Ada satu hal yang kerap kali menjadi sebuah alasan, keterpaksaan. Tidak semua orang akan menganggap bahwa keterpaksaan adalah jalan terakhir yang mereka punya. Sebagian orang menganggap keterpaksaan adalah sebuah akhir yang mau 'tak mau harus dilakukan, tetapi sebagian orang lagi akan menganggap bahwa keterpaksaan juga bisa saja menjadi jalan tengah.
Tidak ada yang salah ataupun benar bagi dua pilihan itu. Mendadak suatu saat nanti juga akan merasakan hasilnya. Memang 'tak secara instan, tetapi cukup untuk membuktikan bahwa mereka mampu. Meskipun tanpa sebuah alasan yang jelas, hanya bermodalkan keterpaksaan yang mereka pilih.
"Aku tau kau tidak akan mengecewakan ayah."
Di sinilah Lilian berada. Di sebuah ruangan VVIP, duduk pada kursi berwarna merah gold dengan balutan dress pendek warna merah bata, senada dengan heels yang dipakainya. Rambutnya digelung indah menampilkan ceruk lehernya yang menawan, bersih layaknya tanpa noda.
Benar, wanita itu menuruti kemauan kedua orangtuanya. Bukan tentang pernikahan. Untuk yang satu itu, Lilian belum memberikan jawaban yang tepat dan yakin. Beruntunglah orangtuanya tidak begitu memaksa untuk segera memutuskan pilihannya. Lilian masih ingat, dua hari yang lalu ibunya berkata, "Tidak apa, bertemulah dahulu dengannya."
Hanya bertemu, sebatas itu saja. Tidak ada salahnya bukan jika Lilian mengiyakan. Lagi pula ini adalah kesempatan bagi Lilian untuk mencari celah agar ia bisa menemukan alasan untuknya menolak pernikahan ini. Dengar-dengar juga, putra yang dimaksud akan dinikahkan dengannya ini tidak pernah diekspos oleh media ataupun orang lain. Hanya keluarganya saja yang mengetahui keberadaannya dan seperti apa rupanya.
Bukankah bagus, baru fakta kecil yang Lilian dapatkan, tetapi ia sudah mempunyai alasan yang akan ia lontarkan nanti. Dengan ini Lilian jadi berpikir, pasti lelaki itu tampak sangat membosankan karena mungkin dia tidak pernah bersosialisasi. Bukankah begitu? dia disembunyikan lalu bagaimana ia bisa bersosialisasi dengan bebas. Bagus, Lilian merasa ia sangat pintar sekarang.
Miris bagi Lilian karena faktanya Malvin bukan seseorang seperti yang ia pikirkan. Bisa Lilian lihat bagaimana Malvin berjalan dengan balutan tuxedo warna hitam dengan celana senada, oh jangan lupakan dasi yang terpasang rapi di sana. Berjalan dengan langkah pasti sembari sesekali menunduk pada orang yang lebih tua darinya. "Sopan," batin Lilian. Sayangnya, dengan segera Lilian kembali menampik apa yang baru saja diteriakkan oleh batinnya.
Ruangan yang akan dijadikan tempat pertemuan dua keluarga terpandang itu kini mulai dipenuhi penghuninya. Jika dilihat-lihat maka sepertinya sudah lengkap. Lilian dengan kedua orangtuanya dan Malvin yang juga dengan orangtuanya. Bisa Lilian lihat sekali lagi bahwa paras serta pembawaan Malvin yang sangat menarik perhatiannya. Bukan hanya Lilian saja, mungkin orang lain akan berkata demikian. Terbukti dari para wanita yang mungkin seumurannya atau bahkan lebih tua darinya tengah menjerit histeris saat melihat Malvin berjalan memasuki ruangan ini.
Bagaimana tidak terlihat jelas. Pembatas ruangan VVIP ini dibatasi dengan kaca besar yang menghubungkan langsung dengan luar ruangan. Dari dalam akan terlihat jelas kondisi di luar sana, tetapi jika dilihat dari luar maka tidak ada yang bisa disaksikan ada apa di dalam sini.
