"Ma... Mama makan, ya."
Iza atau Syahtiza, anak sulung Dila, masuk ke dalam kamar sambil membawa piring berisi nasi dan lauk lengkap di tangannya. Dila menoleh ke arahnya sebentar, lalu menghela nafas berat dan mencoba bangkit untuk duduk. Iza meletakkan piring yang ada di tangannya di atas meja rias milik Dila, lalu membantu Dila untuk duduk. Setelah itu, Iza mengambil bantal dan meletakkannya di belakang punggung Dila, agar Dila bisa bersandar dengan nyaman.
Iza kemudian duduk di tepi ranjang, lalu menyuapkan makanan ke mulut Dila, sesendok demi sesendok. Dia tak kuasa melihat wajah Dila yang terlihat lelah, sisa-sisa menangis seharian hari ini masih terlihat jelas di kedua mata Dila yang bengkak. Iza hanya menunduk, hanya menatap Dila ketika sedang menyuapkan makanan saja.
"Sudah... Mama sudah kenyang," ucap Dila pelan. Dia menolak piring yang ada di tangan Iza dengan gerakan pelan, Iza menghela nafas berat dan meletakkan piring kembali ke atas meja rias yang ada di samping tempat tidur.
"Ma… Hiks... Iza sayang Mama… ."
Iza langsung menghambur ke pelukan Dila, menangis tersedu di dalam pelukan Ibunya. Entah apa yang sedang dia pikirkan saat ini, hingga membuatnya sedih dan menangis. Dila membalas pelukan putri sulungnya itu, membelai rambut panjang sebahu dan lurus milik Iza.
"Kami semua sayang Mama... Hiks... Mama jangan seperti ini... Hiks," sambung Iza di sela-sela tangisnya. Dila lekas mengusap wajahnya yang terlihat sangat kuyu, seperti kehilangan semangat dan tak tau lagi harus berbuat apa.
" Biarkan mereka pergi, Ma... Biarkan saja. Jangan sesali apapun yang sudah terjadi... Hiks... Masih ada kami yang akan selalu menemani Mama, kami bertiga menyayangi Mama... Huhuuuuuhuuuu... Hiks… Huhuuuhuuuuu."
tangis Dila pecah seketika, pelukannya bertambah erat di tubuh Iza, anak sulungnya yang sudah mulai remaja.
"Maafkan Mama, Kak... Maaf… ."
Dila terus menangis tersedu, dia tak kuasa menahan perih di hatinya atas pengkhianatan untuk yang kesekian kalinya. Seharian dia terus mempertanyakan kepada dirinya sendiri, apa salahnya?
"Kita berempat saja seperti ini... Kami nggak butuh sosok Ayah. Kami sudah mendapatkan semuanya dari Mama... Itu sudah cukup," ucap Iza untuk menenangkan hati sang mama. Dila mengangguk pelan, setuju dengan ucapan anak sulungnya itu. Kedua Ibu dan anak itu terus berpelukan sambil menangis. Seakan sedang menumpahkan isi hati mereka yang penuh beban dan terasa sakit.
*
Dila menatap kertas tagihan listrik yang menunjukkan angka tujuh ratus ribu rupiah. Kepalanya seketika sakit melihat angka di atas kertas tersebut, otaknya juga langsung panas. Berkali-kali dia menghela nafas berat, sekedar untuk melepaskan penat. Tapi, rasa sakit di kepala dan sesak di dada tak kunjung berkurang.
Dila bangkit dari duduk dan berjalan ke dalam kamar. Alisha, si bungsu, sedang tertidur pulas di atas ranjang milik Dila. Perlahan Dila melangkah ke lemari pakaiannya, lalu membukanya. Tangannya terulur ke belakang tumpukan baju yang tersusun rapi di dalam lemari, lalu menariknya lagi keluar dari balik tumpukan baju tersebut. Dila memegang sebuah kotak perhiasan, hanya itu sisa simpanan yang dia punya. Rencananya perhiasan ini akan dia gunakan untuk biaya kuliah Izza nanti. Tapi, kalau tidak dengan ini, dengan apa lagi dia harus membayar semua tagihan bulanan rumah ini?
Sejak diusir dari rumah, Mulya tak lagi mengirimkan uang belanja ataupun uang cicilan truk yang menggunakan nama Dila. Sudah empat bulan Mulya pergi, sebentar lagi orang bank pasti akan mendatangi rumah Dila dan meminta cicilan truk. Dila tak punya pilihan lain, dia harus segera memutuskan agar segera terbebas dari tumpukan beban yang ditinggalkan Mulya kepadanya.
