Ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk pertama kalinya. Pertama kali terlahir di dunia, pertama kali mengucapkan sepatah kata, pertama kali bisa berjalan, dan lainnya. Banyak yang mengira bahwa hal pertama adalah awal yang baik, tetapi sayang, itu bukan segalanya.
Tidak ada yang salah dalam memberikan sebuah ungkapan untuk pertama kali dalam berbagai hal. Terkadang, memang berpikir positif sangat diperlukan untuk membentuk afeksi lain yang pastinya akan berguna secara 'tak langsung. Orang bilang, berpikir positif dapat membangkitkan sesuatu yang baru dalam diri seseorang untuk melanjutkan suatu hal yang ingin dilakukan. Anehnya, itu benar. Tidak perlu banyak bukti untuk membuat orang lain menyetujui hal itu.
Permasalahannya di sini, bagaimana seseorang bisa menarik kesimpulan bahwa berpikir positif adalah hal yang semestinya mereka lakukan di saat-saat tertentu. Tentu saja memunculkan pemikiran positif tidak semudah membalikkan telapak tangan. Bisa dibilang, bahwa yang berkomitmen terhadap sesuatu, akan lebih mudah menghadirkan berbagai pikiran positif beserta kemungkinan yang akan terjadi nantinya.
Komitmen, benarkah satu hal ini memang hal yang perlu diperhatikan sebelum memulai sesuatu untuk pertama kalinya? Dari banyak hal yang tidak terduga, komitmen lah yang ternyata mempunyai arti besar dalam suatu usaha.
Lagi, berkomitmen bukan hal yang bisa dianggap sepele. Siapa sangka, sesuatu yang dirasa kecil justru mempunyai peran besar untuk kedepannya. Sepele bukan berarti tidak penting. Begitu pula dengan komitmen, tampak sederhana, tetapi perlu banyak usaha untuk memilikinya.
"Lilian Ashley," gumam Malvin di tengah keramaian kota yang sama sekali 'tak bisa jauh dari keheningan.
15 menit yang lalu, pertemuan singkat yang keluarganya dan keluarga Lilian menemui sebuah ujung. Kali ini, untuk pertama kalinya, Malvin merasa sulit dalam mengemukakan sebuah ungkapan. Tidak biasanya ia bersikap layaknya seseorang yang punya banyak pilihan. Namun sekarang, dunia seakan berputar menjauh darinya.
"Wajahnya tampak 'tak asing, tetapi namanya ... aku seakan pernah mendengar, tetapi tidak mungkin."
Denial. Entahlah, kali ini entah Malvin yang merasa bahwa memorinya memang sependek ini atau ia yang hanya merasa seperti tengah merasakan dejavu.
"Dia 'tak memunculkan reaksi apa pun yang menunjukkan bahwa ia tau tentang sesuatu."
Mungkin orang lain akan menganggap Malvin aneh karena berbicara seorang diri. Bagaimana tidak, saat ini hanya ada Malvin Elison di dalam sebuah mobil yang menyusuri jalan di pusat kota. Hening yang diciptakan seorang diri dan hanya ada sahutan klakson mobil dari pengendara lainnya.
Pikiran Malvin hanya mampu berpusat akan wanita yang menurutnya 'tak asing itu. Benar, kali ini Malvin hanya ingin bermain dengan firasatnya. Bukan sok tau atau terlalu percaya diri, hanya saja Malvin merasa sosok yang berada dihadapannya tadi, sosok yang berbincang dengannya tentang hal yang sama sekali tidak penting adalah sosok yang sama dengan yang ia cari selama ini.
Helaan napas lantas mengiringi kerisauan Malvin di penghujung hari. "Seharusnya memang aku tidak mempermasalahkan hal ini."
Satu hal yang Malvin pertanyaan sebagai penutup hari ini. Apa sebenarnya yang terjadi padanya saat ini. Ia seakan dikendalikan oleh satu wanita yang bisa dibilang hanya sekelebat bayangan dan tidak perlu dianggap serius olehnya sendiri. Pikirannya, firasatnya, bahkan pusat dunianya, semuanya hanya terlintas seorang Lilian Ashley.
Bukan soal perjodohan yang Malvin maksud, ia bahkan sama sekali 'tak memusingkan hal itu kali ini. Sejak netranya menemukan sosok yang mampu mengubah pandangannya dalam sekali lihat, Malvin 'tak mampu lagi untuk berpaling dari sosok itu.
Mau tau satu fakta? Malvin sama sekali tidak menggubris apa yang Lilian katakan ketika mereka berbincang di lain tempat tadi. Semua kalimat yang keluar dari bibir wanita yang kemungkinan ingin melakukan apa pun agar perjodohan ini tidak terjadi, Malvin sama sekali tidak mau peduli. Porosnya hanya pada wanita itu, seorang Lilian Ashley. Padahal jika dipikirkan kembali, Malvin hanya akan menjadi seorang yang terlalu bermodalkan firasat.
"Cryvedazz apa? Kamar? Aku tidak ingin bercanda sekarang. Kau harus tau, aku di sini untuk memberikan penawaran. Bagaimana jika kau mengusulkan diri untuk menikah secepatnya. Aku tau kau pasti memiliki seorang kekasih. Mustahil jika kau bilang apa yang aku katakan tidak benar." Masih Malvin ingat kalimat pertama yang Lilian katakan padanya tadi. Sebuah ungkapan panjang kali lebar yang keluar dari bibir wanita yang berdiri dihadapannya.
