Arka pulang lebih awal karena memang tidak kembali ke kantor setelah meeting dengan klien di luar. Pekerjaan juga hanya tinggal mengecek beberapa berkas yang di kirim Sinta melalui emailnya. "Kok sepi banget nih rumah," gerutunya saat membuka pintu namun sunyi.
"Nyonya sama Non Dini lagi bantu Maira berkemas, Mas." Bi Ratih datang menyambut.
"Mau kemana?" tanya Arka dengan dahi berkerut.
"Pindahan ke kost, Mas. Kan nanti sore mau di DP dulu biar besok bisa langsung ditempati sekalian pelunasan pembayaran," terang Bi Ratih. Ia merasa sudah mengatakan hal itu pada Arka tadi pagi.
"Kok Arka nggak di ajak ngomong?" tanya Arka seolah tak terima dirinya tidak tahu menahu soal Maira dan keputusan sang Mama.
"Mas Arka sibuk jadi Nyonya yang ambil keputusan, Tuan juga sudah setuju," tutur Bi Ratih yang sangat hapal dengan sikap anak majikannya itu. "Mas Arka mau dibuatin minum apa?"
"Nggak usah, Bi. Arka mau lihat mereka dulu," kata Arka kemudian beranjak tanpa meletakkan tasnya terlebih dahulu, bahkan membuka jasnya saja tidak.
"Tumben Mas Arka udah pulang jam segini," kata Dini yang melihat sang kakak berdiri di ambang pintu kamar Maira.
"Pada ngapain?" tanya Arka pura-pura tidak tahu.
"Bantuin Mba Mai mau pindahan," jawab Dini lesu.
"Oh. Perlu bantuan nggak?" kata Arka santai.
"Nggak usah, Mas. Sudah mau selesai," kali ini Maira yang bersuara. Ia tidak lama memandang Arka karena tidak ingin lelaki itu melihat wajahnya yang pucat.
"Okay," jawab Arka kemudian beranjak menuju kamarnya. Ia menghela napas beberapa kali menyadari jika Maira memang sedang sakit, tapi yang tak ia mengerti adalah kenapa harus pindah hari ini? Tidak bisakah menunggu sampai ia sembuh? Tapi apa pedulinya?
"Mas Arka gitu banget deh. Maunya apa sih?" kesal Dini yang merasa kakaknya itu sangat tidak peka.
"Mama sebenarnya nggak mau kamu pindah lho, Mai. Tinggal disini saja kenapa sih?" Witari masih berusaha menahan calon menantunya itu agar tidak pergi dari kediamannya. Menurutnya, jika Maira tinggal jauh justru akan mempersulit dirinya yang ingin mendekatkan gadis itu dengan Arka.
"Iya. Lagian mba Mai ini ada-ada aja. Tugas terakhir kan bisa dikerjakan di rumah sambil makan camilan, wifi gratis lagi." Dini ikut menimpali sang Mama. Ia juga tak setuju karena tidak akan ada yang membantunya jika gadis itu pergi.
"Kan saya masih akan datang kesini pagi dan siang kalau kuliah memang senggang. Kalau tidak kesini saya bisa di marahi lagi sama Mas Arka," kata Maira yang merasa tidak enak hati.
Dini beranjak meninggalkan sang Mama bersama Maira menuju kamar Arka. Ia ingin melihat bagaimana reaksi sebenarnya sang kakak jika Maira benar-benar pergi dari rumah. "Mas," panggilnya tanpa mengetuk pintu.
"Kenapa?" Arka yang baru selesai mengenakan kaosnya menoleh sekilas.
"Mas Arka kok diam aja sih Mba Mai pergi?" Dini merebahkan tubuhnya di sofa dekat ranjang.
"Emangnya kenapa?" Arka kembali bertanya seolah tidak terjadi apa-apa.
"Mba Mai itu pergi karena nggak enak sama Mas tahu?" kata Dini. "Mas Arka sih marahnya lama, Mba Mai sampe sakit kan Mas Arka nggak tahu," lanjutnya.
Arka menghela napas mendengar penuturan adiknya itu. "Kenapa dia pindah nggak ngomong sama Mas dulu sih?" akhirnya kata-kata yang sejak tadi hanya bersarang di kepalanya kini terlontarkan juga.
"Emang Mas Arka peduli? Ngelihat saja Mas Arka nggak mau." Kali ini ada nada kesal yang terdengar di telinga Arka. "Mba Mai itu kurang apa sih, Mas? Masa cuma karena masalah kecil aja bisa sampe begini, cewek ngambekan kan memang sudah dari sononya." Dini benar-benar menikmati momen bisa berceloteh sesuka hati pada Arka.
