Keesokan harinya, aku datang ke kafe milik Kak Vira tepat pukul empat sore. Setelah beristirahat sebentar di rumah setelah pulang sekolah, aku bergantian menjaga Alisha, putri bungsuku, dengan Iza. Semalam aku sudah membahas masalah pekerjaan tambahan di kafe, bersama Iza dan Adzam, anak laki-laki ku satu-satunya. Syukurnya kedua anakku itu tidak keberatan untuk menjaga Alisha selama aku bekerja di kafe.
Pekerjaanku di kafe termasuk mudah, tugasku hanya membantu Kak Vira mencuci piring dan membereskan kafe saat tutup. Selebihnya dilakukan oleh Kak Vira sendiri. Namun, aku tetap memperhatikan racikan bumbu setiap masakan yang dibuatnya, juga bagaimana cara membuat jus atau minuman lain yang biasa dia buat. Untuk hari pertama bekerja di kafe, aku di beri upah seratus ribu rupiah, karena hari ini pengunjung kafe cukup banyak. Setelah menutup kafe, aku dan Kak Vira pulang bersama-sama dengan motor yang aku kendarai.
*
Tiada terasa, tiga bulan sudah aku bekerja di kafe milik Kak Vira. Selama itu aku terus belajar meracik semua menu makanan dan minuman sesuai dengan racikan Kak Vira. Sampai akhirnya aku bisa membantu tugas Kak Vira membuatkan pesanan untuk para pengunjung yang datang. Alhasil, jika sedang ramai pengunjung tidak perlu menunggu terlalu lama seperti biasanya, karena aku juga sudah fasih melakukan apa yang biasa Kak Vira lakukan sendiri. Sejak saat itu tugasku pun bertambah, tidak hanya mencuci piring dan membereskan kafe saat akan tutup, tapi juga membuatkan pesanan. Tapi sayangnya, upah yang aku terima tak ikut bertambah, sekalipun aku sudah turun tangan membantu pekerjaannya yang lain. Ada sedikit perasaan mendongkol di hati, mengingat pelanggan semakin banyak, pekerjaan Kak Vira juga semakin ringan, tapi upah yang aku terima tak juga naik dari angka seratus ribu. Apalagi ketika bahan makanan dan minuman habis, Kak Vira akan memotong upahku setengahnya, dengan alasan besok di penuhkan. Tapi, kata besok seolah tidak punya titik, karena upah yang aku terima keesokan harinya tetap seratus ribu lagi, setengah yang kemarin tidak juga dibayarkan. Ini tidak terjadi hanya sekali, bahkan berkali-kali. Setidaknya setiap dua kali dalam seminggu, upahku harus terpotong untuk dibelikan ke bahan-bahan yang sudah habis.
Mengingat susahnya mencari pekerjaan tambahan di zaman sekarang, aku tetap sabar menerima keadaan ini. Biarlah menjadi tabungan untukku nanti di akhirat, itu pendapatku.
Perasaan dongkol ku bertambah sejak Kak Vira mulai sering meninggalkan kedai setiap selepas magrib. Awalnya dia beralasan karena anaknya sakit dan harus segera membawa anaknya berobat, jadi dia harus pulang lebih awal. Sementara pengunjung kafe saat itu lagi ramai, tidak mungkin rasanya mengusir tamu yang sedang menikmati makanan dan minuman di kafe. Akhirnya aku melayani dan mengerjakan semua pekerjaan di kafe sendirian. Sangking seringnya Kak Vira pulang lebih awal, para pengunjung pun mulai protes, karena aku harus melayani mereka sendirian tentunya tidak bisa secepat saat melayani berdua. Belum lagi jika piring bekas makan pengunjung sudah habis dan menumpuk di cucian, sementara pesanan masih ada dan aku hanya sendirian saja di kafe menghandle semuanya. Anehnya, apapun alasan Kak Vira untuk meninggalkan kafe selepas magrib, dia tetap akan kembali di tiga puluh menit sebelum kafe tutup. Hanya untuk menghitung pemasukan kafe selepas dia pergi dan memberikan upah untukku, seratus ribu. Begitu terus yang terjadi, sampai rasa bosanku memuncak. Tenagaku dipergunakan semaksimal mungkin, tapi aku diberi upah seminimal mungkin. Ini sudah tidak sehat lagi menurutku, akhirnya aku memutuskan untuk berhenti dengan alasan Iza dan Adzam selalu keteteran membuat tugas karena harus menemani Alisha. Tepat di bulan ke tujuh, aku memilih mundur.
*
"Gimana, Ma?"
Aku menatap Iza dengan nanar, catatan dari sekolahnya tentang kewajiban yang harus dibayarkan sebelum ujian naik kelas, membuat kepalaku seketika pusing tujuh keliling. Isi perutku langsung bergejolak melihat angka hampir dua juta yang tertera pada catatan tersebut, itu untuk uang sekolah plus uang buku yang selama enam bulan lamanya dia tutupi dariku.
