"Udah... Pilih sana!"
Aku membelalak kaget saat Alvin Sanjaya memintaku memilih motor yang aku mau, tadi dia membelokkan motorku, yang dikendarainya, ke sebuah showroom saat dalam perjalanan pulang setelah semua urusannya di hotel selesai.
"Nggak usah melotot! Ayo buruan, pilih!" Dia memaksaku lagi untuk memilih motor yang aku mau, aku lekas menggeleng-gelengkan kepala dengan cepat, sama sekali tidak bermaksud serius dengan ucapanku tadi.
"Nggak!! Nggak jadi!! Aku nggak serius," ucapku cepat. Pria bernama Alvin itu mendengus kesal.
"Tapi aku serius! Aku barusan dapat rejeki nomplok dari hotel yang tadi, sekarang mau bagi kebahagiaan sama kamu, karena kamu udah mau mengantarkan aku. Ayo... Buruan pilih!" Lagi-lagi aku menggelengkan kepala dengan cepat, serius menolak tawarannya.
"Kalau kamu nggak mau pilih, aku yang akan pilihkan. Berapa? Tiga? Lima? Atau beneran mau dua puluh?!" Tanya Alvin dengan tatapan mengejek.
"Nggak usah macam-macam deh... Udah arghhh!! Ayo pulang! Aku capek, lapar, ngantuk!! Kasihan anak-anakku terlalu lama ditinggal. Mana aku belum sempat masak tadi! Ayok...."
Aku mendorong tubuh Alvin keluar dari showroom motor, langsung mengarah ke motorku yang terparkir di depan showroom.
"Dasar aneh!!" Alvin menggerutu sambil memasang helm di kepalanya, sedangkan helmku masih nangkring di kepala ini sejak kami turun dari motor dan masuk ke dalam showroom.
Alvin kemudian menyalakan mesin motor, aku langsung naik ke atas boncengan. Setelah itu, motor yang dikendarai Alvin pun bergerak pelan menjauh dari showroom.
*
Motorku dibawa berbelok masuk ke pelataran parkir rumah makan, aku menghela nafas panjang melihat tingkah penumpangku yang satu ini. Entah apa yang ada di kepalanya, senang sekali membuat aku naik darah.
"Apa lagi sekarang?!"
Alvin sudah mematikan mesin motor dan mengunci stang, setelah itu dia menurunkan standar, turun dari motor, melepas helm, lalu menggantung helm tersebut di spion.
"Aku lapar... Kita makan dulu!"
Aku mendengus kesal mendengar jawabannya, tapi tetap ikut membuka helm dan meletakkannya di atas jok. Tidak bisa kupungkiri kalau perutku memang sedang lapar juga. Aku dan Alvin berjalan bersisian masuk ke dalam rumah makan, lalu memilih meja yang ada di sebelah kanan dan duduk saling berhadapan.
Beberapa pelayan langsung datang dengan masing-masing membawa piring berisi lauk dan sayur, kemudian semuanya dihidangkan di atas meja. Aroma masakan yang sangat lezat membuatku beberapa kali harus menelan air liur, aku tahu diam-diam Alvin melirikku, tapi aku tidak peduli. Setelah semua makanan dan alat makan sudah tersedia di atas meja, aku dan Alvin segera mengeksekusinya.
*
Setelah selesai makan, Alvin mengangkat tinggi tangan kanannya untuk memanggil pelayan, aku hanya diam memperhatikan tingkahnya itu, lebih memilih mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Menatap satu persatu wajah-wajah orang yang sedang kelaparan dan sedang menikmati makanan yang tersaji di atas meja.
"Bungkuskan rendang daging lima, ayam bakar lima, ayam bumbunya juga lima, sambalnya kasih yang banyak dan satu porsi sup daging."
"Baik, Pak... Apa ada tambahan yang lainnya, Pak?" Tanya si pelayan pada Alvin, bukannya menjawab, dia malah menoleh dan menatapku.
"Mau pesan lauk lain nggak, Dil?" Aku mengernyitkan kening menatapnya, dia langsung mendengus kesal melihat ekspresiku itu.
"Buat anak-anak... Apa ada yang mau dipesan lagi?" Alvin menjelaskan tanpa aku minta, kemudian melemparkan pertanyaan lagi. Aku lekas menggelengkan kepala untuk menjawab pertanyaannya.
"Udah, Pak... Itu aja. Sambalnya jangan lupa dibanyakin, anak-anak saya suka pedas soalnya."
Anak-anak saya? Dia bilang anak-anak saya? Berarti makanan-makanan yang dia pesan tadi untuk anak-anaknya. Jadi, tadi dia menanyakan padaku apakah aku ingin membungkus makanan untuk anak-anakku di rumah dan aku jawab tidak. Huffttt... Ternyata aku cuma kepedean. Aku pikir dia memesankan makanan-makanan tadi untuk anak-anakku.
