Chereads / Equanimity / Chapter 3 - Damai dan Amarah

Chapter 3 - Damai dan Amarah

Pengalihan isu terkadang hanya terlibat jika seseorang membutuhkan topik baru untuk mengubur apa yang membuatnya merasa bahwa hal itu menghalangi sesuatu. Bukankah sesuatu yang mengganggu sudah sepantasnya segera diselesaikan. Kenapa tidak disingkirkan saja? secara semua yang disingkirkan pasti tidak lagi terlibat di dalam kondisi yang sama.

Jawabannya adalah terkadang suatu yang mengganjal tak selamanya berujung pada sebuah konteks buruk. Tentu saja kalimat yang mengatakan bahwa tiap hal pasti ada baik dan buruknya itu benar. Sudut pandang tiap orang juga tentu berbeda, bisa saja bagi kita itu mengganggu, tetapi bagi orang lain itu adalah sebuah kesempatan. Siapa yang tau bahwa orang lain juga membutuhkan hal yang sering disebut kesempatan dalam kesempitan.

Bukan itu masalahnya, hal yang disingkirkan 'tak selamanya akan menciptakan kebebasan. Siapa tau juga, nanti akan ada kondisi di mana kita memerlukan pengalihan itu dalam konteks yang berbeda. Pernah dengar orang mengatakan "Satu hal ada banyak latar yang terselubung." mungkin itu juga yang bisa dijadikan landasan bahwa tiap kondisi 'tak hanya menciptakan satu nuansa saja.

"Kau gila!"

"Diamlah sebentar. Aku juga tidak ingin ini terjadi."

"Maka berusahalah. Kau akan diam saja saat 'tak lama lagi kau akan dinikahkan?"

"Sia, kumohon mengertilah." Malvin harus menahan semua amarah yang masih membekas akibat ulah sang ayah kemarin.

"Aku tidak akan membiarkan ini terjadi," balas wanita yang dipanggil Sia.

"Kita punya maksud yang sama. Jadi, biarkan aku berpikir harus kita apakan kondisi ini."

Sungguh, Malvin tidak pernah merasa lelah yang begitu luar biasa seperti saat ini. Bukan lelah fisik karena ia harus terus-terusan mempelajari banyak hal tentang perusahaan dan tugas-tugasnya, tetapi ini lelah yang menggerogoti batinnya. Selama ini Malvin hanya mampu menahan karena ia tidak berniat untuk memperkeruh keadaan. Namun, entah kenapa beberapa hari terakhir ini Malvin merasa beban yang amat berat baru saja ia pikul

Jauh dari perkiraannya, nyatanya Malvin 'tak sepandai itu dalam mengontrol emosi. Tidak untuk apa pun, bahkan wanitanya sendiri.

"Kau tau? Kau terlalu lamban," sarkas Sia, membuat Malvin secara reflek mengalihkan perhatiannya pada wanita itu.

"Jangan membuatku marah, Sia. Kau tau aku tidak pernah suka dengan kekanak-kanakanmu."

"Kau anggap ini kekanakan?" Sia mulai kembali menaikkan nada bicaranya.

Inilah kenyataannya, bukan Sia yang pengertian ataupun peduli dengan keadaan kekasihnya. Bukan juga Sia yang punya segala arah untuk meredakan suasana. Freesia Kindrez, wanita keturunan Prancis yang memilih untuk singgah di kota yang jauh dari kata sempurna. Satu alasannya, Malvin Elison M.—kekasihnya—yang juga tinggal di tempat yang sama.

Mungkin semua orang akan merasa heran ketika melihat niat wanita ini. Bagaimana wanita dengan latar pendidikan yang tinggi lebih memilih untuk berdiri di tempat yang jauh dari angan kebanyakan orang. Jika dipikir dengan nalar, maka akan sulit menemukan wanita sepertu itu, bahkan sangat sulit. Namun apa daya, cinta memang membuat hilang arah. Faktanya, Sia 'tak pernah menganggap apa yang ia lakukan ini sebagai keterpaksaan ataupun keputusan yang salah, melainkan sebuah pilihan.

"Jangan memulai," tegur Malvin berusaha setenang mungkin.

Mirisnya, Malvin juga terjebak dalam buaian rasa yang dinamakan cinta. Dengan sikap Sia yang tidak bisa ditebak tiap waktunya dan terhitung lebih memberatkan Malvin dalam tiap keadaan, Malvin menganggap itu sebuah ujian dalam masa percintaannya. Memang benar, kemungkinan apa yang dimaksud Malvin ada benarnya, tetapi jika seterusnya Sia tetap pada pendiriannya dengan bersikap egois terhadap dirinya sendiri bukankah itu sudah jauh dari kata sakit? Kisah mereka benar-benar dapat dikatakan sakit selama ini.

Apa daya, Malvin terlalu buta untuk melihat sekitar. Ia lebih memilih Sia yang memang sebagai kekasihnya ketimbang lingkungan sekitarnya yang punya cerita lebih menjamin. Pilihan tetaplah pilihan, selagi masih menjadi alasan maka tidak akan dipermasalahkan. Hubungan mereka mungkin bisa dibilang sedikit jauh dari definisi yang sebenarnya, tetapi bagaimanapun juga, Malvin dan Sia masing-masing masih mempunyai alasan tersendiri untuk hubungan yang mereka jalani.

"Bertindaklah, bukan berdiam diri lalu tiba-tiba aku sudah harus melihatmu di atas altar bersama wanita pilihan ayahmu."