Mata Lilian membola saat mendengar teriakan yang para wanita diluar sana lontarkan. Bukan cemburu, hanya saja Lilian tengah berpikir, sebenarnya apa yang membuat gadis-gadis dan para wanita karier itu berteriak histeris. Memang tampan, tetapi ... oh tidak! lagi-lagi Lilian harus menepis pikirannya tentang lelaki ini kuat-kuat. Lilian merasa ia pasti sudah gila karena memuji lelaki yang kini berdiri di seberang meja tepat di hadapannya.
"Jason," panggil Levi tampak sedikit basa-basi, " Lama tidak bertemu."
Jason hanya menjawab dengan tawa. Menepuk kecil pundak adik kelasnya dulu. Benar, latar belakang yang belum diketahui oleh banyak orang adalah Jason dan Levi dulunya satu sekolah saat SMP. Mereka menjadi lebih dekat dari kakak tingkat dan adik tingkat setelah kakek Malvin mengundang keluarga Levi saat itu. Benar, kakek Malvin dan kakek Lilian dulunya adalah teman dekat juga. Lebih tepatnya, mereka sama-sama merintis usaha bersama dengan ranah yang berbeda. Kakek Malvin yang memilih bidang senjata dan kakek Lilian yang lebih tertarik dengan dunia perhiasan.
Kedua perusahaan itu sempat mengalami pasang surut kala itu, namun dengan kegigihan keduanya, mereka sama-sama berhasil dan berdiri di belakang satu sama lain ketika mereka sedang mengalami penurunan. Hingga sampai saat ini, kedua perusahaan itu mampu menyaingi beberapa pasar internasional yang berdiri di Asia bahkan Eropa. Tepat sekali, perusahaan itulah yang kini dipegang oleh Jason dan Levi.
"10 tahun tentu saja sangat lama." Kali ini Disa yang ikut berbasa-basi. Wanita yang sudah menginjak usia kepala empat itu menghampiri teman lamanya, tepatnya karena hubungan kedua keluarga itu dulu.
Sungguh sampai 45 menit waktu berjalan, mereka habiskan hanya untuk berbasa-basi saja. Tidak ada pembahasan serius termasuk tentang pernikahan atau apa pun itu. Kedua orangtua Malvin dan Lilian sibuk menghapus rasa rindu yang selama 10 tahun ini yang sempat tak terealisasikan.
Jujur saja ini jauh lebih baik bagi Malvin dan Lilian. Di mana mereka sama-sama mengharapkan bahwa orangtua mereka lupa akan tujuan mereka bertemu pada awalnya. Tampak mustahil, tetapi tidak ada salahnya untuk berharap, bukan?
Sedari tadi pun, Lilian hanya sibuk dengan pikirannya sendiri. Tentang bagaimana caranya ia menolak rencana gila ayahnya, tentang alasan apa yang akan ia katakan untuk menolak ini semua, dan juga harus bagaimana jika tidak ada jalan keluar untuk masalah ini. Bahkan tujuan sang ayah yang sebenarnya pun, Lilian masih belum mengetahuinya. Bukankah benar begitu? Tidak mungkin jika ayahnya ingin menikahkannya dengan Malvin untuk bisnis semata. Perusahaan mereka naik pesat, lantas apa yang perlu dikhawatirkan sebenarnya.
Berbeda dengan Lilian, Malvin justru terlihat lebih fokus akan satu objek. Entah apa yang dipikirkan lelaki itu, tetapi objek yang ia maksud sekarang jauh lebih menarik daripada apa yang tengah orangtuanya bahas. Mengabaikan segala yang terdengar oleh telinganya dan lebih berminat untuk beradu dengan pikirannya sendiri.
Dejavu, mungkin itulah yang sedang Malvin rasakan. Ia seakan pernah berada dalam situasi yang sama. Hanya situasi, namun mampu menghipnotis Malvin akan bayang-bayang masa lampau yang kian bergemuruh seiring ia memikirkannya. Bukan salahnya jika Malvin memutuskan untuk berpikir keras saat ini. Salahkan saja kenapa ingatannya begitu kuat dan bagaimana bisa objek yang sedari tadi ia perhatikan lamat-lamat adalah seutas cerita tentang kehidupannya beberapa bulan yang lalu.
