Arka dan ketiga sahabatnya tampak bercengkerama di ruang tengah sembari saling mengumpati. Maira yang tadi di pesan minuman kini datang dengan beberapa camilan. "Silakan minuman dan camilannya, Mas." Ia tersenyum kepada ketiga sahabat Arka secara bergantian.
"Hai, Maira!" sapa Restu dan Adrian bersamaan, sedangkan Daren hanya tersenyum sebentar.
"Gatel lo pada," maki Arka yang tidak suka dengan sikap kedua sahabatnya.
"Iri bilang, Bos!" Restu mencibir dengan cara yang sangat elegan. "Mai disini aja temenin kita ngobrol, Arka nggak asyik." Ia pun menarik Maira untuk duduk bersamanya.
Arka berdecak kesal sembari mengalihkan pandangan ke arah lain membuat Daren tersenyum mengejek. "Apa lo?"
"Lo kayak bocah, Ka." Adrian mendorong bahu Arka pelan. Ia meraih minuman yang ada di meja. "Mama mana?" tanyanya kemudian.
"Lagi mandi, Mas." Maira melirik Arka yang juga meliriknya dengan wajah kesal. "Mai permisi ke dapur ya, Mas, mau bantu Bi Ratih siapin makan malam," katanya kemudian. Ia merasa tidak enak hati saat Arka terus saja memberikan kode untuk menjauh.
"Yah! Padahal kita masih mau ngobrol sama kamu, Mai," Restu bersuara sangat manja membuat Adrian dan Daren menatapnya jijik. "Kan masih kangen," lanjutnya.
"Jangan ngelunjak lo. Maira masih banyak kerjaan," sembur Arka. Ia merasa kelakuan Restu kali ini berlebihan. "Kesini lo cari Maira atau gue?" tanyanya kemudian.
"Jangan ngambek begitu ah, Mas Arka, kan Adik jadi takut." Restu kembali bersuara sembari mengusap pelan dagu Arka yang rasanya sangat halus. "Wih, tumben rajin banget cukur kumis," kata sembari mengecek ulang dagu sahabatnya itu. Ia terkekeh pelan saat tangan Arka dengan kasar mendorong lengannya.
Suasana kembali riuh saat Adrian dan Restu kembali bersenda gurau dan mengejek Arka tanpa ampun. Mereka sangat suka saat melihat Arka kesal dan malu di saat bersamaan. Dan Arka akan selalu kalah jika Adrian dan Restu yang dibantu Daren melawannya.
"Wih rame banget." Dini datang sembari menatap bergantian kakak-kakak sakit jiwanya itu. "Mana oleh-oleh buat Dini?" Ia pun menengadahkan tangan.
Arka menatap Dini dengan sangat kesal. "Jangan halu deh, Dik."
Dan perbincangan selanjutnya lebih di dominasi ketiga sahabatnya dengan Dini. Gadis cantik itu bahkan tak sungkan meminta pendapat tentang kampus impiannya. Ia ingin ada banyak masukan yang akan dijadikan pertimbangan agar dirinya lebih mantap dengan pilihan karena kedua orangtuanya sama sekali tidak ingin ikut campur. Ia harus bisa memutuskan sendiri apa yang akan ia lakukan untuk masa depannya.
"Nanti kamu bisa tinggal di rumah Mas kalau emang mau kuliah disana, Dik." Daren menatap Arka seolah meminta persetujuan saat mengatakan hal itu. Ia tahu Arka tidak akan semudah itu mempercayai siapapun jika berkaitan dengan adik semata wayangnya ini. "Itupun kalau Masmu ini mengijinkan," sambungnya saat Arka tak kunjung berkomentar.
"Tergantung siapa yang bakal jagain dia," sahut Arka kemudian. Ia menatap lekat Daren juga Dini yang diam saja.
"Gue rasa Daren bisa dipercaya buat jaga Dini, toh dia juga orang baik-baik." Adrian berpikir bahwa ini adaah ide yang bagus jadi Dini tetap dalam pengawasan mereka hingga sudah saatnya benar-benar di lepas.
"Nanti kita bahas lagi soalnya Mama juga belum bilang setuju dia kuliah di kampus itu," kata Arka yang sebenarnya mulai berpikir untuk melimpahkan tanggungjawabnya pada sang sahabat, bukan tidak percaya tapi Arka memang tidak bisa melepas Dini begitu saja. Gadis itu adalah kepercayaan orangtuanya yang dititip apdanya, jadi Arka ingin selalu menjadi orang nomor satu yang tahu apapun yang adiknya itu alami.
