Pagi ini Maira kembali berkuliah seperti sebelumnya. Ia bahkan berangkat sedikit siang karena ingin bertemu dengan Arka lebih dulu. Semalam lelaki itu meminta Bi Ratih yang mengambilkan makanan bukan dirinya. Ia merasa tidak enak dan masih berpikir bahwa lelaki itu masih marah padanya. Ia dengan setia berjaga di dapur menanti Arka yang bisa datang kapan saja untuk sarapan.
"Loh kamu belum berangkat, Mai?" tanya Witari yang heran karena perkuliahan pertama akan di mulai pukul 9 dan gadis itu masih di rumah padahal sudah hampir pukul 8.
"Mai nunggu Mas Arka, Bu." Maira melirik ke arah pintu kamar yang masih saja tertutup rapat membuat Witari mengikuti arah pandangannya.
"Mas Arka kan udah berangkat dari pagi. Dia bilang ada meeting jam 8 di kantor, dia juga nggak sarapan." Witari menghela napas pelan. Ia bisa tahu jika Arka mungkin sempat beradu argumen dengan Maira hingga kesal. Buktinya anaknya itu sangat menghindari gadis cantik yang ada di hadapannya itu bahkan sampai hari ini.
"Udah berangkat?" Maira membeo.
"Iya. Masmu emang nggak bilang?" Witari menatap Maira yang menggelengkan kepalanya pelan. "Mama boleh tanya sesuatu?" sambungnya. Ia tersenyum saat gadis di hadapannya itu mengangguk. "Kalian berantem kemarin waktu perjalanan pulang?" akhirnya rasa penasaran ibu dua anak itu tersalurkan.
"Nggak, Bu. Cuma Mai kesel karena Mas Arka maksa Mai harus ikut balik hari itu juga, padahal masih ada hal yang harus Mai kerjakan di kampung." Maira menghela napas pelan mengingat perdebatannya dengan Arka setelah selesai berbincang ringan dengan kedua orangtuanya.
Witari menghela napasnya pelan. Ia memang meminta Arka untuk membawa Maira kembali, tapi hal itu tidak berarti bahwa Arka harus memaksa. Ia ingin Arka membujuk Maira dengan cara yang benar. "Harusnya Mama nggak minta Arka yang jemput kamu. Nanti biar Mama yang ngomong sama Arka ya," katanya kemudian. Ia merasa tidak enak hati dengan Maira. "Orangtua kamu nggak keberatan dengan kedatangan Arka?" ia pun kembali bertanya. Rasa penasaran kembali membuncah mengingat putranya yang tidak pernah bertemu dengan orangtua seorang gadis sebelum hari kemarin.
"Nggak, Bu. Bapak dan Ibu saya menyambut Mas Arka seperti seharusnya. Mas Arka kan tamu di gubuk kami," jawab Maira merasa memang tidak ada yang aneh dengan pertemuan Arka dan kedua orangtuanya kemarin.
"Ya sudah nanti biar Mama yang ngomong sama Arka, sekarang kamu berangkat aja kuliah biar nggak telat." Witari mendorong pelan bahu gadis cantik itu karena waktu memang sudah menunjukkan pukul 8.
Maira dengan langkah gontai akhirnya meninggalkan kediaman keluarga Pangestu. Ia rela terlambat hanya untuk bertemu dengan Arka, namun ternyata lelaki itu sudah berangkat ke kantor lebih dulu. Ia sudah bisa mengira jika Arka memang menghindarinya. Ternyata maaf yang semalam memang belum sepenuhnya Arka berikan untuknya. Ia menghela napas pelan dan ingin sekali menghubungi lelaki itu, tapi di urungkan. Ia tidak ingin mengganggu Arka yang mungkin saja sedang sibuk saat ini.
***
Beberapa hari berlalu. Maira masih kesulitan untuk bertemu dengan Arka. Lelaki itu menjadi sangat jarang berada di rumah dan bahkan mengabaikan pesannya. Untuk melakukan panggilan, tentu saja Maira belum sanggup melakukannya. Ia beberapa kali juga bicara dengan Dini berharap gadis itu akan memberikan kabar tentang kakaknya, meskipun kemungkinannya kecil. Ingin bertanya pada Witari, tapi tidak ada keberanian.
"Kamu kenapa toh, Ndok? Bibi perhatiin melamun terus," tanya Bi Ratih yang tidak tega melihat Maira murung. "Kamu juga nggak teratur makannya dari kemarin, nanti sakit." Ia memandang gadis cantik itu dengan sedih.
"Mai nggak enak badan, Bi. Mau istirahat aja di kamar," sahut Maira kemudian beranjak. Ia hanya membawa the hangat yang sudah dibuat ke dalam kamar.
