"Kau!!"
Mulya segera membuka kunci pintu mobil, lalu menekan handle pintu tersebut untuk segera membuka pintu untuk turun. Belum lagi pintu terbuka lebar, Dila lekas menendang pintu tersebut sekuat tenaga, hingga pintu tersebut menutup lagi. Mulya menatap nyalang pada Dila, dibalas dengan pelototan tajam dari Dila yang masih duduk di atas motornya.
"Apa kau lupa kalau aku karateka sabuk hitam?! Apa kau tidak akan menyesal kalau nanti kepalamu ku piting hingga patah?!" Bentak Dila kasar sambil menekankan kakinya ke pintu mobil. Seketika Mulya dan Resti ingat kalau Dila adalah mantan atlet karate. Foto-foto dirinya sedang memegang piala kemenangan, terpampang di salah satu dinding rumah yang dikhususkan untuk menggantung foto-foto prestasinya itu. Keduanya langsung berusaha menelan ludah dengan wajah panik.
Dila kemudian mengangkat kakinya lagi, lalu menghentakkannya lagi ke pintu mobil yang tadi sudah dia hentak dengan kasar hingga menutup. Mulya dan Rina sontak terkejut dan kembali menatap Dila dengan mata melotot kaget.
"Sudah bagus aku mau menafkahi anakmu tanpa meminta uang sepeserpun kepadamu! Kalau aku menyerahkannya kepadamu, apa kau yakin mantan pembantu itu bisa mengurusnya dengan benar?!"
Lagi-lagi Mulya dan Rina menelan ludah dengan wajah panik, hanya diam tak menjawab pertanyaan Dila.
"Berani kalian mengejekku lagi, ku patahkan tulang leher kalian jadi empat bagian! Agar leher yang bercap haram itu tak sanggup lagi menopang kepala kalian yang tak berotak!!" Dila mengarahkan dagunya ke arah leher dua manusia yang masih berada di dalam mobil. Leher mereka bercap merah sisa-sisa permainan panas yang belum pantas mereka lakukan, karena keduanya belum menikah.
Dila menurunkan kakinya, lalu menyalakan mesin motor dan berlalu meninggalkan mantan suami dan kekasih gelapnya yang masih diam mematung di dalam mobil.
*
Dila mendengus kesal melihat calon penumpang yang sedang berjalan mendekatinya sambil tersenyum manis. Kalau mau di cancle, performanya yang sedang bagus-bagusnya pasti akan langsung turun, imbasnya akun ojek miliknya akan dibekukan beberapa hari. Artinya, Dila tidak bisa ngojek dan uang jajan anak-anak terancam.
"Apa kabar?" Tanya pria calon penumpangnya itu dengan ramah.
"Baik," jawab Dila ketus sambil menyerahkan helm. Pria tersebut, Alvin, menyambut helm yang diserahkan Dila, masih dengan wajah tersenyum yang membuat Dila semakin kesal.
"Kenapa pakai akun orang lain, sih?!" Tanya Dila ketus, Alvin tertawa kecil mendengar pertanyaan Dila sambil memasang helm berwarna hijau khas ojek on line di kepalanya.
"Ponselku hilang, itu akun baruku."
"Tapi namanya koq nama cewek?"
"Itu nama Kakakku, Ratih... Pengen aja pakai nama dia."
"Untuk apa?!"
"Pengen aja... Udah ah, Yok!"
Alvin memegang stang motor yang dikendarai Dila, lalu memberi kode agar Dila pindah ke belakang dengan dagunya. Dila bergeming tak bergerak, menatap Alvin dengan pelototan tak senang.
"Mau apa?!" Tanya Dila kesal.
"Aku yang bawa! Apa kau tak lihat kalau tujuan kita kali ini cukup jauh," jawab Alvin dengan nada lembut.
"Tau... Aku mampu koq!" Sahut Dila kesal. Alvin menghela nafas berat, lalu menjauh dari motor Dila.
"Kalau bukan aku yang bawa, aku cancle aja. Sekalian buat laporan ke pihak perusahaan yang menggajimu kalau ridernya sudah berbuat tidak sopan dan kasar kepadaku," ucap Alvin sambil membuka ikatan helm di kepalanya.
"Jangan!!" Dila langsung ciut mendengar ancaman Alvin, akan bekerja dimana lagi dia kalau diberhentikan oleh pihak perusahaan ojek on line? Bagaimana dengan anak-anaknya? Itulah yang langsung terpikir oleh Dila.
"Sebentar! Tetap diam seperti itu!!"
Dila mengarahkan kamera ponselnya ke arah Alvin, lalu mengambil foto pria itu dengan pose berdiri menghadap kamera sambil memasang kembali ikatan helmnya.
