Aku menoleh ke belakang, sebuah mobil berhenti di belakangku, pengemudinya membuka jendela mobil, yang dia kendarai, lebar-lebar. Menunjukkan wajah si pengendara mobil itu.
"Buat Mbak... Buat keluarga di rumah... Sebagai ucapan terima kasih. Terima saja, ya... Jangan diberikan ke orang lain apalagi dibuang... Ini amanah! See you!"
aku melotot kesal menatap mobil yang sudah melaju menjauhi tempatku berdiri, apa sih sebenarnya masalah pria bernama Alvin itu, kenapa selalu saja membuatku kesal setiap bertemu! Tapi, karena ini rejeki dan aku dipaksa untuk menerimanya, tak ayal ku pindahkan tiga plastik bermerk nama gerai fast food ini langsung ke bawah jok, agar nanti tidak membuatku bingung saat mengantarkan pesanan makanan orang lain. Setelah itu, aku naik ke atas motor, mengenakan helm, menyalakan mesin dan langsung melajukan motor meninggalkan parkiran.
*
"Hmmmm... Enak, Ma...."
Aku tersenyum mendengar ocehan Adzam yang sedang menikmati ayam goreng pemberian Pak Alvin tadi. Disampingnya duduk Iza yang juga sedang menikmati ayam goreng dengan nasi panas yang sudah dimasak sebelum aku berangkat ngojek tadi siang. Sedangkan si kecil Alisha, asyik menggerogoti tepung yang membalut dada ayam. Dia memang selalu kesulitan mengunyah habis daging ayam, dia lebih suka tepungnya daripada dagingnya. Alhasil, aku lah yang memakan dagingnya, sementara dia hanya makan bagian kulit ayam dan tepungnya saja. Sudah terlihat seperti ibu tiri saja aku ini.
Entah kapan terakhir kalinya aku membelikan ayam goreng di gerai fast food ini untuk kedua anakku, mungkin sekitar empat atau lima tahun yang lalu. Saat itu belum ada Alisha, hanya ada aku, Iza dan Adzam saja.
"Satu lagi untuk makan malam, Ma?" Iza bertanya sambil melirik ayam goreng yang ada di dalam kotak bermerk gerai fast food ternama di dunia.
"Makanlah, Nak... Ambil masing-masing tiga potong. Mama sama Alisha biar dua potong saja. Iya kan, Sha?" Aku mencandai si bungsu yang sedang asyik mengunyah kulit ayam yang garing. Dia mengangguk sambil memasang wajah lucu menikmati kulit ayam yang sedang dikunyahnya. Membuat kami yang melihatnya seketika tertawa terbahak-bahak.
"Asyikkk... Sering-sering kayak gini Ma," ucap Adzam lagi.
"Yah... Namanya juga rezeki, kita nggak tau Tuhan akan kasih rezeki apa untuk kita hari ini. Yang penting itu kita berusaha dulu, soal hasilnya pasrahkan saja kepada Nya," ucapku lembut sambil menatap iba pada Iza dan Adzam. Mereka berdua mengangguk setuju.
Ku hela nafas berat sambil terus menatap kedua anakku yang sudah beranjak remaja, jujur saja aku merasa iba pada ketiga anakku, terutama Iza dan Adzam. Kami belum pernah sesulit ini dulu, sekalipun kami hanya tinggal bertiga saja. Gaji yang aku dapat masih cukup, ditambah lagi biaya sekolah mereka yang belum besar karena masih gratis untuk mereka yang saat itu masih duduk di bangku SD dan SMP.
Aku pikir dengan menikah lagi, maka ekonomi ku akan terbantu. Apalagi mengingat Iza sudah SMA, tapi apa mau dikata. Bukan kebahagiaan yang kami dapatkan, justru kesakitan yang ditinggalkan. Aku kembali menghela nafas berat mengingat semua kejadian yang menimpa hidupku selama ini.
*
"Langsung ngojek, La?"
Aku menoleh ke belakang, entah sejak kapan Ibu Kepala Sekolah berdiri di belakangku sambil memperhatikan aku yang sedang mengenakan jilbab. Aku baru saja selesai menumpang mandi di kamar mandi sekolah dan mengganti seragam dengan pakaian bebas. Tapi, jaket hijau masih ku simpan di bawah jok. Rencananya nanti saat sudah berada agak jauh dari sekolah, barulah aku mengenakan jaket kebesaran ku itu.