"Maafkan Mama Za," ucap Dila pelan, tangisnya seketika pecah, mengingat anak-anaknya harus menjadi korban keegoannya dengan memutuskan untuk menikah lagi. Padahal saat itu mereka bertiga sudah cukup bahagia walau tanpa kehadiran sosok pria dewasa di dalam rumah ini.
*
Dila POV
"Kamu harus cari tambahan La," usul Yeni, salah satu rekan sesama guru di sekolah tempat aku mengajar.
"Iya, Yen... Aku tau.Tapi mau kerja apa? Kita pulang sekolah aja udah jam segini, umur juga udah nggak muda dan penampilan juga tak menarik. Siapa yang mau kasih kerjaan ke emak-emak kayak aku ini?" tanya ku balik.
"Hmmm... Jualan aja... Ikut Kak Mala, jadi anggota Tupperware," usul Yeni, aku menoleh pada Kak Mala yang tiba-tiba saja menoleh ke arah kami. Dia mungkin mendengar suara Yeni yang menyebutkan namanya tadi.
"Aku nggak bisa jualan," jawabku cepat, tak mengacuhkan tatapan penuh tanda tanya dari Kak Mala.
"Belum dicoba udah bilang nggak bisa, coba dulu biar tau hasilnya gimana. Biasanya, orang-orang terdesak kayak kamu ini di kasih kemudahan sama Allah," sahut Yeni.
"Iya nggak, Kak Mala? Aku lagi meracuni Dila buat jadi anggota Kakak di Tupperware," sahut Yeni yang seketika sadar kalau Kak Mala masih terus memperhatikan kami berdua. Dia tidak mau disangka lagi ngegosip atau sedang ngomongin keburukan Kak Mala.
"Benar itu... Ayo, Dil... Bulan ini banyak hadiah... bla... bla... bla...."
Kak Mala mulai menjelaskan tentang keuntungan menjadi anggota Tupperware, cara kerjanya dan uang yang bisa dihasilkan dari penjualan setiap item. Kepalaku tiba-tiba saja menjadi pusing. Berharap di kasih saran yang menenangkan malah dapat saran yang memusingkan, Yeni… Yeni… .
*
"Ikut Kakak kerja di cafe, mau?"
sekarang aku sedang di rumah salah satu tetanggaku, usianya hanya lebih tua satu tahun dariku dan status kami juga sama, a single mom. Dia punya kafe kecil di jalanan lintas, aku sudah tahu itu sejak lama.
"Kerjaannya apa, Kak? Masakanku rasanya standar masakan rumahan, nggak menjual," ucapku menjawab ajakannya.
"Nanti kan bisa sambil belajar, La... Kebetulan akhir-akhir ini pelanggan kafe Kakak lagi rame-ramenya. Agak keteteran juga Kakak melayani sambil masak."
"Si Yanti, gimana? Nggak enak aku, Kak... Masak dia jadi tersingkir cuma gara-gara ada aku," ucapku kemudian. Yanti adalah pegawai di cafenya, aku juga mengenal perempuan beranak satu itu. Suaminya hanya bekerja di bengkel las, sementara anaknya sudah SMA dan butuh biaya besar. Itulah kenapa dia bekerja di cafe milik tetanggaku ini.
"Dia sudah dua minggu berhenti, katanya sih mau balik ke kampung. Sekarang dia lagi sibuk ngurus pindah sekolah anaknya," jawab tetanggaku itu.
"Kamu datang jam empat sore ke kafe, jam sepuluh malam paling lama kita tutup. Kalau sepi, kita bisa tutup lebih awal."
"Upahmu ku bayar seratus ribu kalau rame, tapi kalau sepi aku hanya bisa kasih lima puluh ribu, bagaimana?" Tetanggaku itu melanjutkan penjelasan dan menutupnya dengan sebuah pertanyaan, sesaat aku terdiam sambil memikirkan keputusan apa yang akan aku buat. Lima puluh ribu per hari juga lumayan. Setidaknya aku nggak pusing lagi memikirkan uang jajan sekolah dua anakku dan minyak motor untuk ke sekolah. Kalau dapat seratus, lebih lumayan lagi. Bisa buat beli beras dan telur untuk lauk di rumah.
"Ok lah, Kak... Kapan aku bisa mulai kerja?" Tanyaku mantap.
"Besok langsung datang aja ke cafe, kita ketemuan di sana aja. Kakak ke cafe jam tiga sore, karena harus merapikan cafe sebelum buka. Bukanya jam empat sore, setiap hari," jawab si Kakak lengkap. Aku tersenyum dan langsung mengangguk cepat. Untuk saat ini, biarlah ini dulu yang aku jalankan. Sambil mencari pekerjaan lain yang lebih baik dan upahnya lebih besar. Ini semua untuk anak-anak, semoga langkahku dimudahkan oleh Nya... Aamiin.