Chereads / Equanimity / Chapter 10 - Sebuah Afeksi

Chapter 10 - Sebuah Afeksi

Selasa, menjadi hari di mana keputusan seorang Malvin Elison terbit. Berhari-hari ia diliputi perasaan bimbang dan sulit ditebak. Tentang perjodohan paksa, pernikahan private dirinya dan putri penerus dari keluarga Levis yang 'tak lain adalah Lilian Ashley yang ternyata sesuai dengan tebakannya.

Rumit dan membuncah, itulah dua hal yang Malvin rasakan sekaligus baru-baru ini. Ia dibebani dua pilihan yang sebenarnya tampak mudah diputuskan menurut beberapa orang. Perlu diingatkan sekali lagi, tujuan Malvin diasingkan bukan semata karena kesalahan fatalnya ataupun karena ia adalah penerus satu-satunya dari keluarga Mattzhlias yang diincar banyak orang, tetapi untuk masa depan Mattzhlias dan segala asetnya.

Seharusnya Malvin tidak perlu bersikap seolah-olah ia merasa keputusan yang harus ia ambil adalah hal yang salah. Bayangkan saja, diberikan sebuah pilihan, mau memilih perjodohan ini berlanjut dengan Lilian yang sejatinya baru ia temui atau menolak rencana besar itu dan lebih memilih kekasihnya.

Jika itu orang lain, pasti akan memilih menolak dan melanjutkan hubungannya dengan sang kekasih. Namun, mau bagaimana lagi, langkah Malvin sebagai satu-satunya penerus keluarga Mattzhlias mengharuskan dirinya menjadi terpandang suatu saat nanti. Apa kata orang jika seorang putra Mattzhlias secara sembarangan memilih pendamping hidupnya?

"Pulanglah dua bulan lagi untuk melangsungkan pernikahan," ucap Jason. Terdengar tanpa paksaan, tetapi bagi Malvin itu adalah sebuah perintah mutlak.

"Baik, Ayah." Tentu saja Malvin tidak ada nyali untuk menolak.

Sedangkan satu orang paling ujung, susah payah ia harus menciptakan raut wajah yang sedikit bersahabat, padahal ingin sekali rasanya ia mencaci maki semua orang yang ada di sini.

Lilian, sedari tadi wanita itu berdiri tidak jauh dari pandangan sang ibu yang berulang kali memberikan tatapan membunuh padanya untuk menjaga sikap. Disa tentu tau bahwa putrinya akan bertingkah seperti ini, tetapi ia sudah cukup mampu untuk memberikan sedikit ketegasan pada putrinya itu.

"Lebih baik aku tidur seharian daripada harus melihat orang itu lagi," katanya sewaktu Disa menyuruhnya bersiap untuk pergi ke bandara internasional.

Lilian semakin muak ketika melihat bagaimana kedua orangtuanya memberikan usapan lembut serta berbagai harapan untuk Malvin selama perjalanan. Lilian saja jarang mendapatkan perlakuan seperti itu. Ia sudah tidak tahan, tetapi ia masih sayang dengan nyawanya.

"Apa tadi dia bilang? Dia serius menerima semua ini? Orang gila," batin Lilian. Ia tidak mungkin mengatakan itu secara terang-terangan, bukan? Apalagi saat Disa sudah melontarkan tatapan ingin menghabisi Lilian saat itu juga. Tidak ada yang bisa Lilian lakukan selain mendengus samar.

"Kau harus ingat, kau kembali untuk mengurus kepindahanmu dan untuk pernikahanmu. Jangan mencoba macam-macam jika tidak mau masa depanmu hilang harapan." Kali ini Tysa yang berbicara. Terdapat raut tidak tega atas kepergian putranya kembali ke kota di mana ia berada selama ini.

"Aku tidak yakin jika dengan waktu dua bulan akan selesai begitu saja. Ada banyak hal yang harus aku lakukan di sana, Ibu," jawab Malvin. Tanpa diketahui oleh siapa pun, Lilian tertawa puas di sudut sana. Mungkin wanita itu sedang berharap bahwa tidak apa, teruskan untuk mengulur waktu di sana.

"Ini pernikahanmu, Malvin. Pamanmu akan membantumu, tenang saja," jelas Jason.

Kenapa tidak ada yang mengizinkan Lilian untuk merasa senang sebentar saja? Belum ada lima menit dan ia harus harus kehilangan harapannya.

"Baiklah, Ayah atur saja semuanya."

"Lilian?"

"Iya?" sahut Lilian. Jujur, ia sedikit terkejut ketika Tysa memanggilnya. Sedari tadi, Lilian bahkan tidak berminat ikut dalam pembahasan hal yang menurutnya sangat tidak penting itu.

"Lakukan sesuatu." Bukan Tysa yang mengatakannya, tetapi Disa. Bukan juga secara gamblang Disa mengatakan itu, tetapi dengan bisikan menuntut.

"Apa?" tanya Lilian balas berbisik.

