Harusnya, memang sebuah rencana perlu dipertimbangkan baik dan buruknya terlebih dahulu. Kita tidak akan tau jika nantinya rencana yang kita buat akan memberikan bukti kuat untuk merasakan kenikmatan atau justru kesengsaraan. Tiap hal punya konsekuensinya masing-masing, bukan?
Benar, pada akhirnya tidak bisa diubah jika yang kita dapatkan adalah kesengsaraan. Anggap saja ini terlalu menyiksa. Bagaimana jika kita sebut sebagai kekecewaan? Hal yang lebih halus didengar walaupun sebenarnya sama saja. Masih dalam satu lingkup yang sama bahwa timbal balik yang kurang memuaskan tentu saja berdampak pada kriteria kita ke depannya.
Sekarang, lihat Lilian. Sedari tadi siang, entah apa yang dirinya lakukan, wanita itu memilih memusingkan dirinya sendiri dengan hal yang seharusnya tidak ia pikirkan dalam waktu dekat ini. Janjinya dengan Malvin, itu bahkan belum terlaksana. Mereka akan memenuhi janji itu nanti malam.
Bisa dibilang keberangkatan Malvin adalah jam pagi. Sedangkan ada banyak hal yang harus Lilian sampaikan, tentu saja dengan ide gila wanita itu. Artinya, ini adalah kesempatan terakhir yang Lilian punya untuk meyakinkan Malvin bahwa ini tidak benar. Mari kita ulangi, ini kesempatan terakhir. Tidak akan ada hari lain. Meskipun ada, itu membutuhkan waktu beberapa bulan ke depan. Tidak! Lilian tidak mau menunda ini.
"Yakkk! Kenapa kau harus ambil jadwal malam ini, Sean?" geram Lilian
"Kau bercanda? Aku sudah menaruh dalam jadwalmu sejak 3 hari yang lalu dan itu atas persetujuanmu."
"Tidak bisa dibatalkan?"
"Bisa, jika kau ingin kehilangan pekerjaanmu."
Baiklah, sekarang jadwalnya harus bertepatan dengan janjinya pada Malvin. Sebenarnya jika harus memilih, Lilian dengan senang hati akan memilih mengambil pemotretan malam ini. Apa pentingnya Malvin? tidak ada. Namun, ini berbeda, Lilian tidak bisa pergi dari janji yang ia buat dengan Malvin.
"Sean, tolong," rengek Lilian. "Aku ada janji malam ini dan itu tidak bisa kutinggalkan. Jika aku melakukannya maka sepertinya sampai di sini saja kehadiranku sebagai putri Zein Levis."
"Terlalu mendramatisir. Lain kali ingat jadwalmu, percuma saja aku mengatakannya berkali-kali," kesal Sean.
"Iya-iya, maaf. Kau sangat berisik."
Tidak ada jawaban dari Sean. Lelaki itu bahkan langsung saja memutus panggilan sesaat setelah Lilian selesai berbicara.
Hembusan napas yang diciptakan oleh Lilian beradu dengan terpaan angin yang masuk lewat pintu balkon kamar Lilian yang terbuka. Tungkai Lilian pun beradu dengan lantai kamarnya, berjalan menuju pembatas balkon.
"Baiklah Lilian, tidak ada salahnya mencoba. Kau tidak akan pernah tau jika tidak mencobanya," gumam Lilian mencoba menguatkan diri.
"Aku benar-benar akan memukulnya jika tidak menyetujui keputusanku."
Terhitung masih kurang lebih 3 jam lagi Lilian akan menemui Malvin, tetapi kenapa rasanya ia sangat gugup? Tidak biasanya seperti ini. Bahkan untuk menghadiri kontrak besar dunia modeling pada perusahaannya pun, Lilian tidak pernah merasakan gugup yang seperti ini.
"Kau pasti sudah gila Lilian," ucapnya pada dirinya sendiri.
