"Ibu tidak mau tau, Lilian, kau harus terima pernikahan ini."
Sahut demi sahut bergema di dalam ruangan cukup besar ini. Perdebatan yang semula bersifat kekeluargaan, kini menjadi dibumbui sedikit amarah. Saling melontarkan hal-hal yang tidak seharusnya mereka libatkan. Hanya karena kesalahan Lilian, mereka berada di dalam situasi yang mengharuskan mereka bersikap egois satu sama lain.
Memang, kesalahan Lilian bukan hal yang mudah ditoleransi. Para orangtua pasti akan berpikir bahwa kesalahan Lilian adalah salah satu hal yang menjadi harap mereka agar tidak terlibat hal seperti itu. Namun, dari sudut pandang Lilian sendiri, ini hal yang lumrah. Lumrah bukan karena ini adalah hal yang tidak perlu dibesar-besarkan, tetapi lumrah karena dorongan masa muda.
Iya, Lilian Ashley adalah gadis berumur 23 tahun yang tentu saja bersahabat dengan yang namanya kebebasan. Ditambah lagi dengan lingkungan sekitar Lilian yang seakan memfasilitasi kebebasan itu.
Bukankah benar, jika mereka tengah sama-sama bersikap egois sekarang? Sudut pandang tiap orang memang berbeda-beda, tidak menutup kemungkinan juga jika mereka akan terus beradu, mengungkapkan asumsi siapa yang akan menang.
"Maksudnya ibu ingin aku nikah muda?"
"Apa salahnya? Usiamu sudah cukup untuk menikah."
"Bagaimana dengan karierku? Apa aku harus berhenti di sini? Meninggalkan karier yang selama ini mati-matian aku perjuangkan dan lebih memilih menerima perjodohan lalu menikah? Tidak! Aku tidak mau," tolak Lilian tanpa bentakan.
"Itu semua karena ulahmu sendiri, Lilian."
"Apa yang aku lakukan? Apa aku melakukan hal yang membuat ibu malu? Apa aku—" Ucapkan Lilian terpotong, digantikan oleh suara sang ibu.
"Iya. Kau sudah membuat ibu Malu."
Rasanya, dunia Lilian berhenti saat itu juga. Bukankah ia hanya pergi ke club malam? Lalu apa yang ibunya maksud? Ini tentu bukan karena ia berkunjung ke club malam, bukan?
"Bagaimana bisa kau pergi ke club malam dan berujung hilang kesadaran di depan Malvin, huh?!"
Oh, jadi karena ini.
Tunggu ... jadi benar bahwa ibunya tau kalau Malvin lah yang membantu Lilian keluar dari tempat itu? Seharusnya Lilian sudah paham bahwa dirinya akan mengalami hal ini ketika ia menginjakkan kakinya di rumah. Dengan pesan singkat ibunya yang Malvin jawab, itu sudah cukup untuk dijadikan jawaban.
Baiklah Lilian, sekarang yang akan kau hadapi lebih rumit dari sebelumnya. Bukan lagi pernikahan, paksaan, dan Malvin si menyebalkan, tetapi juga amarah ibunya yang pasti akan selalu mengungkit masalah ini.
"Itukan bukan kemauanku," ucap Lilian membela diri.
Helaan napas terdengar dari bibir Disa. Sepertinya ia memang ingin angkat tangan mengenai kelakuan putri semata wayangnya.
"Dengan begini, ibu jadi makin yakin jika kau menikah dengan Malvin," ungkap Disa.
"Yakk! Bagaimana bisa seperti itu. Ibu, dengar, aku ke club justru karena dia. Aku ingin sedikit pelampiasan agar terhindar dari perjodohan ini. Lagi pula ibu tau aku ini memiliki kekasih, bukan? Kenapa ibu sangat menginginkan pernikahan ini."
"Jangan banyak alasan. Ibu tau ini adalah akal-akalanmu saja. Sekali ibu bilang menikah, ya itu berarti kau memang harus menikah."
"Aku bisa menikah dengan yang lain, bukan?" jawab Lilian. Ia benar-benar tidak ingin menyerah untuk menggagalkan rencana ini.
"Dengan lelaki yang kau maksud itu? Bahkan ia sama sekali 'tak memberi kejelasan."
Satu-satunya hal yang sangat sulit Lilian hindari adalah berdebat dengan ibunya. Bisa dilihat, bagaimana Lilian yang berusaha keras untuk melawan kemauan orangtuanya, semuanya nihil, Lilian tidak bisa merusak itu.
"Besok Malvin akan kembali ke Amsterdam, jadi bersikaplah seakan-akan kau memang calon istri yang baik untuknya," tegas Disa mutlak.
Cihh! Lilian mendengus. "Calon istri yang baik? Jangan harap," gumamnya rendah.
"Lilian Ashley!" Sayang sekali, karena sang ibu masih bisa mendengar gumaman Lilian baru saja.
"Iya-iya, baiklah. Terserah ibu saja."