Bi Ratih hanya bisa menghela napas pelan mengingat bagaimana sikap keras kepala Maira. Ia memang tidak memiliki anak, tapi melihat Maira membuat keibuannya bangkit. Gadis baik itu juga sangat memperhatikan jika dirinya sedang sakit.
"Maira mana, Bi?" tanya Witari sejak kemarin jarang melihat gadis itu ikut makan bersama.
"Di kamar, Nya, lagi nggak enak badan," jawab Bi Ratih.
"Loh udah minum obat? Dari kemarin saya jarang lihat dia makan." Witari tentu saja terkejut karena Maira memang jarang sakit selama tinggal bersamanya.
"Baru mau saya buatkan bubur, Nya. Dia nggak mau makan nasi," terang Bi Ratih.
"Ya sudah buatkan saja dulu, Bi, kasihan dia kalau sampai sakit parah," kata Witari kemudian menoleh pada Arka yang ternyata ada di rumah hari ini. "Aduh! Anak mama ini kayaknya sibuk banget sampai jarang di rumah," gerutunya pelan.
"Apa sih, Ma? Arka kan lagi banyak kerjaan." Arka mengedarkan pandang karena merasa sepi.
"Mas Arka mau minum apa?" tanya Bi Ratih yang tiba-tiba muncul.
"Kopi seperti biasa ya, Bi." Arka tersenyum. Matanya kembali mengedar untuk mencari Maira yang memang beberapa hari tidak ia temui. "Kok sepi, Ma?" tanyanya kemudian.
"Papa masih mandi, kalau Dini belum bangun. Semenjak sekolah Daring anak itu jadi pemalas." Witari berdecak kesal mengingat putri bungsunya yang lebih sering bangun siang jika tidak ada pembelajaran virtual dari guru pengampu.
"Iya situasi begini emang paling enak rebahan di rumah, Ma." Arka terkekeh pelan saat sang mama meliriknya dengan sinis.
"Ya udah cepat sarapan kalau mau berangkat pagi. Mama mau nengokin Maira sebentar," kata Witari usai menyerahan sepiring nasi goreng pada Arka. "Ah ya, ada yang mau mama tanyain, kalian bertengkar selama perjalanan pulang waktu itu? Maira tiap hari nungguin kamu," imbuhnya sambil mengamati wajah putranya.
"Kenapa? Dia ngadu sama Mama?" Arka melihat sekilas wajah sang Mama yang nampak kesal padanya. "Arka nggak mau ribet lagi ngurusin soal dia. Dan nggak mau tahu apa-apa." Ia pun menyudahi sarapan yang baru beberapa suap masuk ke dalam mulutnya.
"Dia nggak ngadu sama Mama. Tapi semenjak hari itu dia murung dan jarang ikut makan. Sekarang dia sakit," tutur Witari berharap Arka mau bercerita sedikit saja.
"Nggak ada urusannya sama Arka, Ma. Lagian dia siapa sih sampai Arka harus capek-capek urusin?" Arka terlihat sedikit menahan diri agar tidak menaikan nada suaranya.
"Mama minta maaf kalau kamu udah direpotin karena jemput Maira ke kampung halamannya. Ya sudah lanjutin sarapan, Mama mau nengokin Maira dulu." Witari berlalu usai menghela napasnya pelan. Ia tidak mungkin bisa marah pada Arka yang sudah dipaksa olehnya waktu itu.
Arka terdiam mendengar ucapan sang Mama. Untuk pertama kalinya ia mendengar sang Mama mengatakan kalimat itu dengan sangat pelan dan menatapnya lekat. Apakah dirinya sudah sangat keterlaluan? Bathin Arka mulai tak tenang. Ia tidak ingin membuat sang Mama sedih karena sikapnya, tapi ia juga tidak suka jika sang Mama terus membahas tentang Maira saat bersama dirinya. Toh gadis itu memang bukan siapa-siapa. Ia pun melanjutkan langkah menuju teras untuk berangkat ke kantor. Niatnya sarapan sudah menguap entah kemana. Dan Maira sakit? Apalagi yang terjadi dengan gadis itu? Arka menghela napasnya sekali lagi.
"Mas Arka," Bi Ratih memanggil Arka yang hendak masuk ke dalam mobil. "Maaf kalau Maira ada salah, sekaligus merepotkan, Mas Arka," sambungnya sebelum Arka bersuara. "Nyonya sudah kasih ijin dia untuk tinggal di kontrakan dan ke rumah hanya bantu mencuci dan menyetrika saja," katanya lagi saat melihat Arka belum berniat menanggapi. "Maaf kalau Bibi nunda waktu Mas Arka ke kantor," pamungkasnya kemudian beranjak kembali ke dapur. Ia mengerti Arka tidak akan bersuara kali ini.