Melupakan jadwal yang seharusnya ia datangi malam ini bersama Sean ke acara fashion show busana tahun ini, Lilian diharuskan untuk fokus pada pertemuan nanti malam. Huh, ia tidak bisa membayangkan akan seperti apa jika orangtuanya tau bahwa putri semata wayangnya bertemu dengan calon suaminya, ralat, calon tunangannya. Selagi belum pasti, belum bisa disebut calon suami, bukan?
Degup yang kian 'tak bisa terkontrol kembali bergemuruh dalam benak Lilian. Sedari tadi siang hingga 30 menit menuju waktu janjinya pada Malvin. Lilian 'tak habis pikir sebegitu tidak tenang kah dirinya dengan rencana ini? Oh ayolah, ini keahliannya, menciptakan kesepakatan sudah termasuk bakatnya, iya meskipun masih dibumbui sedikit ancaman yang menggelikan.
"Lilian! Malvin menunggumu di bawah, cepatlah turun!" teriak Disa sembari mengetuk pintu kamar Lilian 'tak sabar.
Lilian menghela napas panjang, berusahalah menetralkan degup jantungnya.
"Baiklah, Lilian. Ini waktunya, kau hanya perlu menghadapi Malvin dan itu tidaklah berat."
Perlahan namun pasti, langkah demi langkah Lilian tegaskan pada tiap tangga lantai rumahnya. Bisa ia lihat sekarang, Malvin dengan tuxedo warna hitam dengan jam tangan yang Lilian tau itu adalah jam tangan yang Malvin pakai kemarin malam. Jujur, Lilian mengakui bahwa Malvin terlihat menawan malam ini. Tidak bisa! Lilian tidak seharusnya mengungkapkan itu.
"Kita berangkat sekarang," suruh Lilian.
Tanpa sepatah kata, Malvin berdiri, merapikan pakaiannya agar terlihat sempurna seperti sedia kala, bahkan lelaki itu tidak sekalipun berniat melihat Lilian yang berdiri di sampingnya.
"Lelaki menyebalkan, bisa-bisanya dia mengabaikanku," batin Lilian.
Baiklah, Lilian bukannya ingin dipuji oleh sosok Malvin. Apa yang bisa Lilian harapkan dari lelaki membosankan seperti Malvin? tidak ada. Namun, bukankah seharusnya Malvin sedikit saja meliriknya? Ia sudah berusaha sebaik mungkin, tetapi lelaki di depannya ini sangatlah tidak peka. Ingat! Lilian bukannya haus pujian, hanya saja ia kesal. Lilian si denial.
Setelah Disa mengizinkan mereka untuk pergi berdua, kini suasana di dalam mobil benar-benar jauh dari kata biasa saja. Ini bisa disebut canggung. Lilian beberapa kali melirik dari sudut matanya mencoba menangkap pergerakan Malvin, tetapi yang ia lihat, lelaki itu tampak biasa saja. Suasana seperti ini tidak cocok untuk Lilian yang cenderung tidak bisa diam.
"Kau ini malas bicara atau bagaimana?" kesal Lilian, namun yang dilakukan Malvin hanya menoleh sekilas ke arah Lilian.
"Membosankan, aku tidak bisa membayangkan hariku jika memang kita terpaksa harus menikah," gerutunya.
Lagi, Malvin masih tidak berniat membuka suara.
"Aku membencimu," tutur Lilian karena tidak mendapat respon apapun dari Malvin. "Jika tau akan seperti ini, lebih baik aku naik taksi saja tadi. Supir taksi saja bisa kuajak bercanda."
Malvin menghela napas. "Kau mau turun atau terus menggerutu di sini?"
Jangankan diperlakukan manis seperti seorang putri raja, yang Malvin lakukan sekarang adalah keluar dari mobilnya, berlalu menjauh menuju pintu masuk resto Jepang yang menjadi pilihannya, tanpa menunggu Lilian. Tolong garis bawahi, tanpa menunggu Lilian.
"Cihh, sebenarnya dia menganggapku ada atau tidak?" gerutu Lilian sembari membuka pintu mobil lalu menutupnya keras, tidak peduli jika nanti ia disalahkan bila terjadi sesuatu pada mobil Malvin.