Jujur ini membuat kepala Lilian seakan ingin pecah. Bahkan Lilian sudah mempunyai niat untuk menghantamkan kepalanya ke dinding sekarang juga. Kepalanya benar-benar pusing. Belom lagi dengan ia yang masih mau mempertahankan kariernya, sekarang ia juga dipaksa untuk mempertahankan perjodohan? Mungkin untuk opsi pertama Lilian tidak akan menyerah, tetapi opsi kedua? Mana mau Lilian melakukan itu.
"Arghhh, kenapa hidupku harus seperti ini," rengek Lilian. Pengaruh minuman itu masih Lilian rasakan, namun sekarang ia juga harus merelakan kepalanya terasa semakin berat karena memikirkan Malvin. Tidak! Maksudnya, perjodohannya dengan Malvin.
Semenjak ibunya keluar dari kamar, Lilian semakin keras berpikir bagaimana caranya keluar dari masalah ini. Menyerah tidak ada dalam kamus hidup Lilian. Pantang baginya untuk bertemu tindakan tersebut. Ya, doakan saja.
"Aku benar-benar membencimu, Malvin Elison."
Baru saja Lilian ingin memejamkan mata, dering ponsel Lilian berbunyi, menandakan adanya pesan masuk. Entah kenapa Lilian langsung mengeceknya, padahal ia sangat malas setelah berdebat dengan ibunya tadi.
Lilian sudah berencana ingin mengeluarkan sumpah serapah jika pesan itu dari Sean, manager sekaligus temannya. Namun, sekarang Lilian lebih ingin mengeluarkan sumpah serapahnya pada sosok yang namanya baru saja tertera di layar ponselnya.
"Tidak berguna. Kau pikir aku mau menuruti kemauanmu? Tidak akan, aku tidak akan pergi!"
Bukannya menjawab pesan yang baru saja ia dapatkan, Lilian justru bergumam seorang diri. Entah apa maksudnya, yang jelas Lilian merasa muak saat ini.
Baru saja perdebatannya dengan sang ibu tentang Malvin berhenti belum lama ini, sosok yang menjadi tokoh utama dalam perdebatan itu muncul kembali menghantui Lilian.
Tringg ....
Lagi, bunyi notifikasi lagi-lagi terdengar dari ponsel Lilian.
[ Bagus, kau hanya membacanya. Itu berarti aku tidak perlu menghampirimu seperti perintah ayahku. ]
"Apa dia selalu menuruti kemauan ayahnya? Aneh sekali, anak zaman sekarang tidak menginginkan kebebasan? Pasti hidupnya sangatlah membosankan." Terulang lagi, Lilian lebih berminat menjawab secara lisan seperti ini. Lagi pula ia tidak peduli dengan Malvin. Mau lelaki itu menuruti kemauan ayahnya atau tidak, Lilian tetap tidak mau menambah beban masalahnya.
Sekarang, Lilian berpikir bahwa Malvin adalah bentuk hama bagi dirinya. Baru pertama kali ini, Lilian merasakan bahwa hidupnya terganggu dengan kehadiran seseorang. Memang benar, Lilian lebih terganggu dengan rencana gila keluarganya dan keluarga Malvin. Namun, tetap saja, Malvin juga patut disalahkan. Itu pola pikir Lilian, selebihnya hanya wanita itu yang tau.
"Tapi tunggu, bukankah ini waktu yang tepat untuk mengucapkan selamat tinggal padanya? Malvin kembali, lalu otomatis hidupku akan tenang selama beberapa bulan ke depan. Kau pintar Lilian," ucapnya berbangga diri.
Bukan maksud Lilian mengiyakan ajakan Malvin untuk bertemu. Namun, ini kesempatan Lilian untuk kembali membuat kesepakatan pada Malvin agar dirinya bisa kembali ke Belanda dan tidak harus menyetujui perjodohan ini.
Tidak jelas, tidak ada angin tidak ada hujan, Malvin mengajak Lilian bertemu sebelum lelaki itu meninggalkan kota ini. Siapa yang tidak curiga? Namun beruntung, Malvin memberikan klarifikasi setelahnya bahwa ini permintaan Tuan Jason.
[ Aku akan ke sana. Jemput aku! Jangan sampai membuatku menunggu! ]
Keputusan final, Lilian menyetujui apa yang Malvin minta dalam pesan pertamanya tadi. Ingat! Lilian melakukan ini karena Tuan Jason yang memerintah, bukan karena Malvin yang mengajak. Seperti itulah cara Lilian meyakinkan dirinya sendiri.
Ada yang aneh, kenapa Lilian justru menyuruh Malvin untuk menjemputnya? Alih-alih memikirkan dari mana Malvin memperoleh nomor teleponnya, Lilian justru lebih memilih untuk melihat dirinya sendiri. Ada apa sebenarnya dengan dirinya. Agak aneh, tetapi Lilian menampik itu.
[ Banyak mau. Terserah, beritahu ibumu bahwa aku akan menjemputmu. Aku akan kena masalah jika tidak memberitahunya terlebih dahulu. ]
[ Itu kata ayahku. ]
Denial ... lagi.