Aku menghentikan motor di tempat yang sama dengan tempat penjemputanku tadi. Sepanjang perjalanan dari rumah makan, hingga saat ini, tak ada percakapan yang tercipta antara aku dengan rider wanita bernama Dila ini. Kami seperti hanyut dalam pikiran masing-masing-setidaknya aku begitu.
Aku turun dari motor, lalu melepaskan helm yang melindungi kepalaku sedari tadi. Setelah itu, ku serahkan helm tersebut pada Dila. Setelah helm berpindah tangan, kurogoh saku celana jeans yang aku kenakan. Sesuai permintaannya, aku harus membayar dengan uang pas, maka aku memberikan uang pas, tujuh puluh ribu rupiah, untuk jasa antar pulang pergi. Dila meraih uang yang aku berikan tanpa berani menatapku lagi, langsung memasukkan uang yang aku berikan ke kantong celana jeans yang dia kenakan.
"Terima kasih."
"Sama-sama, Pak."
Dila langsung menyalakan motornya, lalu segera pergi menjauh tanpa mau menatap wajahku lagi. Aku menghela nafas berat setelah sosok Dila menghilang di sebuah belokan, lalu aku meraih ponsel dari saku celana, membuka aplikasi taksi on line dan memesan taksi lewat aplikasi tersebut.
*
Dila. A, itu yang tertera di layar ponselku saat pesanan ojek on line ku diterima. Entah kenapa, takdir seperti sedang mengarahkan aku kepadanya. Dua kali memesan ojek on line di aplikasi yang sama, dua kali pula aku diarahkan kepadanya. Padahal pada pemesanan kedua, aku sudah menggunakan akun baru. Dua kali pertemuan sebelumnya, aku masih menganggap itu hanya sebuah kebetulan semata. Aku yang ingin segera meninggalkan hotel, tempat aku memergoki tunanganku sedang bersama pria lain, ingin segera pergi dari hotel tersebut. Lekas kupesan jasa ojek on line dari satu-satunya aplikasi ojek on line yang ada di ponselku, langsung diterima oleh seorang rider wanita bernama Dila. Mungkin hanya dia lah yang posisinya berada dekat dengan hotel tersebut. Awalnya sempat ragu juga naik ke boncengannya, mengingat dia rider wanita dan pengendara motor wanita kebanyakan memiliki ilmu sesat soal lalu lintas. Aku memang hancur dan sakit hati melihat tunanganku berselingkuh, tapi bukan berarti aku sudah siap untuk menghadap sang khalik. Menyadari kalau tunanganku sedang berlari ke arahku, aku tak punya pilihan lain selain langsung naik ke boncengan motor milik Dila, tanpa menunggu lama-lama Dila akhirnya membawaku menjauh dari wanita pengkhianat itu.
Pertemuan kedua terjadi di salah satu food court ayam goreng tepung ternama di dunia, aku yang baru selesai makan siang, lagi-lagi bertemu dengannya. Teringat kalau aku belum membayar jasanya malam itu, karena sungguh aku tak memegang uang sepuluh ribu saat itu, aku lantas mendekatinya dan menyerahkan haknya yang beberapa hari lalu belum aku berikan. Sepintas aku mendengar teman sesama rider menanyakan kabar anak-anaknya saat Dila dan temannya itu mengobrol, spontan saja aku membelikan makanan dari food court tersebut untuk anak-anaknya.
Yang terbaru, beberapa hari yang lalu. Aku yang sengaja mengganti ponsel sekaligus nomor ponsel untuk menghindari kejaran si pengkhianat, dan langsung membuat akun baru untuk aplikasi ojek on line yang sama. Entah kenapa aku iseng menggunakan nama Ratih, kakak perempuanku satu-satunya, lalu kembali memesan ojek on line untuk mengantarkan aku menyambangi salah satu hotel milikku. Lagi-lagi nama Dila. A yang mengambil pesananku. Padahal sudah tiga rider sebelumnya menolak pesananku dan memintaku membatalkan pesanan. Mungkin karena tempat tujuanku yang memang agak jauh, makanya mereka menolak. Usaha membuat pesanan ke empat langsung mengikat nama Dila. A lagi.
Satu kebenaran tentang Dila yang aku ketahui saat ini, dia ternyata seorang janda. Seorang pria dan wanita yang mendatanginya sesaat setelah kami selesai makan siang di perjalan pulang beberapa hari yang lalu, sudah membuka kebenaran itu. Aku yakin sekali kalau pria itu adalah mantan suaminya, dan wanita yang bersama pria tersebut adalah wanita yang sudah merebut si pria dari Dila. Aku yang merasa semua hinaan yang mereka lontarkan kepada Dila adalah sesuatu yang tidak pantas, tiba-tiba saja berpikir untuk berpura-pura menjadi kekasih Dila. Sayangnya, keisenganku itu malah jadi bumerang buatku. Sejak saat itu, sampai saat ini, wajah Dila menghantui pikiranku.