"Apa?" gumam Lilian lirih. Sadar akan sosok lelaki di depannya yang sedari tadi memperhatikannya terang-terangan.
Malvin yang 'tak menyangka bahwa ia akan terciduk seperti ini mencoba untuk menetralkan ekspresinya. Tidak mungkin ia mengelak seperti remaja labil yang tengah jatuh cinta. Tunggu ... Malvin sedang tidak jatuh cinta, bukan? Maksudnya, ia tak mungkin jatuh pada pesona seorang Lilian Ashley karena matanya yang 'tak bisa beralih dari wanita itu, bukan?
Apa pun itu, bukan ini yang akan dibahas. Malvin hanya ingin memastikan apakah dugaannya benar tentang wanita di depannya ini. Sekadar ingin tau apakah otaknya sejalan dengan bayangannya atau tidak.
Malvin tidak menjawab dengan kalimat. Ia hanya menjawab dengan gesture yang seolah mengatakan, "Bisa bicara sebentar?"
Percayalah, hanya mereka berdua yang menyadari tingkah satu sama lain. Tentu saja, itu karena orangtua mereka masih sibuk dengan urusannya sendiri. Maka dengan sedikit keterpaksaan, Lilian menyetujui apa yang diminta Malvin.
"Ayah ... maaf, aku izin sebentar," ucap Malvin. Melihat Malvin dan Lilian yang mulai berdiri, orangtua mereka saling melihat satu sama lain. Seakan-akan mereka tengah bergerumul dengan pikiran yang sama. Itu bukan suatu hal yang buruk, bukan? Itu bagus, dengan artian untuk kelanjutan dari rencana dua keluarga ini.
Di sinilah Malvin dan Lilian berada sekarang. Taman belakang di sebuah gedung yang sama dengan tempat mereka bertemu tadi, hanya saja ini lumayan jauh dari tempat semula. Entah apa nanti yang akan mereka bahas, yang jelas ini adalah kesempatan mereka masing-masing untuk mengungkapkan apa maksud serta tujuan masing-masing nanti.
Angin malam tak mempengaruhi dua insan yang tengah berperang dengan pikirannya sendiri. Rasanya begitu asing, tentu saja itu karena mereka baru saja bertemu, mungkin. Seluruh kata yang sempat teruntai oleh batin 'tak bisa mereka lontarkan saat ini. Lidahnya terasa kelu, bahkan untuk saling sapa saja rasanya begitu aneh.
Ayolah, ini adalah kesempatan bagus untuk kalian berdua. Bagaimana jika kalian 'tak bertindak sekarang dan nanti kalian akan berakhir dengan penyesalan. Sangat tidak lucu jika semua yang sudah tersusun rapi 'tak dapat diutarakan hanya karena mereka menunggu waktu yang pas. Malu bertanya sesat di jalan, kiranya seperti itu nanti gambarannya.
"Dengar."
"Aku."
Tanpa disangka mereka sama-sama ingin mengucapkan kalimat pertama, tetapi harus kembali mengalami kecanggungan karena secara 'tak sengaja mengatakannya bersamaan.
"Kau dulu," ujar Malvin mengalah. Sebenarnya ia juga tidak tau akan mengatakan apa pada wanita ini. Ia hanya ingin cepat-cepat keluar dari suasana menyebalkan seperti ini dan menyelesaikan semuanya.
"Dengar, bukannya aku ingin menolakmu, tetapi kau tau bahwa ini tidak benar. Maksudku, aku tidak bisa menerima ini semua, jadi, karena orangtua kita belum membahas apa pun soal ini. Mari kita hentikan sebelum semuanya terlambat," jelas Lilian.
Hening cukup lama, mereka sama-sama diam. Lilian yang mulai takut dan Malvin yang tengah menyadari sesuatu.
"Kau tak ingat padaku?"
"Apa?"
Benar dugaan Malvin, Lilian tak mengenali dirinya. Seharusnya ini bagus untuk Malvin, tetapi entah mengapa lelaki itu justru ingin membahasnya lebih lanjut.
"Cryvedazz Club? Kamar nomor 225?"