"Aku harus berjaga-jaga, biar aku kirim dulu fotomu ke teman-teman rider, lengkap bersama nama asli dan nama akunmu. Jadi, kalau aku tidak kembali dengan selamat, mereka tahu siapa yang harus mereka cari." Dila menjelaskan maksudnya mengambil foto Alvin tadi.
"Silahkan... Emangnya kamu pikir aku ini penjahat?"
"Justru orang-orang yang mengaku kalau dirinya bukan penjahatlah yang biasanya akan berbuat jahat!" Dila menyahut santai sambil bergerak mundur ke boncengan. Alvin naik ke atas motor milik Dila, kemudian menyalakan mesin motor tersebut.
"Aku pastikan kau salah! Kalau hanya motor beginian, dua puluh unit pun aku mampu membelinya, nggak perlu rampas punya tukang ojek. Kalau tidak percaya, aku akan belikan untukmu nanti! Mau berapa? Dua puluh?!" Ucap Alvin dengan nada sombong.
"Nggak usah banyak omong! Buktikan saja! Bayar ongkos ojeknya dengan uang pas, lalu belikan aku satu motor terbaru! Nggak usah sok-sokan mau belikan dua puluh!"
"Ok! Tapi dengan catatan, setelah mengantarkan aku nanti, matikan aplikasi ojek dan tunggu aku hingga urusanku selesai! Pulangnya, aku akan bayar ongkos ojek dengan tarif yang sama dengan saat pergi ini, plus satu motor keluaran terbaru, bagaimana? Deal?!"
"Deal!"
Motor pun melaju meninggalkan pelataran bank, tempat Dila menjemput Alvin tadi.
*
Setelah hampir satu jam perjalanan, Alvin membelokkan motor yang dikendarainya ke sebuah gedung. Dia memarkirkan motor di tempat parkiran khusus untuk mobil. "Cari mati dia." Pikir Dila sambil tersenyum.
"Yok!"
Dila menatap Alvin dengan aneh, "Yok kemana? Udah... Masuk sendiri aja sana!! Aku nunggu di sini!!" Sahut Dila dengan tatapan aneh.
"Permisi, Pak. Maaf, tidak boleh parkir di... Eh, Pak Alvin?"
Dila turun dan menoleh pada satpam yang mendatangi mereka, satpam yang awalnya berdiri tegak menunjukkan wibawanya di dalam seragam yang dia kenakan, seketika sedikit membungkuk dan tersenyum malu.
"Iya, Pak... Motor ini saya yang bawa, biarkan saja di sini." Ucap Alvin tegas, satpam tersebut lekas mengangguk.
"Baik, Pak."
Dila menoleh dan menatap aneh ke arah Alvin, "kenapa satpam ini sopan sekali kepadanya? Siapa sebenarnya laki-laki ini?" Dila bermonolog di dalam hati, masih menatap aneh pada Alvin.
"Udah... Buka helm dan jaketmu, ikut ke dalam. Di sini panas, kamu tunggu di dalam saja."
Dila menoleh dan menatap gedung hotel yang berdiri di hadapannya, seketika saja bulu kuduknya merinding membayangkan yang tidak-tidak.
"Nggak! Aku di sini saja!" Dila menolak ajakn Alvin dengan tegas, matanya melotot tak senang pada Alvin, tapi yang dipelototi malah tersenyum membalas tatapan kemarahan Dila.
"Di sini panas... Kalau nggak mau ke dalam, kamu tunggu di tempat satpam saja. Buka dan simpan dulu jaketmu, takutnya nanti malah satpam atau pegawai lain yang melihat dan mengusirmu." Ucap Alvin lembut.
"Nggak! Biar saja! Kalau mereka mengusirku, aku akan suruh mereka panggil Alvin Sanjaya yang sudah membawaku ke sini!" Tolak Dila tegas. Alvin lagi-lagi menghela nafas berat, menyerah.
"Ya sudah... Terserah!"
Alvin berjalan meninggalkan pelataran parkir, Dila membuntutinya dari belakang. Setelah sampai ke meja satpam, Alvin meninggalkan pesan kepada dua orang satpam yang bertugas agar mengizinkan Dila duduk menunggunya di meja mereka. Keduanya langsung mengangguk mengerti dan memberikan sebuah kursi untuk Dila duduki.
"Ingat... Jangan kemana-mana kalau tidak mau kulaporkan ke perusahaan ojek." Dila melotot kesal mendengar ancaman Alvin, dua satpam yang mendengar ancaman Alvin tersenyum sambil menunduk. Alvin kemudian melangkah masuk ke dalam hotel, Dila memperhatikan sikap orang-orang yang mendatangi Alvin dengan wajah tersenyum dan sopan. Hingga sosok Alvin menghilang berbelok ke kanan, entah kemana.