Sejak makan malam kemarin, Arka masih memikirkan tawaran Daren agar Dini tinggal bersamanya saat kuliah nanti. Alasan Daren cukup masuk akal, karena tidak mungkin membiarkan Dini tinggal sendiri tanpa pengawasan siapapun. Selama ini Dini selalu dalam pengawasannya juga ketiga sahabatnya yang ia tahu memang sangat menyayangi adik perempuannya itu. Mereka bahkan tidak akan membiarkan hal sekecil apapun akan mengganggu Dini diluaran sana. Ia menghela napas beberapa kali. Belakangan ada banyak hal yang mengganggu pikiran Arka, termasuk akan kedatangan kedua orangtua Maira. Ia sudah berjanji akan hal itu, dan aneh rasanya jika mereka datang sedangkan dirinya belum mengatakan apapun kepada kedua orangtuanya.
"Mikirin apa, Mas?" Witari mulai mengamati putranya sejak kemarin. Ia tahu ada yang Arka sembunyikan dan sebenarnya ia tidak ingin memaksa untuk bercerita.
Arka menoleh kemudian tersenyum. "Nggak ada, Ma. Mama kenapa sih?" ia justru berbalik tanya saat melihat sang Mama tampak khawatir.
"Dini sebentar lagi kuliah, Mas, Mama belum rela dia tinggal sendiri." Witari menghela napas usai mengatakan hal itu. "Mama khawatir, di rumah aja dia masih belum bisa ngurus diri sendiri." Mata Witari mulai terasa panas.
"Sebenarnya kemarin Daren kasih penawaran sama Arka, Ma. Tapi sampai hari ini Arka belum yakin karena belum ngomong sama Mama juga Papa," aku Arka kemudian. Ia menggenggam tangan Witari dengan erat.
"Apa, Mas?" Witari tampak sedikit berbinar mendengar hal itu. Ternyata tidak hanya dirinya yang khawatir perkara Dini.
"Dini bisa tinggal sama Daren saat kuliah, kebetulan kampus pilihan Dini emang deket sama rumahnya." Arka menjeda ucapannya menunggu respon sang Mama.
"Apa nggak ngerepotin? Daren itu lebih sibuk dari kamu," kata Witari mulai berpikir tentang kegiatan Daren selama ini. Bahkan untuk bertemu dengannya saja sulit, bagaimana mau membiarkan Dini tinggal bersamanya?
"Daren ke luar kota kalau mendesak aja, Ma, selebihnya disini. Arka bisa menjamin kalau dia bisa jaga Dini." Arka sekali lagi menatap wajah sang Mama yang masih menyiratkan keraguan.
"Mama bukan nggak percaya sama Daren, tapi Mama nggak mau ngerepotin," kata Witari mencoba menjelaskan pada Arka tentang maksudnya.
"Nanti kita bisa ngomong lagi sama Daren kalau Mama sudah minta pertimbangan Papa. Arka juga bakal kasih pengertian ke Dini soal ini, Ma." Arka meyakinkan sang Mama jika semua akan baik-baik saja dan tidak ada yang perlu membuatnya ragu dalam mengambil keputusan.
Witari mengangguk. "Mama nanti ngomong sama Papa dulu ya, Mas. Semoga Daren juga nggak kerepotan ngurus adikmu yang bandel itu," katanya sembari tersenyum kecil. Ia bisa membayangkan bagaimana repotnya Daren nanti yang harus mengurus Dini.
"Jangan bayangin gimana repotnya Daren ngurus Dini, Ma." Arka terkekeh pelan. Ia juga membayangkan hal yang sama.
"Permisi, Bu, Mas, di luar ada Mas Daren," suara Maira menginterupsi tawa Witari dan Arka yang sedang membayangkan wajah Daren melawan Dini.
"Daren?" beo Witari sembari menatap Arka penuh tanya.
"Arka temuin dulu ya, Ma," pamit Arka kemudian. Ia mengusap pelan kepala Maira. "Gimana kuliah lo?" tanyanya kemudian.
"Aman," sahut Maira sembari tersenyum kemudian berbelok ke dapur untuk menyiapkan cemilan dan minuman.
Arka tersenyum menyambut Daren yang sudah duduk di ruang tamu keluarganya. "Sendirian aja lo?" tanya Arka menatap sahabatnya itu sebelum memeluknya sekilas.
"Capek gue. Mau nginep ya?" Daren menatap Arka penuh permohonan, hal yang selama ini tidak pernah ia lihat.
"Tumben izin dulu?" tanya Arka sembari memberikan senyuman penuh cibiran.
"Kali aja lo mau ngusilin orang malam ini, biar gue nggak ganggu," sahut Daren membuat Arka menatapnya penuh permusuhan.