Lilian benar-benar 'tak memberikan jawaban lebih soal Cryvedazz dan kamar nomor 225. Bahkan wanita itu langsung mengatakan apa yang ingin ia tuntaskan saat itu juga.
"Dengar! aku serius sekarang, bisakah kau juga mengatakan setidaknya satu kata? Jangan diam saja."
"Apa yang ingin kau dengar," tanya Malvin.
"Tentu saja sebuah persetujuan. Kau bisa mengatakan iya atau aku setuju, apa pun asal kau juga ingin hal yang sama denganku."
"Aku tidak."
"Apa?" bingung Lilian.
"Jalan kita berbeda."
Dapat Malvin simpulkan bahwa Lilian adalah seorang yang sangat berisik dan cerewet. Itu terbukti dari rentetan kalimat yang terus wanita itu lontarkan, padahal Malvin sama sekali 'tak menanggapi satu pun yang Lilian katakan. Hanya sebuah jawaban tidak memuaskan yang ingin Lilian dengar.
Tanpa Malvin sadari, senyum terbit dari raut wajahnya ketika mengingat bagaimana Lilian terus saja menggerutu. Mengomentari apa pun yang Malvin lakukan saat dirinya hanya diam 'tak merespon Lilian. Tentu saja Malvin paham bahwa Lilian pasti kesal padanya. Namun, ini Malvin, Malvin Elison yang tidak akan peduli dengan hal-hal seperti itu.
Sibuk dengan segala arah yang terus saja mengarahkannya pada sosok Lilian, Malvin terpaksa harus kembali menepis bahwa ia tidak bermaksud memikirkan wanita itu. Lagi-lagi ia berdenial. Jika saja sebuah nada dering telepon 'tak terdengar dari ponselnya, mungkin Malvin masih dengan kesibukannya yang ingin bermain dengan firasat.
"Kau dimana? Aku melarangmu untuk bebas melakukan apa saja. Cepat kembali! Ingat! kau tidak boleh terlalu lama di luar sana. Ini bukan tempatmu."
Malvin yang mendengar segala celotehan dari wanita yang berada di seberang telepon memilih untuk menepikan mobilnya. Tidak ada niat lebih, hanya sekadar ingin menjawab panggilan sang ibu saja.
"Aku akan segera kembali, aku tidak akan berbuat macam-macam."
"Bagus, ibu bilang cepat kembalilah. Jadi, tolong dengarkan ibu kali ini." Tidak ada jawaban dari Malvin. "Malvin Elison, kau dengar aku?" lanjutnya.
Tidak, Malvin 'tak lagi fokus pada apa yang dikatakan sang ibu semenjak netranya menemukan sesuatu yang lagi-lagi tampak tidak asing di depan sana. Sepertinya Malvin harus mencabut kembali ucapannya untuk tidak akan berbuat macam-macam.
"Malvin—" panggilan terputus. Tentu saja Malvin adalah pelakunya. Ia bahkan sudah tau akan jadi seperti apa ia nantinya ketika sampai di rumah karena berani memotong panggilan dari sang ibu. Tidak peduli, mungkin Malvin akan menjawab seperti itu. Urusannya sekarang berada di depan mata. Sayang kalau memang Malvin melewatkan satu hal ini.
Mobil yang awalnya menepi di pinggir jalan yang masih sedikit ramai, kini mulai melaju pelan. Bukan berniat untuk meninggalkan tempat awal, tetapi hanya untuk memarkirkan mobilnya di sebuah pelataran yang cukup luas tak jauh dari sana.
"Aku menemukanmu," gumam Malvin sebelum keluar dari mobilnya.
Entah angin apa yang mengenai Malvin malam ini, senyum sama sekali tak luntur dari bibirnya saat netranya melihat sosok itu lagi. Perlahan namun pasti, Malvin berjalan memasuki tempat yang diyakininya akan sangat menarik, ditambah lagi dengan suasana ramai dan nuansa yang tak asing. Jangan lupakan satu sosok yang menjadi alasan Malvin berani kemari.
Riuh, itu yang pertama kali Malvin ungkapan dalam benaknya ketika memasuki tempat ini. Tentu saja tempat ini tidak asing baginya. Tempat tinggalnya sedari dulu adalah surga bagi Malvin yang memang menyukai tempat seperti ini. Seperti remaja pada umumnya, kebebasan adalah hal yang utama. Apalagi Malvin yang hidup jauh dari keluarganya, ia seakan difasilitasi oleh tempat layaknya demikian karena kebebasannya.
"Menarik, sangat menarik," gumam Malvin. Tentu saja 'tak ada siapa pun yang mendengarnya. Bahkan ketika Malvin berteriak pun, pasti akan kalah dengan dentuman musik yang terputar sebagai ciri khas tempat ini.
Dari jauh, Malvin mengamati satu sosok yang sama. Netranya tidak berniat untuk mengalihkan perhatiannya dari sosok itu. Semua yang wanita itu lakukan, pandangan Malvin 'tak pernah lepas darinya.
Melihat wanita itu yang meliukkan tubuhnya mengikuti irama musik yang terputar, bagaimana wanita itu tertawa saat tubuhnya dirasa melayang dan bebas, di mana saat wanita itu meneguk sebuah minuman dengan kadar alkohol yang terdapat di dalamnya, Malvin menikmati itu semua. Bahkan sudut bibir yang terangkat masih saja membekas di sana.
"Cantik. Lilian Ashley, aku menemukanmu ... lagi."