"Maaf, Mas. Setelah saya pindah beberapa uang Mas akan saya kembalikan. Saya cicil sedikit demi sedikit," kata Maira memberanikan diri menatap Arka yang masih setia menatap ke depan.
Arka terkekeh pelan. "Lo kira biaya kuliah itu murah? Lo tahu berapa banyak duit yang udah gue habisin buat kuliahin lo disana?" katanya di sela kekehan yang tak bisa di hentikan seketika.
"Tahu. Ibu sudah kasih tahu Mai dari awal masuk disana. Uang muka, uang SPP dan SKS, semua sudah Ibu kasih tahu." Maira mengerti arti kekehan Arka barusan.
"Baguslah kalau begitu, kuliah yang benar dan jangan banyak pacaran," kata Arka kemudian beranjak. Ia mengambil tas kecil yang sebenarnya ingin ia berikan saat masih di kampung gadis itu. "Ini hadiah ulang tahun dari gue, sorry telat." Tangannya mengulurkan paperbag yang tak seberapa besar, tapi memiliki masa yang lumayan. Ia mengamati Maira yang membuka hadiah darinya dengan binar bahagia.
"Ini untuk apa?" Maira menatap ponsel baru pemberian Arka dengan bingung. Pasalnya, ponsel miliknya masih sangat bagus dan masih bisa digunakan dengan baik.
"Ya, simpen aja kalau belum butuh. Nanti bisa dipake kalau ponsel kamu rusak," sahut Witari yang ternyata sudah ada disana.
***
"Dih Mas Arka ini banyak gaya," cibir Dini yang menatap Arka sedang sibuk membaca koran di ruang tengah.
"Gue banyak gaya pakai duit sendiri," ketus Arka. Dini memang sangat suka menjahilinya untuk urusan apapun.
"Sombong amat. Tapi Dini penasaran deh." Dini mendekat pada kakaknya itu.
"Apaan?" Arka mengalihkan pandangan pada adik yang tak bisa diam meskipun sudah merebahkan kepala di pahanya.
"Kenapa Mba Mai mendadak batal pindah ya?" Dini menyingkirkan koran yang menghalangi wajahnya agar bisa melihat ekspresi sang kakak. Ia tahu malam sebelum pindah Maira dan Arka terlibat obrolan di kamar kakak lelakinya itu. Awalnya ia datang untuk menggoda sang kakak, namun harus urung karena disana ada Maira.
"Tanya sama orangnya lah," jawab Arka dengan santainya dan kembali membaca koran. Memang jaman sekarang sudah banyak digital, tapi ia tetap memilih berlangganan koran cetak dengan alasan membantu kaum pedagang kecil. "Lagian lo kepo banget sih sama urusan hidup orang," sambungnya saat Dini hendak bersuara.
"Mba Mai bilang di ancam," jawab Dini kembali menyingkirkan koran yang sedang di baca Arka.
"Ngapa lo liatin gue?" Arka berdecak kesal.
" Yang bisa ngelakuin itu cuma Mas Arka," tuduh Dini tanpa basa-basi.
"Lah kenapa jadi gue tersangkanya?" Arka berdecak bingung. Ia mendorong kepala Dini agar bangun.
"Kalian apa lagi sih?" Witari muncul dari arah dapur dengan membawa potongan buah. "Maira mana?" tanyanya kemudian.
"Mas Arka ini nggak mau ngaku kalau sudah maksa Mba Mai biar nggak pindah," adu Dini membuat Arka melotot tajam.
"Memang kamu yang maksa Maira?" Witari menanggapi dengan serius.
"Mana ada? Arka nggak tahu apa-apa," bantah Arka.
"Mama tanya sama Mai nanti. Awas kalau kamu bohong!" ancam Witari pada kedua putra-putrinya itu. Ia tidak akan segan untuk menghukum jika memang keduanya terbukti berbohong.
"Ya Allah, kenapa wanita di rumah ini pada zalim sama hamba?" kata Arka sembari menatap sang Mama juga Dini bergantian, kemudian pandangannya beralih pada sosok yang baru saja muncul.
"Mai juga zalim?" tanya Maira menunjuk dirinya sendiri dengan bingung.
"Ya lo wanita bukan?" tanya Arka balik dengan nada kesal yang dibuat-buat.
"Tapi Bibi nggak ya, Mas." Bi Ratih yang muncul sembari membawa beberapa gelas berisi minuman ikut menyahut sebelum Maira kembali membuka mulut membuat semua yang ada disana tertawa.
Suasana dilanjutkan dengan candaan yang sangat tidak mutu menurut Arka. Ia lebih senang membaca kembali korannya dibanding mengikuti rumpian kaum wanita termasuk Bi Ratih yang ternyata senang bergosip. Ia menghela napas mendengar bagaimana perempuan di rumahnya ini mempunyai sisi pada umumnya. Sesekali ia melirik Maira yang ternyata hanya sebagai penggembira saja, gadis itu akan menimpali sesekali jika memang diperlukan. Arka mulai bertanya melalui sorot matanya dan dipahami oleh Maira, gadis itu mengangkat bahunya pelan tanda ia pun tak mengerti. Arka memilih berlalu dan memberikan kode pada gadis itu untuk mengikutinya.
