Arka dan Maira kini berada di mobil untuk kembali ke kota. Mereka sudah menyelesaikan apa yang harus di selesaikan dan sesegera mungkin kembali karena perkuliahan Maira akan segera di mulai. Arka tidak ingin gadis itu tertinggal barang sebentar dalam perkuliahan dan berharap bisa lulus sesuai dengan jadwal yang seharusnya.
"Sorry kalau gue maksa. Lo harus lihat Bapak sama Ibu yang setiap hari umurnya berkurang bukan bertambah," tutur Arka bijak. "Kalau bukan lo yang bakal nyokong, siapa lagi?" lanjutnya berharap Maira tidak akan salah paham dengan maksudnya.
"Iya! Saya ngerti," ketus Maira. Sebenarnya ia masih ingin beberapa hari lagi tinggal di kampung, tapi itu hanya harapan karena semua yang diucapkan Arka yang entah apa membuat kedua orangtuanya memaksa agar ia kembali bersama Arka hari itu juga.
"Mai, gue nggak ada maksud jelek." Arka menghela napas saat melihat Maira memalingkan wajahnya. Ia tidak ingin peduli dengan kemarahan gadis itu, tapi mengingat wajah orangtua gadis itu membuatnya harus peduli. "Kita beli minum hangat-hangat dulu ya," katanya untuk mencairkan suasana.
Sampai di Rest Area, Arka menepikan mobil dan memilih menghampiri toko yang menjual berbagai minuman dan makanan ringan. Tadi mereka sudah makan dan sekarang belum saatnya makan siang, jadi lebih baik memilih yang ringan-ringan saja. "Lo mau apa?" tanyanya sembari menatap Maira yang diam saja. Ia tahu gadis itu kesal karena dipaksa turun. "Teh apa susu?" tawarnya sekali lagi. "Mai," suara Arka terdengar frustasi.
"Mas Arka aja yang beli, Mai masih kenyang." Gadis itu beranjak kembali ke mobil tanpa menunggu respon Arka. Ingin sekali ia mengeluarkan banyak kata untuk memaki Arka, tapi di urungkan. Ia tidak mungkin berlaku tidak sopan pada anak majikannya itu.
Arka kembali ke mobil setelah menerima pesanan dan membayarnya. Ia membuka pintu mobil sembari menatap Maira yang bersandar tanpa berniat untuk berteduh. Sampai di dalam mobil, ia menyerahkan makanan dan minuman yang sengaja dipesan untuk gadis itu. "Mai," lirihnya saat uluran tangannya tak bersambut.
"Saya udah bilang nggak mau tadi, kenapa masih beli juga?" tanya Maira ketus. Sebenanrya ia tersentuh dengan kebaikan hati Arka.
"Terserah lo." Arka melajukan mobilnya dalam diam. Ia sudah berusaha bersikap baik, tapi Maira seolah tutup mata dengan hal itu. Apapun yang akan terjadi setelah ini bukan lagi urusannya, toh ia hanya melakukan semua karena permintaan sang mama yang tidak mungkin ditolak.
Mobil pun mulai memasuki halaman kediaman Pangestu. Arka masih mengabaikan Maira yang diam saja. Ia bahkan turun lebih dulu dan meminta Bi Ratih untuk menurunkan tas gendong yang kemarin dibawa. Ia tidak bicara selain berpamitan kepada sang mama untuk masuk kamar ingin membersihkan diri.
"Maira, akhirnya kamu balik lagi," sapa Witari dengan senyum lebar dan menyambut Maira dengan dekapan hangatnya. "Gimana kabar kamu?" tanyanya sembari memperhatikan kaki gadis itu yang nampaknya sudah sembuh.
"Saya baik, Bu. Ibu apa kabar?" sahut Maira dengan pelan. Ia ingin segera masuk kamar, tapi rasanya tidak akan sopan jika mengabaikan majikan yang terlampau baik itu.
"Mama juga baik. Ya sudah, kamu masuk kamar dulu dan istirahat. Nanti sore baru kita ngobrol ya," kata Witari membiarkan Maira untuk ke kamar. Ia mulai merasa ada sesuatu yang terjadi antara gadis itu dengan putranya. Apakah mereka bertengkar? Wajah Arka sangat tidak bersahabat saat masuk rumah tadi, duganya. Ia menghela napas pelan ketika Maira sudah berlalu. "Kenapa, Bi?" tanyanya pada Bi Ratih.
"Kayaknya berantem, Nya. Mas Arka masem banget mukanya," aku Bi Ratih jujur.