"Kita bahas kalau waktunya udah dekat. Sekarang kamu harus belajar kalau emang mau masuk ke kampus itu. Kamu tahu masuk kesana nggak segampang dapat uang saku dari Arka," kata Daren tetap menyelipkan kalimat canda di akhir nasehatnya.
Semua terkekeh pelan mendengarnya tak terkecuali Arka. Ia juga setuju dengan pendapat Daren, selama ini mereka memang tahu bagaimana kualitas kampus yang diminati Dini karena merupakan alumni disana. Ia berharap Dini bisa lolos seleksi dan mengikuti jejaknya untuk membantu mengurus perusahaan. Arka tidak akan serakah dengan berkuasa sendiri.
Suasana kembali dengan sangat serius saat Dini sudah berpamit. Daren memastikan jika Arka bisa mempercayainya. Di bantu Adrian dan Restu, Arka akhirnya mengiyakan hal itu, tapi tetap akan membicarakan hal itu dengan kedua orangtuanya.
"Gimana sama Maira?" tanya Adrian kali ini mengalihkan pembicaraan yang mulai tegang.
"Dia ya masih kuliah dan tetap tinggal di rumah," jawab Arka santai. Ia memang tidak mengijinkan gadis itu untuk kost dengan alasan janjinya kepada Bapak Maira.
"Apa yang lo bilang sampai dia bisa batal kost sendiri?" Adrian kali ini mulai cerewet.
Arka terkekeh pelan. "Kepo!" katanya sembari mendorong Adrian menjauh.
"Cerita dong, Ka." Restu memihak pada atasannya. "Kalo lo nggak cerita gue bakal tanya langsung ke Maira ini," ancamnya kemudian. Ia memang sangat penasaran dan ingin tahu bagaimana usaha Arka untuk mempertahankan gadis itu untuk tetap tinggal di rumahnya.
"Berani lo ngancem doang." Arka menendang keras kaki Restu yang tidak bisa diam.
"Mas, sama Ibu di suruh ke ruang makan sekarang." Maira tiba-tiba muncul dari balik pintu dan membuat Arka juga Restu menoleh cepat.
"Mai, sini bentar deh." Restu beranjak dan menarik Maira untuk ikut masuk. "Boleh tanya-tanya nggak?" Restu mengerling nakal apda Arka.
"Apa, Mas?" jawab Maira ragu sembari memandang sekilas pada Arka.
"Apa dibilang sama Mas Arka biar kamu nggak minta pindah ke kost?" Restu sekali lagi melirik Arka yang sudah memandang Maira penuh ancaman.
"Nggak ada, Mas. Emang Mas Arka bilang apa?" Maira sekali lagi memandang Arka sekilas.
"Karena Mas Arka kamu ini nggak mau cerita, jadi aku tanya sama kamu," kata Restu sembari menghela napas.
"Nggak ada bilang apa, Mas. Karena Ibu juga nggak ngasih makanya Mai nggak jadi pindah." Arka menghela napas lega mendengar jawaban Maira ini.
"Masa sih? Yakin Mas Arka nggak ngancam kamu?" tanya Restu lagi dengan penuh curiga.
Maira menelan salivanya dengan susah payah. "Ng-gak ada, Mas." Ia kembali menatap Arka yang masih mengarahkan pandangan kepadanya. "Mai ke dapur dulu ya, Mas. Masih banyak kerjaan yang belum selesai," katanya untuk segera keluar dari zona tidak nyaman itu.
Mereka berdecak kesal ke arah Arka yang dirasa mengintmidasi saat Maira di wawancarai. Restu paling keras menentang sikap Arka karena menurutnya itu adalah tindakan pidana.
"Ayo! Mama pasti udah nunggu di meja makan," kata Arka demi membungkam ketiga sahabatnya itu. Ia yakin jika sekarang Daren dan Adrian pun akan menyerangnya jika bertahan lebih lama di ruangan itu.
"Jago juga lo mengalihkan pembicaraan. Gue kira lo bakal gentle," ejek Daren saat mereka berjalan sejajar menuju ruang makan. Ia tersenyum saat Arka hanya mendengus kesal.
"Wah rame lagi rumah kita. Kalian ini kalau nggak kangen Arka pasti nggak kesini kan? Kalian anggap Mama ini apa?" omel Witari saat keempat pria lajang itu sudah menempati kursi masing-masing.
"Maaf, Ma, Daren masih sering ke luar kota," kilah Daren dengan perasaan bersalah. Ia tahu Mama Arka memang selalu memanjakan mereka sejak jaman sekolah menengah dulu.
"Alasan saja," cibir Dini yang kini sudah duduk disamping Daren.