Arggghhh!!! Kuusap wajahku dengan kasar, lalu ku acak-acak rambutku sembarangan, kenapa wajahnya tak mau pergi dari kepalaku? Aku malah semakin tersiksa dengan perasaanku sekarang ini. Tapi, melihat tiga pertemuan yang sama sekali tidak disengaja, apakah Tuhan menghadirkan Dila dan anak-anaknya untuk melengkapi kehidupanku?
Ku raih ponselku dari atas meja, langsung membuka aplikasi ojek on line tempat Dila bekerja. Coba sekali lagi, apakah benar Tuhan sedang merencanakan sesuatu untukku dan Dila? Kebetulan aku sedang suntuk sekarang, ini semua gara-gara perempuan bernama Dila. A si tukang ojek. Kalau kali ini Tuhan mempertemukan aku lagi dengannya, maka fix... Tidak perlu berlama-lama, aku akan langsung melamarnya. Hanya tinggal beberapa bulan lagi, sebelum semua peninggalan papa jatuh ke tangan paman dan bibiku yang benalu itu. Sebuah amanat yang berbau ancaman, yang dibuat sendiri oleh papa sebelum beliau meninggal. Waktuku sudah tak banyak lagi, hanya tinggal tiga bulan. Kalau sampai tiga bulan terlewati tanpa adanya pernikahan, maka aku akan jatuh miskin, sekaligus kehilangan satu-satunya kakak yang aku punya. Hampir setiap hari kak Ratih menelponku, menanyakan apakah aku sudah menemukan wanita yang mau menikah denganku dan menerima aku apa adanya dengan kekurangan yang aku punya. Sayangnya, jawabanku selalu saja "belum." Kak Ratih akan segera menghela nafas berat, lalu mengomel panjang lebar, membuat telingaku panas dengan kata-kata yang dia lemparkan.
Sambil berjalan keluar dari gedung perusahaan yang aku pimpin, aku memesan ojek on line. Jantungku berdebar kencang menunggu nama rider yang akan ditampilkan di aplikasi tersebut, nafasku saja sampai tertahan dibuatnya. Setelah sepuluh menit menunggu, akhirnya ada juga rider yang menerima pesanan ojekku. Aku segera menghela nafas panjang setelah nama dan foto rider yang menerima pesananku terpampang nyata di aplikasi tersebut, itu bukan Dila. A. Ternyata, tiga pertemuan kemarin memang hanya sebuah kebetulan, bukan sebuah pertanda khusus untuk kelangsungan hidupku ke depannya. Aku menunggu rider ojek on line itu datang di lobi, sambil terus berpikir keras tentang tiga bulan terberat dalam hidupku ke depannya.
*
"Lho... Lho... Lho, Pak... Kenapa ini?'
Baru saja motor ojek pesananku berjalan beberapa menit, tiba-tiba saja motor tersebut bergerak tak beraturan ke kiri dan ke kanan. Si pengendara ojek menepikan motornya, lalu menurunkan standar satu untuk membuat motornya tegak berdiri. Aku segera turun dari motor tersebut, langsung menatap ban depannya, benar saja... Bannya bocor... Astaga....
"Aduh... Maaf, Pak. Sepertinya Bapak harus cari ojek lain," ucap si tukang ojek dengan ekspresi bersalah. Aku melepaskan helm yang melindungi kepalaku, sambil melirik ke kanan dan ke kiri, berharap ada taksi yang lewat untuk bisa aku stop dan melanjutkan perjalananku ke rumah makan kepala ikan yang masih cukup jauh dari sini.
"Bapak saja yang cancle pesanannya ya, Pak."
Aku menganggukkan kepala, memaksa tersenyum karena menahan lapar di perut. Segera ku buka aplikasi ojek on line tadi dan melakukan apa yang diminta si Bapak pengendara ojek.
"Sudah, Pak."
Bapak tukang ojek itu tersenyum sambil sedikit mengangguk tak enak. Beliau pun sedari tadi melihat ke kiri dan ke kanan, seperti sedang berusaha mencari bengkel terdekat dari tempat kami berdiri saat ini.
Tiba-tiba, suara klakson beruntun dari motor si bapak terdengar, kemudian dia melambai-lambaikan tangannya ke arah sebuah motor. Aku menoleh ke arah yang sama dengan si bapak, motor tersebut terlihat bergerak maju mendekati tempat kami berdiri saat ini. Perlahan mataku membulat sempurna, semakin motor itu berjalan mendekat, semakin besar pula mataku membulat.
"Ya, Pak... Kenapa motornya?" Tanya si rider ojek yang baru datang menghampiri. Dia terus menunduk menatap ban motor si bapak yang kempes.
"Bannya kempes... Nggak pa pa. Cuma... Kasihan Bapak ini, kalau harus menunggu lama di sini."
Rider tersebut kemudian menoleh ke arahku, matanya membulat sempurna begitu menyadari keberadaanku.
"Tolong antarkan Bapak ini ke Bungus, Dil... Rumah makan kepala ikan Bungus, bisa kan?"
Aku dan Dila bertukar tatapan dengan mata sama-sama melotot, dia mungkin menganggap kalau ini adalah bagian dari kejahilanku, tapi yang ada di benakku saat ini adalah... Fix... Tuhan memang sudah menunjuknya sebagai malaikat penyelamatku.