"Gue banyak kerjaan yang lebih penting," sahut Arka tidak terima. Ia melirik Maira yang datang membawa nampan.
"Makasih ya, Mai." Daren melirik Arka yang mengacuhkannya. "Gue mau nginep sini, boleh ya?" ia menatap Maira meminta persetujuan.
"Tanya Mas Arka aja, kan tuan rumahnya," sahut Maira ragu. Arka tidak bereaksi apapun.
"Kata Arka suruh izin sama calon istrinya," sahut Daren yang dengan cepat mendapat tendangan di kaki. Ia pun meringis pelan disertai kekehan ringan.
"Loh Daren." Witari segera mendekati anak lelaki keduanya itu dengan penuh tanya. "Tumben kesini malam-malam, mau nginep?" Ia nampak berbinar saat menanyakan hal itu.
"Aduh Mama cantik ini emang paling peka," puji Daren usai mencium punggung tangan wanita yang selama ini memberinya kasih sayang itu.
"Nginep aja. Banyak kamar kosong disini, sebelah kamar Maira juga kosong." Witari memandang satu persatu ruang kamar yang ada di rumahnya.
"Mana yang lain?" Arka masih melanjutkan pertanyaannya yang sebelumnya tertunda.
"Nggak tahu, gue telpon nggak ada yang angkat termasuk lo," kesal Daren mengingat tak satupun sahabatnya yang menerima panggilan maupun merespon pesannya.
"Tadi lagi ngobrol sama Mama di belakang." Arka menatap sang Mama meminta pembelaan. Ia tidak ingin di anggap sahabat yang hanya ingin saat senang saja.
"Iya, tadi Arka sama Mama lagi ngobrol soal tawaran kamu di belakang," Witari akhirnya ikut bersuara. "Ya sudah kalian lanjutin saja ngobrolnya, Mama mau ke belakang dulu." Ia pun beranjak dan mengajak serta Maira yang masih ada disana. Witari tahu ada sesuatu yang ingin Daren bicarakan hanya berdua dengan Arka, jadi ia hanya berusaha memberikan waktu.
Sampai di dapur, Witari segera meminta Maira untuk menambah porsi makanan karena ada Daren. Ia tidak ingin hari ini lelaki muda itu akan merasa tidak nyaman berada di rumahnya. Biar bagaimanapun Witari menyayangi Daren seperti menyayangi Arka dan Dini juga Maira.
"Ibu tenang aja, makanan aman untuk banyak orang." Maira tersenyum meyakinkan sembari mengatakan hal itu.
"Makasih ya, Mai." Witari mengusap lembut helaian rambut Maira yang terikat sempurna. "Ya sudah sana mandi dulu, nanti ikut makan sama-sama disini," lanjutnya sembari mendorong pelan bahu gadis cantik itu. Rasanya ia sudah tidak sabar melihat Arka menikahinya, ditambah dengan kedatangan putranya di sambut hangat oleh orangtua gadis itu. Witari ingin sekali melihat mereka segera berkunjung.
"Ma, Arka mau ke kamar sama Daren ya," pamit Arka menyambangi sang Mama ke dapur.
"Iya, nanti biar Mai yang panggil kalau sudah waktunya makan," sahut Witari yang masih sibuk memotong buah bersama Bi Ratih. Ia selalu mengambil bagian ini jika sedang tidak ada kegiatan atau membantu sang suami dengan beberapa berkas yang sengaja di bawa pulang.
Suasana sepi menyelubingi ruang tengah dan dapur saat anak-anak itu satu persatu pergi membuat Witari menghela napas. Ia membayangkan jika satu persatu anaknya akan menikah dan meninggalkan rumah, tidak akan ada lagi keceriaan di dalam rumahnya seperti dulu. "Sepi ya, Bi, rumahnya kalau nggak ada anak-anak," katanya pada Bi Ratih yang masih mencuci peralatan bekas memasak.
"Iya, Nya. Nanti kalau Non Dini sudah kuliah pasti rumah nggak ada suka buat lucu-lucuan," timpal Bi Ratih yang merasakan hal sama. Selama ini ia begitu dekat dengan kedua anak majikannya itu, bahkan ia yang membantu merawat Arka sejak kecil.
"Nanti Maira sama Arka kalau sudah nikah jangan dikasih pindah aja ya, Bi. Biar di rumah tetap ada anak-anak yang bisa kita lihat setiap hari walaupun mereka pasti juga sibuk dengan kehidupan pribadinya," kata Witari dengan sedikit senyuman di bibirnya.
"Mama ngomong apa sih?" Dini yang baru sampai dapur menimpali ucapan sang Mama.