"Kayaknya, Bi. Soalnya Arka langsung masuk kamar nggak ngomong apa-apa." Witari menatap sedih pintu kamar Arka yang tertutup rapat. Ia penasaran, tapi bertanya sekarang bukan waktu yang tepat. Ia sangat bersyukur karena Arka sudah menuruti permintaannya dengan menjemput Maira ke kampung halaman, jadi kali ini ia akan lebih bersikap baik pada putranya itu.
"Saya bawa baju Mas Arka dulu ya, Nya," Bi Ratih pamit dengan sopan dan berlalu.
Sementara itu, Arka di dalam kamar sedang memmbasahi tubuhnya dibawah guyuran air dingin mulai kepala hingga kakinya. Melihat respon Maira tadi jujur saja membuat harga dirinya jatuh. Seorang pembantu di rumahnya justru bisa mengabaikan dan berkata ketus padanya. "Sialan!" makinya entah pada siapa.
Selesai mandi, ia pun mengeluarkan ponsel dan mulai melihat grup chat yang sudah sangat ramai oleh ketiga sahabatnya.
E~Cha
Daren~
Wih Mas Arka jemput bidadarinya kwkwkwkwkwk
Adrian~
Dia nggak ngajak siapa-siapa?
Daren~
Kagaklah. Ntar lo ganggu
Adrian~
Gentlemen emang beda
Daren~
Emang lo
Adrian~
Kok lo yang nyolot sih?
Restu~
Berisik lo pada. Nggak tahu apa gue lagi sibuk bikin laporan
Adrian~
Jam kerja ngapa lo chattingan?
Daren~
Kerja ya kerja aja nggak usah gayaan ngintip HP
Restu~
Lo berdua salah minum obat kayaknya
Adrian~
Diem lo
Daren~
Diem lo @Restu
Arka~
Lo pada sumpah nggak ada mutunya
Adrian~
Eh! Mas Arka udah balik?
Daren~
Gimana, Ka?
Arka~
Apanya?
Restu~
Ketemu Camer wwkwkwkwk
Arka~
Gue cuma di suruh Mama
Daren~
Maira balik?
Adrian~
Pasti baliklah orang udah di jemput sama pangerannya
Restu~
Orangtuanya gimana?
Arka~
Mengetik
Dan pesan akhirnya di hentikan oleh Arka.
Daren~
Ngajak bercanda lo
Dan deretan chat itupun berakhir karena Arka mematikan ponselnya. Lelah yang ia rasakan semakin menjadi hingga memaksanya merebahkan tubuh di sofa dekat ranjang dengan pikiran menerawang awal mula kemarahan Maira padanya.
Tok tok tok
Pintu kamarnya diketuk pelan dari luar. Ia enggan menyahut dan membiarkan si pengetuk masuk begitu saja.
"Mas Arka, disuruh makan sama Ibu," suara Maira terdengar di arah belakang.
"Gue masih kenyang," sahut Arka tidak perlu repot menoleh pada sang empunya suara.
"Mau dibawa kesini aja?" tawar Maira lagi. Ada sedikit perasaan bersalah yang tidak bisa ia sembunyikan saat melihat Arka memasang wajah masam.
"Nggak usah," Jawab Arka pelan dan kemudian memilih menutup matanya. Ia lelah jujur saja. Lelah karena perjalanan jauh juga dengan dirinya sendiri.
"Mas," lirih Maira. Arka memang biasa berbicara ketus dengannya, tapi kali ini suara lelaki itu terdengar sangat berbeda ditelinganya.
"Gue mau istirahat, lo bisa keluar sekarang." Arka benar-benar memejamkan matanya. Ia tidak ingin mendengar suara Maira lagi saat ini.
"Mas, maafin saya soal yang tadi. Harusnya saya nggak marah sama Mas Arka yang udah baik banget sama saya," kata Maira sembari melangkah mendekati Arka yang sama sekali tidak mengalihkan pandangan padanya.
"Kalau lo udah selesai ngomong bisa keluar," kata Arka lagi. Ia tidak berbicara ketus kali ini karena sudah sangat mengantuk. Ia hanya ingin Maira pergi.
"Mas." Maira terisak membuat Arka menghela napas pelan kemudian memaksa matanya untuk kembali terbuka. "Maaf," kata Maira lagi masih dengan isakan pelan.
Arka bangkit dari posisinya dan memandang Maira sebentar. "Ntar kalau mau makan gue kabari ya. Gue ngantuk banget," katanya pelan. Rasa kesalnya sudah hilang tadi, yang ada hanya lelah dan mengantuk. Ia ingin istirahat sebentar.
"Tapi Mas Arka maafin Mai kan?" tanya Maira memastikan membuat Arka berdiri dan menghadap gadis itu.
"Iya. Udah sana makan dulu, gue mau istirahat bentar, ntar jam 8 bangunin ya," pinta Arka kemudian. Ia tidak tega melihat gadis itu menangis lebih lama, apalagi di kamarnya.