Tidak ada yang namanya kebetulan di dunia ini, mungkinkah? Sebagian orang yang percaya akan takdir pasti akan mempercayainya, lalu sebagiannya lagi akan berkata bahwa itu omong kosong. Tentu saja tiap orang berhak mengungkapkan asumsinya masing-masing. Kita sebagai manusia bisa apa kecuali menghargai satu sama lain. Ya, harap-harap itu mudah.
Ngomong-ngomong soal kebetulan, bukankah itu terdengar begitu sempurna? Kebetulan memperoleh uang 100 juta, kebetulan sedang senggang saat ditawari makanan gratis, bahkan hal paling kecil pun, seperti kebetulan sebuah rencana dadakan hadir saat ingin menolak ajakan orang yang sudah membuat 'tak nyaman. Sangat sempurna dan melegakan. Masalahnya, kebetulan yang dialami Lilian jauh dari itu semua. Bisa dianggap bahwa ini sama sekali tidak menunjukkan keberuntungan mengarah padanya
Matahari bersinar cukup terik pagi ini. Itu terbukti dari bagaimana sosok yang masih bergelung dengan selimut mulai terganggu dengan sorot silau dari sang bagaskara. Berulang kali ia mengerang namun enggan untuk membuka matanya.
Perlahan namun pasti, dengan sedikit kekesalan karena merasa bahwa tidurnya terganggu, Lilian mulai membuka matanya. Meski dirasa berat, tetapi tidak ada pilihan lain. Lilian harus segera menghentikan apa yang mengganggu tidurnya pagi ini dan mungkin akan melanjutkan tidurnya.
Kepalanya terasa sangat berat seakan tengah memukul beban di sana. Semua yang dilihat Lilian seakan berputar, pandangannya mengabur sama seperti biasanya. Sesaat setelah ia berhasil mencapai kesadarannya, Lilian mengernyitkan dahinya, merasa bingung.
Asing dan aneh, ini bukan kamarnya, bukan pula kamar tamu. Dilihat dari interior yang terlihat sederhana, Lilian langsung saja menganggap bahwa ini bukan rumahnya. Lalu, di mana ia sekarang?
Lilian menghela napasnya dengan gusar. Ia mulai panik, pikiran negatif bahkan mulai menguasainya.
"Hotel?"
Degup jantung yang kian 'tak beraturan terus beradu dengan segala persepsi yang ia buat. Bukan takut, Lilian hanya merasa dirinya pasti sudah sangat gila semalam sehingga berakhir di tempat ini.
Tentu saja Lilian sadar, ia sadar sepenuhnya atas apa yang ia lakukan malam tadi. Biasanya Lilian akan merutuki dirinya sendiri ketika ibunya mulai memberikan banyak celotehan di saat seperti ini, tetapi sekarang, Lilian lebih merutuki kebodohannya.
"Lilian ... tingkah apalagi yang kau perbuat," rutuknya.
Masih sembari merengek merutuki kebodohannya, sebisa mungkin Lilian berusaha mengingat siapa yang membawanya kemari. Tidak ada yang perlu dipermasalahkan karena Lilian merasa ia baik-baik sejauh ini.
Nihil, sebesar apa pun Lilian berusaha untuk mengingat, itu sia-sia. Terbukti dari 5 menit waktu berlalu, tetapi sama sekali tidak membuahkan hasil. Menyerah, mungkin itu keputusan akhir Lilian. Masa bodoh dengan orang itu, Lilian tetap akan berterima kasih dengannya, ya walaupun entah pada siapa itu.
"Dia meninggalkanku semalaman atau bagaimana?" monolog Lilian. Langkahnya perlahan terbentuk, mengitari ranjang yang dijadikan tempat tidurnya semalam dan berniat ingin mencapai kamar mandi.
"Dilihat dari keadaanku saat ini, dia meninggalkanku semalaman. Itu bagus, aku tidak akan terkena skandal apa pun setelah ini."
Itu dia, Lilian benci sebuah skandal, apalagi ia adalah seorang model, tentu saja banyak pasang mata yang terus menatap kearahnya. Namun lihat sekarang, ia 'tak mau terjebak skandal, tetapi ia terus-terusan menempatkan dirinya di lingkungan yang bisa menghadirkan skandal kapan saja.
"Maaf, Nona, aku ingin mengantarkan sarapanmu." Sebuah suara mengagetkan Lilian begitu saja.
"Kau membuatku terkejut," ungkap Lilian.
"Maaf, aku memanggilmu sedari tadi, tetapi tidak ada jawaban." Benar, bagaimana Lilian bisa menjawab jika yang dilakukannya sedari tadi adalah melamun.
"Umm ... apa kau tau siapa yang membawaku kemari?" tanya Lilian, mengabaikan pernyataan orang yang kini membawa sarapannya.
"Tuan Malvin? Dia juga yang memberikan ini semua," jawab wanita tadi sembari menunjukkan menu sarapan yang ia bawa.
Mata Lilian membulat sempurna, badannya mendadak kaku. Malvin dia bilang? Tidak mungkin Malvin Elison, bukan?
"Aku di mana?" Bisa Lilian lihat bahwa wanita tadi mengernyitkan dahinya.
"Hotel Calvindes."
Cukup, rasanya seharian ini Lilian hanya ingin merutuki dirinya sendiri saja. Kenapa lagi-lagi lelaki itu, apa tidak ada lelaki lain, siapa pun yang penting bukan Malvin Elison. Lilian 'tak sebodoh itu untuk mengingat bahwa hotel Calvindes adalah milik MZS SYSTEM, itu berarti ini milik keluarga Mattzhlias. Lilian, kau dalam masalah.
"Kau tau dia di mana?"
"Dia pergi tadi pagi, aku tidak tau kemana."
