"Aku hanya ingin menikmati masa mudaku."
Salah. Kata siapa Lilian terlalu merespon bahkan menanggapi tentang rencana perjodohan keluarganya? Lilian seolah menutup mata untuk masalah itu dan entah kenapa ia sangat yakin bahwa perjodohan ini tidak akan terjadi. Orangtuanya tentu saja tidak akan membiarkan dirinya terpuruk seperti remaja pada umumnya. Semoga saja.
Semua yang Lilian lakukan pada lelaki bernama Malvin Elison itu sebenarnya adalah sebuah pembelaan dari dirinya sendiri. Ia punya hak untuk menolak bahkan membatalkan, bukan? Untuk siapa lagi ia berbuat demikian jika bukan karena kehidupannya. Apa yang Lilian dapatkan selama ini—termasuk profesinya sebagai model—Lilian tentu tidak akan membiarkan dirinya kehilangan satu hal ini.
Peduli apa Lilian soal perjodohan. Menurutnya beradu argumen dengan orangtuanya untuk menolak perjodohan itu hanya akan menghabiskan tenaga saja. Lebih baik Lilian bertindak seorang diri, lagipula ini 'tak sepenuhnya bentuk kepeduliannya terhadap kariernya, tetapi kebebasan yang ia dapatkan selama ini.
"Saatnya bersenang-senang, Lilian. Lupakan semua yang terjadi hari ini. Kebebasanmu sedang menunggu."
Damai dan tenang, itulah kondisi perasaan Lilian saat ini. Semua yang ia lakukan malam tadi tidak lagi Lilian pedulikan. Ia hanya ingin meluapkan kebebasannya saja. Di penghujung hari yang silih akan berganti dalam beberapa jam lagi, Lilian ingin menghabiskan waktu itu untuk memenuhi keinginannya. Menikmati beberapa teguk minuman sebagai rutinitasnya tentu bukan hal yang besar, bukan?
Bunyi klakson yang bersahutan 'tak lagi Lilian permasalahkan kali ini. Bahkan, dalam perjalanan singkat yang akan ia tempuh penuh dengan senandung kecil yang keluar dari bibir wanita itu. Kiranya, niat yang Lilian teguhkan benar-benar akan membawanya pada realita yang sesungguhnya.
"Tidak akan ada yang menggangguku kali ini. Malam ini sepenuhnya milik Lilian Ashley."
Mobil pribadi milik Lilian berhenti di pelataran parkir yang minim penerangan. Tentu saja tempat ini 'tak lagi asing bagi Lilian. Bisa dibilang ini adalah rutinitasnya, karena di sini Lilian bebas berbuat apa saja sesuai insting remaja pada umumnya.
Ketukan selaras terdengar dari high heels yang dipakai Lilian. Tepat sasaran, Lilian melihat pemandangan yang ada di dalam tempat ini. Entah kenapa Lilian merasakan kerinduan yang begitu 'tak terbendung akan tempat ini. Dengan alunan musik yang memekakkan telinga dan orang-orang yang menikmati berbagai kegiatan, serta minuman beraneka warna yang diyakini akan menemani mereka dalam melepaskan kepenatan, tentu saja kalian tau dimana Lilian berada saat ini.
Tanpa berpikir panjang, Lilian langsung saja menghampiri orang-orang yang sibuk menikmati musik yang terputar sembari meliukkan tubuhnya mengikuti irama. Di antara banyak hal yang bisa Lilian lakukan, wanita ini lebih tertarik dengan dance floor yang penuh akan orang-orang sepertinya.
Masih dengan dress yang sama dengan yang ia pakai sewaktu pertemuan dua keluarga tadi dan high heels yang entah kemana sekarang ini—karena Lilian langsung saja melemparkan sepasang alas kaki itu ketika ia ikut bergabung dengan orang-orang yang sudah menikmati dunianya sendiri. Lilian akan merasa puas malam ini. Ia bertanya-tanya, seberapa lama ia 'tak lagi mengunjungi tempat seperti ini.