"Tahu apa sih lo anak kecil?" kata Arka sembari mengusap puncak kepala adiknya dengan kasar. "Tahunya lo itu cuma ngambek kalau nggak di kasih uang jajan lebih," cibirnya kemudian.
"Habisnya punya abang pelitnya nauzubillah." Dini membalas dengan santun cibiran sang kakak.
"Gue pelit? Sejak kapan? Lo saja yang nggak tahu diri kalau minta duit. Lo kata cari duit gampang?" kesal Arka. Bagaimana bisa Dini mengatainnya seperti itu?
"Mas, duit seratus ribu itu nggak ada apa-apanya dibanding gaji Mas yang sebulan dua puluh jutaan. Dasar pelit mah pelit aja." Dini beranjak. "Mas Arka kalau sekarang lepasin Mba Mai sampai kapanpun nggak akan bisa dapetin dia lagi," imbuhnya dan segera menutup pintu kamar Arka dengan pelan. Ia berharap Arka segera menyadari jika Maira memang sengaja ingin menjauh dengan melakukan hal ini.
Sedang Arka yang ditinggalkan hanya bisa menghela napas pelan. Ia menyandarkan tubuhnya pada tembok yang berada di samping sofa tempat Dini rebahan. Ia tahu kemarahannya kemarin keterlaluan, tapi keputusan untuk tinggal di kost sepertinya tidak ada hubungan dengan dirinya. Ia pun beranjak untuk mengambil ponsel. Sudah beberapa hari mengabaikan isi chat gadis itu dan sekarang rasanya sudah cukup. Perlahan jemari Arka menggulir pesan yang di kirim Maira dalam sebuah aplikasi berwarna hijau muda dengan perasaan yang mendadak tidak enak. Ia beranjak namun langkahnya terhenti karena pintu kamar yang mendadak terbuka.
"Mas," sapa Maira. Ia kini berjalan mendekat karena Arka tidak memberikan respon apapun. "Mai mau bicara," sambungnya begitu berdiri tepat di hadapan Arka.
Arka menunjuk sofa dengan dagunya. Ia merasa tidak perlu repot-repot membuka mulutnya. Ia pun ikut duduk di sisi kosong lainnya. Pandangan lurus ke depan, ia tidak ingin menatap wajah pucat gadis di sampingnya itu.
"Maaf ya, Mas kalau Mai banyak nyusahin selama tinggal disini. Mai banyak bikin salah sama, Mas Arka." Maira melirik sekilas pada Arka yang nampak masih betah diam.
"Kenapa nggak ngomong sama gue kalau lo mau pindah?" akhirnya Arka bersuara kepada orang yang tepat. "Selama disini kan lo tanggung jawab gue, jadi kalau apa-apa harus ngomong dulu." Ia melirik sekilas pada Maira yang nampak menunduk.
"Mas Arka sibuk terus jadi saya nggak sempat ngomong secara langsung dan lagi, pesan saya juga Mas abaikan." Ia menghela napas di ujung kalimat. Membayangkan bagaimana ia menunggu lelaki di sampingnya itu untuk pulang agar bisa berbincang ringan sekaligus menghilangkan kecanggungan diantara mereka.
"Gue kerja bukan main." Entah mengapa hanya kata itu yang terlintas di pikiran Arka saat ini. Padahal ia ingin sekali mengatakan hal yang lain.
"Maaf, Mas. Setelah saya pindah beberapa uang Mas akan saya kembalikan. Saya cicil sedikit demi sedikit," kata Maira memberanikan diri menatap Arka yang masih setia menatap ke depan.
Arka terkekeh pelan. "Lo kira biaya kuliah itu murah? Lo tahu berapa banyak duit yang udah gue habisin buat kuliahin lo disana?" katanya di sela kekehan yang tak bisa di hentikan seketika.
"Tahu. Ibu sudah kasih tahu Mai dari awal masuk disana. Uang muka, uang SPP dan SKS, semua sudah Ibu kasih tahu." Maira mengerti arti kekehan Arka barusan.
"Baguslah kalau begitu, kuliah yang benar dan jangan banyak pacaran," kata Arka kemudian beranjak. Ia mengambil tas kecil yang sebenarnya ingin ia berikan saat masih di kampung gadis itu. "Ini hadiah ulang tahun dari gue, sorry telat." Tangannya mengulurkan paperbag yang tak seberapa besar, tapi memiliki masa yang lumayan. Ia mengamati Maira yang membuka hadiah darinya dengan binar bahagia.
"Ini untuk apa?"