"Aku bukan anak usia 20 tahun yang akan siap sedia menerima sebuah perjodohan dengan sukarela demi bisnis semata."
Riuh, itulah suasana yang kini menyelimuti rumah dengan tiga lantai ini. Sejak sepuluh menit yang lalu tidak ada satu pun orang yang diam ditempatnya. Semuanya memilih untuk saling melontarkan pendapat serta pembelaan satu sama lain. Hanya berupa adu argumen tanpa aksi, tetapi sanggup untuk membuat riuh di setiap celah ruangan.
Tepatnya di ujung tangga lantai dua, dua wanita yang berstatus sebagai ibu dan anak itu masih beradu argumen satu sama lain. Ingat! tanpa sebuah aksi, karena memang kedua wanita itu hanya mengandalkan indra pengecapnya untuk saling melontarkan maksud serta niatnya.
"Kau harus melakukannya."
"Ibu, aku wanita karier. Tidakkah ibu berpikir bagaimana putri ibu ini mempertahankan pekerjaannya?"
Tidak ada yang mau mengalah. Bahkan mereka berdua tetap beradu kata ketika kaki mereka mulai melangkah turun menapaki satu per satu anak tangga. Melontarkan banyak alasan yang bisa digunakan untuk pembelaan, 'tak segan-segan mereka mencari cara agar sang lawan bungkam.
Di bawah sana, satu lagi sosok yang sedari tadi memperhatikan perdebatan kedua wanita itu menatap tanpa ekspresi. Tidak ada yang menyadari kehadiran sosok itu, bahkan saat salah satu dari mereka sudah menyadari pun, mereka berdua tetap 'tak peduli dan ingin melanjutkan perdebatan.
"Karena itulah, sekarang saatnya kau berhenti memikirkan pekerjaanmu dan menjadi nyonya besar di keluarga Mattzhlias," jelas yang lebih tua memberi pengertian.
"Keluarga Mattzhlias ibu bilang? haha itu lucu." Dengan sengaja wanita yang lebih muda tertawa menanggapi penuturan sang ibu. "Bagaimana bisa putra dari keluarga terpandang seperti keluarga Mattzhlias berakhir dijodohkan? itu tidak masuk akal."
"Itu akan masuk akal jika kau mau menerima pernikahan ini."
"Maka itu tidak akan pernah menjadi hal yang masuk akal karena aku menolaknya."
Sama sekali tidak ada yang mau mengalah. Keduanya memilih untuk tetap pada asumsi masing-masing. Melanjutkan perdebatan yang tampak santai namun dengan pembahasan yang serius. Tidak ada satu pun yang mau mengalah, bahkan saat langkah mereka berada di anak tangga terakhir, mereka tetap 'tak berniat menghentikannya.
"Kenapa?"
Satu suara menginterupsi dua wanita yang masih beradu tatap dan berniat melanjutkan perdebatannya. Satu suara yang lebih berat dari dua wanita ini.
"Ayah? Kenapa?" kata yang termuda balik bertanya.
Tidak ada sahutan. Ruangan yang semula diisi oleh perdebatan antara ibu dan anak kini mendadak hening. Tamat sudah, apakah mereka melakukan suatu kesalahan sehingga membuat kepala keluarga itu marah besar?
"Kenapa kau menolaknya?" kata sosok yang dipanggil ayah tadi.
"Aku pikir ayah—"
"Lilian, jawab ayah."
Hancur sudah harapan Lilian. Awalnya ia mengira ayahnya akan membantunya keluar dari masalah ini. Melihat ibunya yang tetap bersikeras agar ia menikah dengan putra dari keluarga Mattzhlias saja membuat Lilian merasa amat sangat tertekan. Lalu sekarang ia harus dihadapkan dengan kemarahan sang ayah.
"Ayah, kau pasti tau maksudku." Lilian berjalan mendekat ke tempat di mana ayahnya itu berada. Duduk di samping ayahnya yang kini fokus pada objek di depannya.