Beberapa menit kemudian, pelayan tadi datang lagi dan menyerahkan satu plastik hitam yang di dalamnya terdapat makanan-makanan yang dipesan Alvin.
"Udah... Yuk."
Aku langsung bangkit dan berjalan di belakang Alvin, sambil menunduk berusaha mencari uang dua puluh ribuan di dalam tas. Tiba-tiba saja tubuhku menabrak sesuatu yang berdiri di depanku, aku mengangkat kepala, rupanya itu tubuh si Alvin. Kami berdiri berhadapan dengan tubuh saling menempel saat ini.
"Eh... Mmmm-Ma- Maaf... Maaf."
Aku lekas mundur beberapa langkah, lekas memberi jarak.
"Kamu cari apa?" Tanya Alvin dengan kedua mata melotot kesal.
"Duit... Buat bayar makan."
"Astaga... Aku belum semiskin itu, Dil... Sampai harus membiarkan kamu membayar makananmu sendiri." Alvin bicara pelan sambil menautkan giginya dan membesarkan kedua matanya. Perlahan tanganku yang sudah menggenggam uang di dalam tas, langsung ku lepas dan ku tarik keluar. Aku segera menutup kembali resleting tasku dan kembali membawanya ke belakang tubuh.
"Pegang ini! Aku mau bayar dulu... Kamu tunggu di dekat motor aja."
Aku menatap tajam ke arah Alvin, seenaknya saja dia memerintah aku. Ku raih plastik yang dia berikan dengan kasar, lalu bergerak maju utuk melanjutkan langkah menuju motorku di depan.
"Hei!! Kang ojek... Jemput pesanan, ya...."
Aku menoleh ke arah perempuan yang barusan menyapaku, tepatnya mengejekku. Aku langsung menghadapkan tubuh ke arah perempuan itu, Rina.
"Ya iyalah, sayang... Ngapain lagi? Mana punya uang dia untuk makan di sini?"
Sudah aku duga, kalau ada Rina pasti ada manusia siluman lintah. Siapa lagi kalau bukan mantan suamiku, Mulya.
"Kenapa, Dil? Menyesal?"
Aku sontak tertawa mendengar pertanyaannya, sesuatu yang seharusnya tidak perlu dia pertanyakan lagi kepadaku saat ini.
"Aku malah bersyukur bisa lepas darimu, Mul... Setidaknya aku masih bisa mempertahankan rumahku sebelum dikuasai pelakor beraroma babu!"
Rina dan Mulya sontak melotot marah mendengar ucapanku. Dua manusia ini benar-benar aneh... Mereka tahu sekali kalau mereka tidak akan pernah bisa melawanku, tapi masih juga suka melempar hinaan kepadaku.
"Jaga ucapanmu, Dill!!"
Mulya sudah mulai maju mendekati aku, spontan aku mundur beberapa langkah untuk segera menjauh darinya. Tapi, tiba-tiba ada yang memegang panggulku dengan lembut dan menahan tubuhku untuk mundur. Aku segera menoleh ke samping untuk melihat siapa yang sudah berani menahan tubuhku untuk bergerak mundur, rupanya Alvin.
"Udah, kita pulang." Alvin memasang senyuman di wajahnya, menatap wajahku dengan lembut. Sesaat tubuhku menegang menatap senyuman dan tatapannya itu, darahku berdesir hangat dan jantungku berdebar sangat cepat.
"Eh... Ini siapa, yank? Kamu ada urusan apa dengan mereka berdua?"
Aku lekas tersadar, langsung menoleh dan menatap kembali dua lawan bicaraku tadi. Mulya nampak melotot marah menatap Alvin, kedua tangannya mengepal di kedua sisi tubuhnya dan wajahnya merah menyala. Sedangkan perempuan yang berdiri di sampingnya, tengah terpesona menatap Alvin. Dengan bibir yang membuka dan mata melotot terkesima tak mampu berkedip.
"Yank... Mereka siapa?"
Aku kembali menoleh dan membalas tatapn Alvin yang benar-benar mematikan, seketika membuat sekujur tubuhku terasa panas akibat membalas tatapan matanya itu.
"Bukan siapa-siapa, yank... Aku juga nggak kenal siapa mereka."
Aku kembali menoleh dan menatap Mulya, jelas sekali kalau dia sedang cemburu melihat kedekatanku dengan Alvin saat ini. Aku segera menggeser tubuh dan menempel di tubuh Alvin yang memiliki postur lebih tinggi dariku. Tanpa aku sangka-sangka, Alvin malah mengalungkan lengannya di pinggangku, membawaku lebih dekat lagi dengan tubuhnya. Seketika tubuhku menegang kembali, rasa panas menjalar di sekujur tubuh, dari kaki hingga ke ubun-ubun.