"Bagaimana kau bisa—" Lilian memotong ucapannya. Ia melupakan satu hal, tidak ada yang mengenali Malvin Elison di sini. Mereka tidak tau bahwa Malvin adalah anggota keluarga Mattzhlias.
"Tidak jadi, kau boleh pergi."
Lemas, kaki Lilian tiba-tiba mati rasa. Haruskah? Kenapa perihal Malvin Elison tidak pernah pergi dari kesehariannya. Rutukan, marah, dan malu, semua itu terasa tercampur menjadi satu. Ini terasa seperti dunia sedang menyudutkan Lilian.
Lilian menghela napasnya dengan gusar. Seharusnya sekarang Lilian berendam air hangat dan menikmatinya, bukan malah dibuat bingung dengan kesialannya sendiri.
Melesakkan presensinya pada apa pun yang bisa ia lihat, Lilian belum berniat untuk meninggalkan kamar ini. Jujur saja dirinya masih sangat pusing, tapi fakta yang baru saja ia tau membuatnya lupa sejenak akan itu.
Berniat untuk melakukan apa pun agar setidaknya ia melupakan tentang Malvin Elison, Lilian memilih untuk menjalankan niat awalnya, berendam. Namun, belum sempat ia menjangkau kamar mandi di sana, bahkan baru beberapa langkah saja, Lilian dikejutkan dengan ponselnya yang tergeletak di nakas. Satu hal lagi yang Lilian takutkan, apa Malvin juga terfokus pada ponselnya?
Kepanikan untuk kesekian kalinya Lilian rasakan kembali. Bisa saja bukan, orangtuanya menelepon saat Lilian tertidur karena pengaruh minuman itu. Tidak menutup kemungkinan juga jika memang itu terjadi pasti Malvin yang mengangkatnya. Bagaimana jika orangtuanya mengatakan hal aneh pada Malvin? Sebaliknya, bagaimana jika Malvin mengatakan tentang keadaannya semalam? Jika memang seperti itu, tamatlah Lilian setelah ini. Ia yakin tidak akan bisa melewati orangtuanya kembali.
"Tidak ada apa pun, bahkan riwayat panggilan saja masih kosong." Bolehkah Lilian bernapas lega sekarang?
"Aku akan selamat, tapi—eh?"
Kedua mata Lilian menyalang. "Gila! Malvin Elison!"
Reflek yang diberikan Lilian adalah jawaban pasti dari apa yang ia lihat baru saja. Netranya menangkap sebuah latar chat yang tidak asing, benar, ibunya. Memang tidak ada panggilan masuk ke ponselnya, tetapi siapa sangka bahwa ibunya justru memilih mengirimkan sebuah pesan singkat lewat salah satu aplikasi. Sialnya, Malvin memang membalas pesan itu.
[ Lilian baik-baik saja, Bu. Dia bersamaku ]
[ Malvin Elison ]
Kira-kira seperti itu jawaban yang diberikan Malvin. Lagi dan lagi, Lilian memilih untuk mengasihani jalan hidupnya. Baru terhitung dua kali ia bertemu dengan Malvin, tetapi yang ia dapatkan benar-benar menguji kesabarannya. Ingin merutuki lelaki itu juga tidak ada gunanya. Lilian berpikir, apa seterusnya ia akan tetap dalam kondisi seperti ini? Lilian harus menyiapkan semuanya tentu saja.
2 jam sudah Lilian berada dalam situasi yang sulit dijelaskan. Selama itu pula, ia 'tak bisa berpikir positif. Lilian tidak memikirkan tentang kemungkinan yang akan terjadi nantinya, tetapi ia lebih memikirkan bagaimana nasibnya kelak. Tentang perjodohan itu, Lilian bahkan berniat 'tak mau peduli, namun lihat sekarang, Lilian bahkan berulang kali dibuat merinding oleh bayangannya sendiri.
"Malvin Elison!" Hening yang dibuat Lilian kemudian tergantikan dengan teriakan wanita itu sendiri.
"Aku tidak mau tau, perjodohan ini tidak boleh terjadi."
Sebelum Lilian benar-benar pergi dari kamar hotel Calvindes, ia terkejut untuk kesekian kalinya. Sebuah kertas note berwarna hijau terang terjatuh tepat di depan pintu. Dapat disimpulkan bahwa Malvin mungkin menempelkan note itu pada pintu, berniat agar Lilian tetap menemukannya sebelum keluar dari hotel ini.
Apa yang membuat Lilian terkejut bukan karena tingkah Malvin yang menguji kesabarannya. Amarahnya tiba-tiba saja memuncak. Jujur saja, sebenarnya tadi Lilian lebih ke arah malu terhadap Malvin karena apa yang ia perbuat. Namun, sekarang Lilian benar-benar berada dalam puncak amarah yang sebenarnya. Tentunya masih berkaitan dengan Malvin Elison.
Matanya membulat kala netranya perlahan membaca kata demi kata yang tertulis di note. Dengan sekali gerakan, Lilian membuang begitu saja kertas itu. Kedua tangannya lantas mendarat pada rambutnya, meremasnya frustasi. Sudah cukup, sepertinya memang Lilian harus menyelesaikan ini sendiri.
Dipandangnya kertas yang tergeletak di lantai kamar untuk kesekian kalinya. Otaknya masih berputar memikirkan bagaimana ia mengatasi ini.
"Maaf, aku meninggalkanmu. Aku harus pergi, tenang saja aku sudah membayar semuanya. Jangan katakan apa pun pada semua staf di sini. Satu lagi, tentang perjodohan, kau tidak akan bisa lari. Jika kau berniat membantah, maka aku akan jadi pihak yang mempertahankan, Lilian Ashley." Dan kalimat itu, terus saja terputar dalam ingatannya.