"Kau tau bukan jika pilihan ayah tidak pernah salah?" Lilian mengangguk. "Maka pikirkan baik-baik."
"Jadi, ayah berpikir bahwa aku juga harus melakukan ini? Ini tidak adil ayah!" kesal Lilian.
"Ayah sedang tidak membahas tentang keadilan, Lilian. Ayah membahas masa depanmu."
"Masa depanku adalah sebagai seorang model, bukan istri dari keturunan keluarga Mattzhlias!" tegas Lilian.
"Menjadi keluarga Mattzhlias bukan berarti kau berhenti menjadi seorang model, Lilian." Ibunya ikut membela sang ayah.
"Tapi ibu tau aku belum ingin menikah," kesal Lilian.
Bersama dengan rasa kesalnya, Lilian mencoba menahan semua amarahnya akibat perintah sepihak yang diberikan orangtuanya. Ia masih mementingkan tata krama yang selama ini telah orang tuanya ajarkan. Hidup dalam lingkungan yang bisa dikatakan serba mewah dan dikelilingi tahta membuat Lilian tumbuh bak putri kerajaan. Apalagi dengan statusnya yang sebagai putri tunggal, membuatnya menjadi penerus satu-satunya setelah ayahnya nanti.
"Kau bukan Lilian putriku yang pembangkang, bukan?" Kata-kata itu sanggup membuat Lilian menghentikan ucapannya. Niatnya untuk sekedar memberi pengertian dari sisinya gagal begitu saja karena ayahnya mengatakan satu hal yang menyakiti hatinya.
"Aku Lilian. Lilian Ashley, putri yang kau besarkan layaknya seorang putri kerajaan dan tumbuh menjadi anak yang diagungkan." Ada maksud lain dari perkataan Lilian barusan. Lebih terdengar seperti sebuah sindiran tentu daripada sebuah pembelaan.
Apa yang dikatakan Lilian benar adanya. Selama ini, Lilian hanya hidup dalam sebuah kurungan serta aturan yang harus ia penuhi seiring ia tumbuh. Tidak jauh berbeda dengan putri kerajaan memang, bedanya, jika putri dari kerajaan diatur dalam sifat bangsawan dan aturan menjadi putri raja. Sedangkan Lilian, ia tumbuh dengan aturan menjadi sempurna sebagi pengiringnya.
Bayangkan saja, selama 22 tahun, Lilian hidup untuk memenuhi ekspektasi yang digambarkan orangtuanya. Bukan lagi terlihat seperti hidup Lilian, tetapi lebih tepat jika dikatakan Lilian hidup untuk alat kedua orangtuanya. Mungkin terdengar sangat jahat, namun hanya itu yang bisa Lilian katakan sekarang.
"Ayah memberikanku semuanya, tidakkah ayah berpikir bahwa aku juga ingin memenuhi mimpiku sendiri? Hidupku bukan untuk mewujudkan mimpi ayah saja, tetapi mimpiku juga. Hidupku adalah milikku," lanjut Lilian.
Kedua orangtua Lilian ikut bungkam dengan apa yang dikatakan putri semata wayangnya itu. Kini, 'tak ada perdebatan kembali. Kemungkinan mereka mencapai titik jenuhnya kali ini, atau mungkin mereka justru tengah mencari celah untuk kembali mendapatkan pembelaan diri satu sama lain.
"Aku hanya ingin menikmati profesiku, kenapa kalian tidak mau mengerti."
"Itu akan membuatmu terus berhubungan dengan Sean, Lilian!" ucap Levi—ayah Lilian—sedikit menyudutkan.
"Apa salahnya? Dia kekasihku. Apa aku salah jika berhubungan dengan kekasihku sendiri?"
"Ayah sudah bilang berapa kali, Lilian. Siapa pun asal bukan Sean."
