Chereads / Iblis Manis / Chapter 20 - Bab 21 Pemakan Segala

Chapter 20 - Bab 21 Pemakan Segala

Sore menjelang, Arka sedang membantu Ibu Rianti menyiangi sayuran di pintu samping yang berhadapan langsung dengan ladang kecil. Mereka tidak menyadari jika ada seseorang yang memandang dari kejauhan dengan jeli. Ia sangat menikmati kegiatan yang selama ini sama sekali tidak pernah ia lakukan saat berada di rumah. Ia tersenyum dalam hati, bahkan sang Mama pun tidak pernah ia bantu mengerjakan apapun dan ia akan menjadi

"Ada tamu rupanya?" sapa Pak Ahmad, Bapak Maira yang baru pulang dari ladang.

"Eh Bapak sudah pulang?" Bu Rianti segera bangkit dari posisinya duduk dan menyambut sang suami yang tengah tersenyum ringan. "Ini anak majikan Mbo Ratih dan Maira, Pak." Ia menatap Arka sekilas kemudian beralih ke Pak Ahmad.

"Loh ada apa kok sampai datang kesini, Bu?" bisik Pak Ahmad yang sedikit terkejut. "Apa anak kita buat kesalahan disana?" lanjutnya.

Mendengar hal itu, Arka beranjak. "Selamat sore, Pak, saya Arka." Ia mengulurkan tangan dengan sopan. Tak lupa mencium tangan dengan takzim.

"Maaf, Den. Tangan Bapak kotor," kata Pak Ahmad dengan tidak enak hati. Ia tidak bisa menerima sikap sopan Arka yang notabenenya adalah majikan dari anaknya.

"Nggak apa, Pak. Maaf kalau Arka kesini nggak izin dulu," jawab Arka dengan sopan. Ia berharap Maira segera datang untuk mencairkan suasana.

"Silakan duduk, Den." Bapak membenarkan letak kursi yang sebenarnya baik-baik saja.

Maira yang datang dari dapur menatap Bapaknya dan Arka secara bergantian. Ia menangkap sedikit keterkejutan di wajah lelaki itu yang coba ditutupi. "Bapak sudah datang. Duduk dulu, Pak, Mai buatin kopi." Ia pun berbalik badan untuk kembali ke dapur.

"Bapak mau mandi dulu," kata Pak Ahmad membuat Maira mengurungkan niatnya.

"Iya, Pak." Maira menatap Arka yang menghela napas lega. Ia tersenyum ke arah lelaki itu.

"Untung lo cepat datang," kata Arka sembari menarik Maira ke taman belakang.

"Emang kenapa?" Maira menatap Arka bingung.

"Lo nggak lihat muka Bapak?" kesal Arka karena Maira tidak menyadari apapun.

"Bapak biasa aja kali, Mas." Maira mendengus kesal.

"Biasa darimananya? Lo lihat dong dengan seksama." Arka menatap tajam pada Maira yang tampak masih santai saja. "Terus entar gue mesti ngomong apa sama Bapak?" sambungnya.

"Emang Bapak tadi ngomong apa?" Maira berbalik tanya.

"Nggak ada ngomong apa-apa. Belum maksudnya," kata Arka. Ia sedikit gugup langaran belum eprnah berhadapan dengan orangtua dari seorang wanita yang pernah di kencaninya dan sekarang ia harus melakukan hal itu di hadapan orngtua pembantu di rumahnya.

"Ya udah tunggu aja kalau gitu. Kan bapak juga belum ngomong apa-apa." Maira menghela napas lega.

"Tapi gue mesti gimana Maira? Kan gue kesini karena di suruh mama," kata Arka lagi berharap Maira mengerti maksud kekhawatirannya. "Gue laki-laki dewasa kalau lo lupa," tambahnya saat melihat wajah bingung Maira. "Datang ke rumah cewek terus nginap. Menurut lo apa yang Bapak pikir tentang gue?" pungkasnya.

Maira diam meresapi. Mencoba mempertimbangkan sesuatu. "Aduh! Bapak pasti habis ini manggil Mas Arka," katanya kemudian setelah menyadari maksud Arka. "Nanti Mai bantu ngomong sama Bapak ya, Mas." Ia menatap penuh perhatian pada lelaki dewasa di sampingnya itu.

Arka menghela napas. "Lo kata Bapak bakal ngasih lo ikut? Nggak mungkinlah. Bapak pasti maunya berdua aja sama gue," katanya dengan nada frustasi.

"Semoga Bapak ngomongnya sambil makan malam ya, Mas. Nanti Mai yang bantu jelasin biar nggak ada salah paham." Maira menghibur Arka. Ia tahu Arka takut jika ada salah paham setelah ini dan ia pun tidak pernah berharap hal itu akan terjadi.