"Kapan terakhir, Kak?" Tanyaku balik.
"Lusa, Ma... Senin kan udah mulai ujian," jawab Iza terbata-bata. Aku langsung menunduk lemas. Dalam satu hari, dimana aku bisa mendapatkan pinjaman uang sebanyak itu?
Oh iya... Aku lupa menjelaskan kalau aku tidak punya orang tua, adik apalagi Kakak. Kalau saudara yang lain ada, tapi untuk meminta tolong kepada mereka rasanya tidak mungkin, karena kehidupan Om dan Tante ku yang masih hidup, juga jauh dari kata cukup.
Tidak ada cara lain, sepertinya aku harus menambah pinjaman lagi ke bank. Hanya itu cara satu-satunya yang aman. Selain pinjaman akan langsung disetujui, Bank juga bersifat rahasia. Tidak akan ada yang tau soal hutang-hutangku, kecuali nanti kepala sekolah dan bendahara gaji. Keduanya juga tidak tinggal satu daerah denganku, jadi kalaupun suatu hari mereka ingin bercerita ke tetangga, setidaknya itu bukan tetanggaku juga.
"Ya sudah... Inshaallah lusa uangnya ada," ucapku setelah menghela nafas berat. Iza terdiam sambil memperhatikan wajahku, seperti sedang menelisik beban berat yang ku ampu saat ini.
"Ma...."
Aku mengangkat kepala dan menatap Iza dengan lembut.
"Maaf Kakak ya, Ma…." Nada suara Iza yang bergetar, membuat hatiku terasa nyeri. Dia pasti beranggapan kalau dia sudah membebani aku dengan biaya sekolahnya itu.
"Kenapa Kakak minta maaf? Ini memang sudah menjadi tanggung jawab Mama, Insya Allah Mama kuat, apapun akan Mama lakukan agar anak-anak Mama berhasil," ucapku sambil menggosok lengan nya dengan lembut. Iza mengusap wajahnya yang basah oleh air mata, kemudian memelukku erat.
*
"Persyaratannya apa aja, Bang?"
"Fotocopy KTP, SIM, STNK dan SKKB asli, itu aja."
"Daftarnya kemana?"
"Langsung aja ke kantornya di jalan Gatot Subroto, kamu lihat aja di google map kantor GRAB, nanti juga diarahkan ke sana koq."
"Ok, terima kasih Bang."
"Sama-sama."
Percakapan dua pria yang sedang sama-sama menunggu antrian di Bank ini, sejak tadi sudah menarik perhatianku. Aku lekas menoleh ke arah pria yang mengenakan jaket hijau kebesaran salah satu ojek online yang baru aktif di kota ini.
"Maaf, Pak."
Pria yang tadi menjelaskan cara mendaftar menjadi pengemudi ojek on line itu langsung menoleh kepadaku, lalu tersenyum sopan. Aku mengangguk dan membalas senyumannya dengan sopan pula.
"Soal pendaftaran ojek online tadi, apa mereka menerima pelamar wanita?" Tanyaku kepadanya.
"Owh... Terima koq, Bu... Asal belum berusia lima puluh tahun dan punya kendaraan sendiri tentunya. Banyak juga driver yang cewek koq, Bu," jawab pria itu dengan sopan.
"Kalau rider, bagaimana?" Tanyaku lagi, pria itu terdiam sebentar sambil mengernyitkan kening, seperti sedang mencoba mengingat sesuatu.
"Kayaknya sih belum ada rider yang cewek seingat saya. Atau saya nya aja yang belum pernah ketemu. Untuk jelasnya, lebih baik Ibu tanyakan langsung saja ke kantornya," jawab pria itu lagi.
"Owh... Ok, Pak... Terima kasih infonya ya," ucapku menutup percakapan.
Aku seperti mendapatkan cahaya harapan baru. Setelah tadi pinjaman ku disetujui, sekarang aku juga mendapatkan cara mendapatkan tambahan penghasilan. Semua syarat yang disebutkan oleh pria itu tadi sudah aku miliki, tinggal membuat SKKB yang bisa dilakukan dalam satu hari saja.
Sesaat setelah itu, nomor antrianku pun dipanggil lewat pengeras suara. Aku langsung bangkit untuk mengambil uang di kasir. Alhamdulillah.. Meski gajiku mulai bulan depan terpotong lagi, setidaknya biaya pendidikan anakku tidak macet. Aku harus kuat dan siap melakukan apapun demi anak-anakku, mengantarkan mereka ke gerbang kesuksesan sekarang menjadi tanggung jawabku. Dua laki-laki yang sudah meninggalkan anaknya kepadaku, sama sekali tidak peduli akan hal itu, tapi aku peduli.