Kalimat yang Sia lontarkan sukses membuat Malvin bungkam. Sia bukan hanya mengatakan itu karena ia ingin mempertahankan hubungannya saja, tetapi juga mengenai ketakutannya. Malvin tau itu, wanitanya akan mempertahankan apa pun yang menurutnya adalah haknya. Bukan hanya sebuah ancaman atau bualan semata, tetapi benar-benar murni dari keganjilan yang singgah dalam benaknya.

Jujur, Sia benar-benar takut sekarang. Wanita itu hanya 'tak bisa membayangkan bagaimana kelanjutan hidupnya tanpa Malvin. Selama 3 tahun mereka menjalin sebuah ikatan yang berlandaskan rasa, tidakkah itu cukup untuk dijadikan sebuah alasan? Sia hanya ingin apa yang telah dipilihnya selama ini tidak sia-sia. Salahkah jika Sia mempertahankan apa yang menjadi miliknya?

Malvin juga paham bahwa wanitanya kini tengah ketakutan. Takut jika takdir mereka harus dibalikkan secara paksa. Dalam hati yang paling dalam, Malvin juga merasakan hal yang sama. Ia hanya sulit mengekspresikannya lewat kata-kata dan tindakan, Malvin kesulitan untuk itu. Kini, Malvin paham sepenuhnya, ia sadar karena kalimat yang Sia lontarkan memang benar adanya.

"Maaf, Sia, maaf." Malvin bersimpuh di depan Sia yang duduk di atas sofa dengan kepala yang menunduk. Sia tidak berniat untuk menangis karena menurutnya ia harus memprioritaskan masalah mereka daripada mengekspresikan emosinya dengan tangisan.

"Aku janji aku akan memperbaiki semuanya. Jangan membuatku semakin merasa bersalah," ucap Malvin.

Sekarang yang harus Malvin pikirkan yaitu bagaimana cara agar ia bisa membujuk ayahnya untuk menghentikan ini semua. Ini sulit, sangat-sangat sulit. Menolak keputusan ayahnya, apalagi mencoba membatalkannya adalah keputusan yang salah, salah karena itu tidak akan merubah apa pun. Lalu, apa yang bisa Malvin perbuat sekarang? Untuk mengatakan empat mata dengan ayahnya saja Malvin sepertinya tidak mengharapkan apa pun.

Banyak yang ingin Malvin lontarkan tentang apa yang ia rasakan selama ini. Tidak hanya tentang eksistensinya di tempat ini, tetapi juga kesalahan apa yang ia perbuat sehingga ia harus berakhir seperti ini. Apa ia dilahirkan untuk tunduk pada ayahnya? maksudnya tunduk dalam artian benar-benar harus menuruti apa yang ayahnya mau. Ia hadir di keluarnya bukan sebagai seorang anak, tetapi aset, aset yang disembunyikan lebih tepatnya.

Ini bukan sekali atau dua kali Malvin berusaha menentang ayahnya. Untuk kesekian kalinya Malvin berusaha menolak, tetapi ini untuk pertama kalinya Malvin merasa takut akan bertindak. Bukan juga hal yang jarang terjadi di kehidupan Malvin namun ini sanggup untuk membuat Malvin merasakan begitu muak dengan yang namanya perintah.

"Kau akan memegang kata-katamu?" tanya Sia. Wanita itu mulai mengangkat kepalanya dan menatap Malvin yang kini juga tengah menatapnya.

Malvin tersenyum teduh. Hanya itu yang bisa ia lakukan agar membuat wanitanya tenang. Sampai kapan pun, Sia akan selalu menjadi alasan Malvin untuk bertahan. Semoga, semoga Malvin benar-benar bisa memegang perkataannya sendiri.

"Aku akan berusaha." Usapan lembut pada punggung tangan Sia membuat wanita itu sedikit lebih tenang. Setidaknya untuk sementara ini, Sia tak begitu memikirkan tentang masalah yang tercipta, dengan begitu Malvin juga akan lebih tenang untuk mencari jalan keluar.

Sudah sering terjadi bagi Malvin dan Sia berada dalam kondisi yang tidak jauh dari apa yang mereka alami saat ini. Perdebatan kecil bukanlah hal yang asing bagi mereka. Bukan hanya mereka saja, tetapi mungkin bagi orang lain hal itu juga biasa terjadi dalam sebuah hubungan. Bukan lagi tentang siapa yang bersalah dan siapa yang ingin mengalah. Namun, apa yang menjadi landasan dalam perdebatan itulah yang perlu diperhatikan.

Lagi-lagi jika dikaitkan, selalu saja kisah percintaan yang mempunyai masalah paling rumit. Padahal sebenarnya setiap permasalahan pasti ada yang namanya konsekuensi. Dari konsekuensi itulah kita bisa memutuskan mana yang lebih baik dilakukan dan tidak dilakukan.

"Secepatnya, Malvin."

"Iya, secepatnya."

Belum cukup bagaimana Malvin harus berpikir mana yang harus ia pilih untuk diprioritaskan, Sia kembali dengan sisi pemaksanya. Ketakutan yang dirasakan wanita itu bukan hanya sebatas ketakutan biasa, tetapi lebih menoreh ke memaksa keadaan. Seakan-akan Sia 'tak mengizinkan Malvin untuk berdamai dengan amarahnya lebih dulu.

"Aku pastikan bahwa hubungan kita akan tetap terjaga. Diizinkan atau tidaknya hubungan ini nanti, percayalah, aku akan memilih jalan yang bisa membuat aku dan kamu tetap menjadi kita."