Mereka akhirnya terdiam tanpa menyadari jika sejak tadi ada sepasang mata dan telinga yang mendengar pembicaraan mereka. Arka beberapa kali menghela napas membuat Maira menjadi tidak tega, berharap memang Bapaknya tidak salah paham dengan kedatangan Arka saat ini.

"Mai, ajak Arka masuk. Ditunggu Bapak," suara Ibu membuat wajah Arka dan Maira seketika menegang dan saling pandang.

"I-iya, Bu." Maira menatap Arka. Ia akan beranjak saat tangan Arka mencekal lengannya.

"Kita buat kesepakatan aja ya," kata Arka membuat Maira mengernyit bingung.

"Kesepakatan apa?" tanya Maira dengan masih bingung. Arka ini memang suka sekali membuat dirinya terlihat bodoh.

Arka berjalan lebih dulu meninggalkan Maira yang masih menunggu penjelasan maksud kesepakatan yang baru saj alelaki itu ucapkan. Ia melirik sekilas pada Maira yang hanya memandangnya dnegan wajah bingung.

"Silakan duduk, Den," Pak Ahmad yang sudah lebih dulu mempersilakan Arka untuk mengambil tempat. Rasanya sangat aneh ada anak majikan yang bersedia bertandang ke rumah ART-nya jika tidak ada kepentingan atau sesuatu yang penting.

"Panggil Arka saja, Pak." Arka menatap Maira yang mengambil duduk di samping ibunya. Padahal dia berharap gadis itu akan duduk di sebelahnya. Bahkan Maira berani menolaknya melalui kode yang sengaja dia buat sejak tadi.

"Kurang sopan rasanya, Den Arka ini kan anak majikan Maira yang berarti juga majikan untuk anak kami," jawab Pak Ahmad dengan tidak enak hati.

"Saya dan Maira berteman, Pak. Di rumah kami tidak ada bedanya anak majikan dan pekerja, semua sama. Bahkan makan pun kami satu meja," jelas Arka berharap bisa mencairkan suasana.

"Benar begitu?" Pak Ahmad bertanya dengan tidak pandangan tidak percaya.

"Iya, Pak. Bahkan Nyonya nggak ngasih Mai panggil Nyonya, maunya dipanggil Mama." Maira tersenyum tipis ke arah Arka.

"Kita makan saja dulu ya. Ngobrolnya di lanjut nanti," Bu Rianti yang sejak tadi diam kini mulai mengambil tempat. Ia mengambilkan makanan untuk suaminya kemudian piringnya sendiri di ikuti Maira dan Arka yang tidak ingin dilayani.

Suasana makan sangat hening dan hanya ada detingan sendok dan piring. Pak Ahmad memperhatikan cara makan Arka yang sangat halus dan rapi membuat mereka sungkan, apalagi menu yang di masak malam ini tentu tidak sesuai dengan selera makan anak kota itu.

"Maaf menu makanan di rumah kami sangat sederhana, Nak Arka." Bu Rianti memandang suaminya yang ikut mengangguk saat dirinya mengatakan hal itu.

"Bapak sama Ibu tenang aja, Mas Arka ini pemakan segala. Bahkan sering makan di warung pinggir jalan," Maira mengambil alih peran Arka untuk menjawab membuat pasangan paruh baya itu saling pandang. Ia tidak bisa membiarkan Arka di berondong banyak pertanyaan. Ia tidak enak hati pada lelaki yang selama ini banyak membantunya terutama untuk biaya kuliah. Bahkan selama ini ia masih berpikir keras bagaimana akan membalas keabaikan Arka suatu saat nanti.

"Maira pernah di jemput pulang kampus waktu hujan. Mas Arka ajak Mai makan di warung langganannya," terang Mai lagi saat melihat kedua orangtuanya seperti mencurigai sesuatu. "Mas Arka nggak pernah membedakan Mai dengan Dini, adiknya," sambungnya.

"Nak Arka punya adik?" tanya Pak Ahmad. Ada sedikit perasaan lega saat mengetahui jika Arka memiliki seorang adik perempuan. Setidaknya lelaki itu sudah paham bagaimana menjaga dan memahami sikap perempuan yang jauh lebih muda dari dirinya.

Dan disana mengalirlah cerita Arka tentang keluarganya yang selama ini banyak di segani orang. Ia tidak ingin orang memandang Papa dan Mamanya seperti orang yang sangat sombong dengan kekayaan yang dimiliki, padahal mereka sebenarnya bukan orang yang seperti itu.