Lilian mendengus, percayalah ini pertama kalinya Lilian bersikap seperti ini pada orang yang lebih tua. "Selalu itu alasan yang ayah gunakan, aku bahkan tidak membutuhkan pengakuan klasik seperti itu."
Awal yang dipersiapkan untuk membahas pernikahan Lilian dengan lelaki pilihan keluarganya, kini merambat ke topik lain, bahkan sampai kekasih Lilian sendiri pun ikut terlibat. Ingatkan Lilian agar menyadari bahwa tidak semua orangtua sama seperti ayah dan ibunya, tetapi untuk saat ini, izinkan Lilian melampiaskan kekesalannya sendiri.
"Kau tidak pernah mengerti maksud orangtua," ucap Disa—ibu Lilian.
"Itu karena kalian punya banyak maksud di baliknya," sarkas Lilian.
Tidak sanggup lagi dengan keras kepala putrinya akhir-akhir ini, Levi menghela napas dan berniat untuk melangkah lebih dekat dengan putrinya yang juga sudah terbangun dari duduknya. Sampai kapan pun, Lilian akan tetap putrinya, putri kandungnya. Maka dengan sedikit menyingkirkan egonya, Levi mencoba untuk membujuk Lilian agar putrinya itu mampu mengahadapi dengan kepala dingin pula.
"Kau sungguh akan menolak putra dari keluarga Mattzhlias, Lilian?" tanya Levi selembut mungkin.
"Iya," singkat Lilian.
"Meski itu akan mengorbankan sumber keuangan keluarga kita?"
Lilian diam, ia belum sepenuhnya mengerti apa maksud ayahnya. Sebenarnya apa yang tidak ia ketahui. Apakah ini hanya akal-akalan sang ayah saja untuk membuat Lilian kembali menuruti permintaannya? Tidak, ayahnya tidak akan sejahat itu. Levi memang terobsesi oleh apa pun demi usahanya bisa membuahkan hasil, tetapi ia tidak pernah memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Itulah mengapa saat ini Lilian mulai goyah.
Apa benar jika ada satu atau mungkin beberapa hal yang tidak Lilian ketahui. Mungkin juga ini adalah salah satunya. Hanya saja ini terlalu mendadak dari segi waktu yang jelas-jelas lagi-lagi harus mengorbankan mimpi Lilian di saat mimpinya itu tengah berada di puncak.
Ayahnya sedang tidak berbohong, tidak pula memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, Lilian tau itu. Namun, apa tidak ada hal lain yang harus terlibat selain pernikahan? Sungguh, Lilian belum siap untuk yang satu itu.
"Maksud ayah?"
"Kakekmu ... ia meminta pada ayah agar kau menikah sebelum perusahaan akan kau ambil alih," jelas Levi.
Diam, Lilian hanya mampu diam. Ia tak berniat menjawab, bahkan untuk menolak pun Lilian tak sanggup. Degup jantungnya berdetak 'tak karuan menandakan bahwa mulai ada perasaan 'tak tenang yang melingkupinya.
"Lilian, kau tau bukan jika ayahmu tidak bisa lagi mengontrol banyak hal tentang perusahaan?" Kali ini Disa yang berbicara.
"Ayah tenang saja, aku akan mengatakan hal ini pada Sean secepatnya. Setelah kita menikah nanti—"
"Bukan Sean Lilian, tapi Malvin," ucap Disa memotong ucapan putrinya.
Hancur. Satu kata itu yang mampu menggambarkan bagaimana perasaan Lilian saat ini. Bukan ini yang Lilian mau, bukan ini juga yang ingin Lilian ungkapkan. Perjalanannya masih panjang, bukan berhenti di tengah karena sebuah pernikahan. Lilian juga ingin menikah, bohong jika Lilian menolak itu, tetapi bukan sekarang. Lilian harus melanjutkan kariernya sebelum menjadi seorang istri, dan yang paling penting, Lilian mau menikah dengan orang pilihannya.
"Demi kakakmu juga."