"Iya, Bu... Iza sedang banyak tugas sekolah, saya harus sudah sampai rumah paling nggak sesudah magrib. Kalau saya pulang dulu dan berangkat lagi jam empat sore nanti, bisa-bisa kembali ke rumah nggak bawa apa-apa kalau hanya jalan dua jam saja Buk," jawabku menjelaskan panjang lebar.
Ibu kepala sekolah terus menatapku dengan tatapan iba, kemudian mengambil duduk lalu menghela nafas berat.
"Semangat ya, La... Maaf... Ibu tidak bisa membantu banyak. Hanya bisa memberikan dukungan dan doa saja. Semoga kamu sehat dan kuat menghadapi semuanya sendirian. Ibu tau betapa beratnya berada di posisi kamu saat ini. Tapi, Ibu yakin kalau kamu bisa melewati semuanya," ucap beliau dengan bijaksana. Aku tersenyum sopan dan ikut duduk berhadapan dengan beliau.
"Terima kasih banyak, Bu... Melihat respon Ibu dan rekan-rekan yang lain saja sudah membuat saya kuat. Tidak ada satupun yang menganggap keputusan saya untuk ngojek ini sebagai sebuah keputusan yang salah. Tidak ada tatapan merendahkan, kata-kata hinaan, bagi saya itu semua sudah cukup. Saya bersyukur sekali berada di dalam lingkungan orang-orang yang open minded."
"Karena yang namanya perjalanan hidup setiap orang adalah sebuah rahasia. Tidak ada satupun dari kita yang tau apa yang nanti kita temukan di ujung perjalanan berliku yang kita hadapi," ucap Ibu Kepala Sekolah menanggapi kalimatku tadi.
"Kalau kami menghina kamu sekarang, lalu tiba-tiba di ujung perjalanan nanti kamu mendapatkan kesuksesan atau kehidupanmu tiba-tiba berubah, kan kami juga yang malu karena sudah menghina kamu," sambung beliau sambil tersenyum sopan, aku tertawa kecil menanggapi perkataannya.
"Tiba-tiba ada yang ngasih uang ojek satu milyar kan ya, Bu? Langsung kaya raya saya Bu," balasku dengan nada bercanda.
"Atau ketemu penumpang pria yang kaya raya, nggak punya istri dan diajak menikah. Bisa buat kamu kaya raya mendadak juga kan?" Ibu Kepala Sekolah menambahkan ucapannya, kami tertawa terbahak-bahak bersama.
"Duh... Bu... Kalau soal menikah lagi, mungkin tidak. Sudah kapok saya, Bu... Kasihan anak-anak," ucapku pelan, pimpinan ku itu menatapku lagi dengan tatapan iba.
"Syukurlah kalau kamu sudah berpikir seperti itu. Cukup mengurus anak-anak dan membesarkan mereka saja, kesampingkan soal cinta apalagi pernikahan," tambah beliau.
"Kecuali kalau ada laki-laki kaya raya yang mau menikahi kamu, La... Bersedia melunasi semua hutang-hutangmu, menyediakan tempat tinggal yang layak untuk kamu tempati bersama anak-anak, kasih uang belanja sepuluh juta sebulan di luar uang pendidikan untuk anak-anak, juga cinta dan sayang kepada anak-anak. Kalau ketemu laki-laki seperti itu, langsung pertimbangkan untuk menikah lagi."
"Mana ada laki-laki seperti itu, Bu... Kalaupun ada, mana mungkin mau menikahi janda beranak tiga dan udah tua kayak saya. Pastinya dia pilih yang muda, fresh dan kalaupun janda, pastinya janda yang tidak punya anak," sambarku sambil tertawa kecil.
"Ibu kan tadi bilangnya kalau ada," sahut Ibu Kepala Sekolah sambil tertawa kecil, aku ikut tertawa bersamanya.
Ya Tuhan... Seandainya ada laki-laki seperti yang Ibu Kepala Sekolah sampaikan tadi di dunia ini, nggak pakai mikir lama-lama, pasti akan langsung ku iyakan lamarannya.