Menjadi seorang model tentu saja tak sesenggang orang pada umumnya. Jangankan untuk menikmati kebebasan layaknya demikian, untuk menikmati waktu istirahatnya saja, Lilian rasa sangat sulit untuk mendapatkannya.
"Aku suka tempat ini," kata Lilian mulai melantur. Kepalanya mulai berat setelah ia memesan segelas minuman khas yang ada di sana.
"Aku tidak akan pulang malam ini." Masih sama, beragam kalimat yang dilantunkan Lilian terdengar seperti sebuah ungkapan 'tak jelas. Perlu diingatkan bahwa Lilian seorang diri saat memilih untuk kemari.
"Ini membuatku gila—yak! bisakah kau perhatikan langkahmu? Kau menggangguku!" marah Lilian. Dengan kondisi yang 'tak memungkinkan untuk melawan dengan tenaga, Lilian hanya mampu memberikan beragam kalimat 'tak jelas yang bertujuan untuk memberi pelajaran siapa pun yang mengganggunya.
"Oh, apa aku mulai berhalusinasi sekarang? pria menjengkelkan tadi? Haha, aku pasti sudah gila. AKHH! kepalaku sakit sekali."
"Kau menikmati waktumu, Nona?" ucap sosok yang Lilian anggap pria menjengkelkan tadi.
"Sangat. Aku sangat menikmati waktuku," jawab Lilian. Bahkan saat mengatakan itu, Lilian memberikan sebuah aksi dimana tangannya ia rentangkan sebagai reflek seolah menjelaskan pada sosok di depannya.
"Boleh aku bergabung?"
"Tidak boleh!" tegas Lilian, masih dengan racauan. "Kau tidak boleh bergabung, kau terlihat sangat jauh dari kriteria teman minumku. Pasti kau akan menjadi orang yang sangat berisik nanti. Tidak-tidak, kau tidak boleh menggangguku."
Kekehan singkat terdengar di antara celotehan Lilian. Bukan, bukan dari Lilian, tetapi sosok yang kini duduk tepat di depan Lilian. Meski Lilian melarang agar 'tak bergabung dengannya, sosok itu tetap memilih untuk mendudukkan dirinya di salah satu kursi di sana. Melihat dengan seksama bagaimana Lilian yang perlahan kehilangan kesadarannya.
"Bahkan dia yang lebih dulu berisik."
"Kenapa sangat sakit." Lagi, Lilian kembali melanturkan kalimat yang kurang jelas namun masih bisa di dengar oleh sosok lain di depannya.
"Itu berarti kau harus berhenti."
Tidak ada yang mengeluarkan sepatah kata setelah itu. Baik Lilian maupun sosok tadi, mereka memilih untuk fokus pada atensinya masing-masing. Lilian yang enggan mengangkat kepalanya dan membiarkan bersandar pada meja bundar di sana, juga lelaki yang sama dengan yang Lilian sempat temui tadi yang terfokus pada apa saja yang Lilian ucapkan walau 'tak begitu jelas.
"Tunggu ... aku sepertinya mengenalmu," terka Lilian, kepalanya perlahan terangkat dan dijawab kekehan dari lawannya.
'Tak lama setelah itu, Lilian memajukan kepalanya, berniat untuk melihat dari sudut yang lebih dekat dengan lelaki itu.
"Aneh ... kenapa kau mirip lelaki menyebalkan tadi?" Jeda sebentar. Lilian memperlihatkan gelagat seperti tengah berpikir keras. "Benar! kau Malvin Elison? Wahh, kenapa kau lagi."
Diam Malvin menjelaskan bahwa ia 'tak berminat akan apa yang Lilian celotehkan. Entah sejak kapan, Lilian menjadi objek paling 'tak dimengerti bagi Malvin. Jelasnya, Lilian berhasil menjadi pusat bagi Malvin hanya dalam hitungan detik saja.
"Bisa kau tetap di tempatmu?" ucap Malvin yang baru saja menyadari bahwa Lilian semakin dekat dengannya.
Jari telunjuk Malvin lantas mendarat pada dahi Lilian, mendorongnya perlahan, berniat untuk sedikit mengisi ruang di antara mereka berdua.