"Lelaki tidak peka, akan aku pukul kepalanya nanti sebagai balasan. Setidaknya bukakan pintu untukku atau menungguku untuk berjalan bersama." Lagi, Lilian hanya bisa menggerutu sekarang.
Pada dasarnya Lilian memang membutuhkan sebuah afeksi dari Malvin, tetapi ia tidak mau mengakui itu. Terus saja berdenial, sepertinya itu akan menjadi keahlian Lilian yang lain. Terbukti dari Lilian yang 'tak sengaja ingin Malvin memperhatikannya malam ini, lalu menginginkan agar Malvin memperlakukannya sebagai seorang wanita yang dijaga dan dipuja. Semua tidak berarti lagi karena tidak ada yang bisa mengabulkan itu.
Dengan seribu sumpah serapah, Lilian menggumam sembari berjalan menyusul Malvin yang sudah jauh di depan sana. Baru pertama kali ini ia diperlakukan seperti saat ini oleh seorang lelaki. Lilian bersumpah bahwa ia akan membalas Malvin suatu hari nanti.
"Apa kau gila?!" Benar saja, Lilian baru saja memukul kepala Malvin menggunakan tas kebanggaannya. Wanita itu hanya mengendikkan bahunya acuh saja.
"Cepat pesankan aku coklat panas," paksa Lilian. Masih dengan raut datarnya, Malvin menghela napas pelan sebelum memanggil salah satu pelayan di sana.
"Dengar, aku tidak punya banyak waktu. Cepat ka—"
"Diamlah, aku masih kesal denganmu," potong Lilian.
"Aku perlu bersiap sebelum berangkat, Lilian. Jadi, tolong jangan menyulitkanku."
Tepat setelah Malvin mengatakan itu, 2 cangkir coklat panas sudah berada di meja mereka. Lilian menyesap minuman kesukaannya dan memandang Malvin yang sepertinya mulai menunjukkan raut tidak bersahabat.
"Aku punya penawaran."
"Katakan," singkat Malvin.
"Kau akan kembali ke Amsterdam, bukan? Itu bagus, kau bisa sekaligus melarikan diri. Jadi, kau tidak perlu memikirkan perjodohan ini. Anggap saja kau tidak pernah tau. Bagus, bukan? Aku dengan hidupku dan kau dengan hidupmu, selesai," ucap Lilian semangat.
Malvin terkekeh. "Kau pikir aku bodoh? Lilian Ashley, aku kira kau gadis cerdik yang pandai mengontrol keadaan, tetapi setelah aku melihatmu sekarang, kau tidak lebih dari gadis yang ceroboh dan pola pikirmu sangat jauh dariku."
"Yakk! Jangan sombong, berani-beraninya kau menghina kecerdasanku."
"Baiklah-baiklah. Kau ingin seperti itu? Sayang sekali idemu itu mudah ditebak. Aku tidak bodoh untuk tidak berpikiran sama denganmu, tetapi aku yakin kau tau bahwa aku di asingkan karena kehadiranku yang sangat beresiko di sini. Itu berarti kapan pun aku di sana, pada akhirnya aku akan kembali. Jadi, kesimpulannya jika kita benar-benar menikah, bukan aku yang kemari justru kau yang harus ikut ke pengasingan," jelas Malvin sedetail mungkin.
"APA? Tidak mau, aku tidak mau membusuk di pengasingan. Kau saja sudah sangat membosankan apalagi hidup di tempat seperti itu," tolak Lilian.
Sepertinya di sini Lilian mulai salah paham dengan bentuk pengasingan.
"Itu terserahmu. Ada ide lain?" Keduanya diam, saling tatap satu sama lain.
"Kenapa selalu aku yang berpikir, kau saja. Katamu pola pikirku mudah ditebak," kesal Lilian. "Oh, atau mungkin kau diam saja karena kau memang menginginkan pernikahan ini?"
Malvin diam selama sekitar 2 menit.
"Iya."