Melihat ibunya yang sepertinya ingin memakan Lilian saat itu juga, mendadak membuat Lilian gugup. Belum lagi dengan Malvin dan kedua orangtuanya yang kini juga menatap ke arahnya.

Berdehem pelan, Lilian lantas melangkahkan kakinya ke arah di mana Malvin berdiri saat ini. Ia tidak tau kenapa ia malah melakukan ini dan entah kenapa degupnya sangat sulit dikendalikan. Semakin dekat, hingga kini ia berada tepat di depan Malvin.

Sungguh, Lilian tidak tau harus mengatakan apa. Bahkan untuk bersikap saja Lilian tidak tau. Degup jantungnya menjadi semakin tidak terkendali lantaran Malvin menatapnya penuh atensi. Oh, ayolah Lilian, kau hanya perlu berpura-pura sekali lagi lalu selesai.

"Umm, aku ...." Rasanya semua kata yang Lilian ingin lontarkan tertahan dalam tenggorokannya. Padahal ia biasa diberikan julukan sebagai ahli berdebat oleh teman-temannya, tetapi di depan Malvin? Lilian seakan mati kutu.

Melihat wanita yang sedari tadi diam dan belum berniat mengeluarkan sepatah kata, Malvin menghela napas samar, tidak ada yang menyadarinya. Malvin tau bahwa Lilian pasti merutuk di dalam hatinya sedari tadi. Namun, Malvin mencoba tidak peduli, atau mungkin ia belum mau peduli.

"Lama," bisik Malvin kala dirinya berhasil merengkuh tubuh yang lebih kecil.

Lilian sedikit tersentak akan perlakuan tiba-tiba yang Malvin berikan mengingat hubungan mereka 'tak pernah sedekat ini sebelumnya. Jangankan sebuah hubungan, berhadapan dengan jarak yang sebegini dekatnya pun, Lilian rasanya tidak mampu.

Lilian pikir ini 'tak akan berlangsung lama, tetapi 3 menit berlalu, Malvin masih enggan melepaskan rengkuhannya.

"Aku tidak pergi, aku hanya ingin mengambil apa yang bisa aku bawakan untukmu nanti, pegang janjiku."

Tidak, Malvin tidak mengatakan dengan berbisik seperti awal tadi. Malvin mengungkapkannya dengan lantang, di depan ibunya dan kedua orangtua Malvin sendiri.

"Aku akan kembali dan saat itu tiba berjanjilah padaku untuk berdiri di titik yang sama, di tempat yang saat ini kita sambangi dan berikan sambutan kecil padaku, persis seperti yang kita tengah jalani saat ini," lanjut Malvin.

Tubuh Lilian yang awalnya terpaku karena ulah Malvin, kini mendadak merasakan lemas di sekujur kakinya. Lilian tidak bisa melihat apakah Malvin mengatakan hal yang sesungguhnya atau justru kebohongan semata. Tubuhnya masih direngkuh kuat sehingga Lilian tidak bisa melihat kebenaran yang sesungguhnya dari sorot netra lelaki di depannya ini.

Ingin segera mengakhiri ini semua, namun afeksi yang Malvin berikan mampu membuatnya ikut terbuai dalam kepura-puraan. Tangan yang sedari tadi berada di samping tubuhnya perlahan terangkat, meraih punggung Malvin untuk memberikan afeksi yang sama.

Aneh namun cukup melegakan, itu yang Lilian rasakan. Usapan lembut terus ia dapatkan dari sentuhan Malvin yang mulai menguasai surai legamnya. Tidak ada yang tau sampai kapan sebuah dekapan ini akan berakhir jika saja sebuah instruksi 'tak menggema memenuhi lorong tanpa sekat ini. Mengisyaratkan bahwa penerbangan menuju Amsterdam 'tak lama lagi akan segera lepas landas.

Jika boleh jujur satu hal, Lilian ingin ia melupakan bahwa status mereka saat ini adalah menuju milik satu sama lain. Terdengar menggelikan, tetapi itu kenyataannya. Seandainya ia dulu lari dari gedung pencakar langit itu dan memilih mempersiapkan untuk hadir di pesta fashion terbesar tahun ini, Lilian tidak akan berakhir dengan seorang Malvin Elison.

Lilian benci ketika ia tidak bisa menolak hal yang ia 'tak suka. Ia benci ketika ternyata dirinya di satu sisi malah mendambakan apa yang ia tolak mentah-mentah. Kenyataannya, antara otak dan hatinya tidak lagi selaras, saling bertolak belakang. Bukannya memenuhi keinginannya, Lilian justru semakin mengeratkan pelukannya pada tubuh Malvin yang hendak melepaskan Lilian.

"Peluk aku, sebanyak yang kau mau," lirih Malvin pada Lilian yang mulai menyandarkan kepalanya pada pundak Malvin.

Setelah ini Lilian pasti kembali merutuki dirinya sendiri untuk kesekian kalinya. Tidak peduli, Lilian hanya ingin menikmati ini. Entah sengaja atau tidak, wanita yang selama ini selalu berdenial, kini jatuh sedalam-dalamnya pada sebuah afeksi yang Malvin berikan.