"Benar, bukan, kau membosankan. Haha Malvin Elison ternyata sangat membosankan," racau Lilian diiringi sebuah tawa puas dari empunya.
Entah sudah berapa kali helaan napas terdengar dari bibir Malvin, rasa-rasanya lelaki ini mulai menyerah dengan segala tingkah ajaib Lilian. Tetap saja, apa pun alasannya, Malvin belum bisa melangkah jauh untuk meninggalkan wanita ini sendiri. Jika kalian berpikir bahwa mereka seakan sudah terikat, tentu saja tidak. Terikat macam apa yang hanya butuh 2 kali pertemuan saja.
"Aku jadi ingin lihat, bagaimana jika kau tau bahwa malam ini kau begitu berisik dan berbeda?" Malvin tertawa di ujung kalimatnya. Tentu saja tidak ada balasan yang keluar dari Lilian. Wanita justru sekarang kembali sibuk dengan kepalanya yang terasa berat.
Malvin 'tak mengatakan bahwa Lilian aneh malam ini. Segala tingkah Lilian yang ia lihat malam ini sudah sering ia lihat pula dari sosok lain. Anehnya, Malvin bahkan 'tak pernah tertarik dengan mereka, tetapi kali ini, untuk pertama kalinya, Malvin memilih untuk menyerahkan diri di sebuah keadaan yang rumit. Menyibukkan dirinya hanya untuk melihat dari dekat bagaimana seorang Lilian Ashley tampak begitu berbeda.
"Pukul berapa sekarang? Akh! Aku harus segera kembali," ucap Lilian tiba-tiba sembari sedikit mengerang merasakan kepalanya yang berdenyut.
"Kau yakin?"
"Diamlah! Kau membuatku makin pusing." Dengan gontai, Lilian melangkah meninggalkan tempat di mana ia dan Malvin duduk sesaat setelah ia menyatakan kekesalannya pada Malvin.
Malvin melihat dengan jelas bagaimana Lilian yang berjalan 'tak tentu arah sembari memegangi kepalanya. Berkali-kali Lilian menubruk punggung orang lain dan kembali menuju pintu keluar club setelah sedikit menunduk untuk meminta maaf. Perlu diketahui bahwa Lilian berjalan meninggalkan club tanpa alas kaki.
Masih di tempat duduknya, Malvin mengamati Lilian yang berkali-kali hampir terjatuh karena kesadarannya. Sesekali sudut bibirnya terangkat karena melihat Lilian yang hampir terantuk apa pun yang dilaluinya. Bahkan bisa Malvin lihat dengan jelas bahwa meskipun Lilian hampir kehilangan kesadaran sepenuhnya, wanita itu masih sesekali menikmati alunan musik yang terputar. Lucu, pikir Malvin.
Sampai di mana tatapan Malvin dibuat menajam seketika karena objek di depan sana. Seorang laki-laki yang hampir kehilangan kesadarannya—persis seperti Lilian—mendatangi wanita itu. Bukan hanya itu saja, tingkah lelaki itulah yang membuat rahang Malvin semakin mengeras pula.
Tidak bisa dipungkiri bahwa hawa panas mulai menyelimuti Malvin. Amarahnya memuncak ketika tangan lelaki di depan sana mulai menunjukkan pergerakan yang membuat Malvin muak. Bukan itu saja, emosi Malvin seakan diuji ketika netranya mendapati Lilian yang sama sekali 'tak menolak perlakuan lelaki itu, bahkan terlihat menikmati.
Tanpa pikir panjang, Malvin menghampiri dua sosok yang mulai merasa gila karena kesadarannya. Dengan sekali tarikan, Malvin berhasil menggapai pinggang Lilian. Menariknya mendekat lalu menatap tajam lelaki 'tak tau diri itu.
"Maaf tuan, tapi dia milikku." Setelah itu hanya ada Malvin yang menggendong Lilian dan Lilian yang mengalungkan kedua tangannya di leher Malvin, tersenyum mendapati seorang Malvin Elison berada dalam jangkauannya.