"Kenapa ikut ngrumpi kalau nggak tahu?" tanya Arka saat mereka sudah berada di halaman belakang. Ia duduk di kursi yang sedikit teduh di bawah pohon.
"Nggak enak kalau main pergi aja, Mas." Maira menghela napas. "Nggak sopan kalau kata Ibu," sambungnya saat menatap Arka yang hanya tersenyum.
"Mas Arka modus ih. Kenapa Mba Mainya di bawa kabur coba?" Dini memergoki sang kakak yang sedang berdua dengan calon kakak iparnya di taman belakang.
Arka berdecak kesal sedangkan Maira hanya memandang sekilas kemudian menyembunyikan wajahnya. "Ngomong apa sih bocil?" kata Arka sembari melirik Maira.
"Kita kan lagi Girl's time, kenapa Mba Mai di bawa kesini?" Dini mengulangi ucapannya sebelumnya.
"Dia aja nggak nyambung sama pembahasan kalian ya gue ajak kesini lah," bela Arka pada dirinya sendiri.
"Mana ada? Mas Arka aja ini yang kebanyakan modusnya," cibir Dini yang merasa tidak percaya dengan ucapan sang kakak. "Di ajakin mojok lagi anak perawan orang," imbuhnya membuat Arka mengangkat sandalnya tinggi-tinggi.
Dini tertawa terbahak dan memilih berlari ke dalam rumah. Jika terus berbicara bukan tidak mungkin Arka akan memotong bekal bulanannya dengan sangat kejam. Selama ini ia selalu mendapat tambahan dari kakaknya untuk keperluan jajan karena kuliah sudah kedua orangtuanya. Berbeda halnya dengan Maira, gadis itu mendapat bekal dari Mamanya sedangkan uang kuliah adalah tanggung jawab Arka. Entah rencana apa yang dibangun sang Mama yang jelas Dini percaya ini adalah jalan ninja sang Mama agar keduanya bisa bersama. Kadang ia pun heran kenapa sang mama ngotot menjodohkan Maira dengan Arka, padahal Arka bukanlah lelaki yang bisa berbicara lembut pada wanita selain sang Mama.
"Mai ke dalam ya, Mas." Maira seketika berdiri membuat Arka melihatnya.
"Besok kuliah pagi kan?" tanyanya yang juga mengikuti masuk ke dalam rumah. Ia tersenyum tipis saat gadis itu mengangguk. "Jangan pulang terlalu malam. Cuaca lagi nggak bagus," pesannya sebelum berjalan mendahului Maira. Ponselnya sejak tadi bergetar di saku celana dan mungkin ini akan menjadi bencana jika di biarkan lebih lama lagi.
"Halo," suara Arka sama sekali tidak menutupi kekesalan saat sambungan terhubung.
"Dimana?" sahut dari seberang sambungan, suaranya pun tak kalah kesal.
"Rumah." Arka membalas singkat tanpa niat.
"Okay." Dan sambungan terputus.
Arka ingin sekali mengumpat pada sahabatnya itu. Ia pikir ada hal penting apa hingga menelponnya berulang kali. Dengan perasaan kesal, Arka masuk kembali ke ruang tengah dan masih melihat sang Mama disana, tapi seorang diri. Dini mungkin sudah kembali ke kamar setelah menggodanya tadi, sedang Bi Ratih sudah pasti ke dapur menyiapkan makan malam.
Baru kakinya akan beranjak, bel rumah sudah berbunyi dengan dan sudah bisa ditebak siapa tamu kurang ajarnya kali ini. "Nggak usah biar gue aja yang buka pintu," katanya saat melihat Maira beranjak dari dapur ingin membuka pintu.
"Okay, Mas." Maira segera kembali ke dapur untuk melanjutkan tugasnya.
"Tamu sialan lo pada," gerutunya saat melihat cengiran tak berdosa ketiga sahabatnya di ambang pintu.
"Wuih masa begitu nyambut tamu, Mas?" gerutu Restu yang diangguki oleh Daren dan Adrian.
"Sejak kapan gue kawin sama Mba, lo?' ketus Arka sembari membuka lebar pintu rumahnya dan membiarkan tamu tak diundangnya masuk tanpa di persilakan.
"Kok sepi, Mas?" Restu kembali bersuara ketika tidak mendapati siapapun di ruang tamu.
"Mama di ruang tengah," kata Arka yang kemudian berdecak kesal karena ketiga sahabatnya itu sudah meninggalkannya. Ia pun memilih ke dapur. "Mai, tolong buatin minum buat mereka ya," pintanya yang diangguki oleh Maira.