Arka duduk termenung di kamar yang disediakan oleh keluarga Maira untuknya. Dan ia baru tahu jika hanya Maira yang tidak mengetahui kabar kedatangannya. Ia beranjak untuk mengintip suasana diluar dari jendela kamar yang terbuka. Ia bisa melihat ada Maira yang sedang membantu ibunya mengurusi tanaman sayur yang ada di belakang rumah. "Dasar cewek," keluhnya. Tanpa sadar sudut bibirnya terangkat.
Tampak disana Maira sedang berbincang dengan sang Ibu dan sesekali tertawa. Arka merindukan sang Mama, dengan cepat ia pun meraih ponsel yang sejak tadi ada di dalam saku celana. "Ma," sapa Arka.
"Udah sampai, Mas?" suara Witari terdengar sangat nyaring ditelinga Arka.
"Udah, Ma. Lagi apa?" tanya Arka. Ia ingin sekali melihat wajah sang Mama saat ini.
"Kamu kangen Mama?" ejek Witari yang tahu maksud putra sulungnya itu. "Baru juga sehari kamu nggak ketemu sama Mama, Mas." Ia tersenyum meskipun tak terlihat oleh Arka.
"Emang nggak boleh?" sewot Arka. Ia kesal jika sang mama sudah mulai meledeknya.
"Manja banget sih, Mas. Udah mau kawin juga," kali ini suara Dini yang terdengar.
"Rese lo, Bogel!" suara Arka terdengar kesal. Bagaimana bisa adiknya itu ikut meledeknya?
"Mas Arka emang nggak ada akhlaknya. Mana mba Mai?" Dini mengalihkan perhatian agar kakaknya itu tidak semakin memancing emosinya dan membuat waktunya terbuang sia-sia.
"Lagi di belakang sama Ibunya. Mau ngapain?" tanya Arka. Ia sebenarnya senang dengan sikap Dini yang begitu menyayangi Maira, meskipun gadis itu bukan saudara bagi keluarganya.
"Mau ngobrol sebentar, Mas." Dini merengek. Ia berharap kakaknya itu mau mengabulkannya.
"Tunggu bentar!" Arka akhirnya mengalah dan mencari Maira melalui pintu samping. "Mai," panggilnya sangat pelan. Ia bahkan ragu jika suaranya terdengar saat ini.
"Ya, Mas." Maira menoleh ketika mendengar namanya disebut. "Ada yang bisa dibantu?" tanyanya kemudian.
"Dini mau ngomong." Arka mengangsurkan ponselnya. Ia melirik sekilas pada Ibu Maira yang memperhatikan interaksi mereka.
"Oh!" Maira sedikit terkejut. "Halo, Dik." Maira tersenyum ketika tak hanya suara Dini yang terdengar disana. "Maira baik, Bu, Dini. Kalian apa kabar?" tanya Maira balik di ujung sambungan. "Iya, Bu." Putusnya setelah terdiam cukup lama.
Arka yang ada di depan Maira hanya bisa menatap dalam diam. Ia bahkan tidak bisa mendengar apa yang dibicarakan oleh Ibu dan Adiknya itu pada Maira. Ingin bertanya, tapi di urungkan karena tidak ingin dikatakan kepo. Ia menghela napas pelan saat tatapan Maira yang tajam menyapa penglihatannya. "Apa?" tanyanya tanpa suara.
Maira mengangsurkan kembali ponsel Arka. "Ibu nyuruh saya ikut pulang sama Mas Arka." katanya sembari menghela napas.
"Terus?"
"Nggak tahu. Saya kan udah berhenti kerja," kata Maira kesal. Arka ini sengaja mengingatkannya dengan kejadian sebelumnya atau bagaimana? "Lagian Mas Arka kenapa sih harus datang kesini?" lanjutnya.
"Kan gue di suruh Mama. Tanya aja sama Mama kenapa gue harus kesini," kata Arka santai meski sebenarnya takut jika Ibu Maira mendengarnya. Ia memang tidak pernah berbicara lembut pada Maira.
"Bikin ribet aja, Mas Arka." Maira meninggalkan Arka yang menatapnya dengan bingung. Ia mendengus kesal saat Arka menunjuk dirinya sendiri dengan tatapan tanpa dosa.
"Kenapa, Mai?" tanya Rianti yang melihat putrinya kesal.
"Nggak ada apa-apa, Bu." Miara memandang dalam pada Ibunya yang bisa saja curiga dengan sikapnya jika sedang bersama keluarga Arka meskipun hanya lewat sambungan telepon.
"Ibu lihat kamu dekat dengan keluarga Arka." Rianti menatap wajah putrinya sekilas.
"Mama sama Adiknya Mas Arka emang baik, Bu. Baik banget malah," cerita Maira. "Mereka nggak pernah bedain Maira, Andini yang Adiknya Mas Arka juga Mas Arka sendiri. Semua diperlakukan sama." Sambungnya sembari tersenyum tipis mengingat bagaimana dirinya diperlakukan di tengah keluarga majikannya itu. "Papanya Mas Arka juga baik. Orangnya suka melucu kalau lagi kumpul keluarga." Pungkasnya.
"Kamu senang kerja disana?" tanya Rianti yang kali ini sembari melirik keberadaan Arka yang ikut mengamati sayuran meski jaraknya mereka sangat jauh.
"Senang aja, Bu. Tapi, Mas Arka itu galak banget, apalagi kalau Mai pulang telat." Tanpa sadar Maira mengarahkan pandangannya pada Arka yang terlihat menyentuk beberapa kol yang belum dipetik.
"Dia marahin kamu?" Rianti semakin penasaran. Ia bisa melihat jika Arka tidak memperlakukan putrinya layaknya pembantu, tapi seperti lelaki melindungi seorang perempuan, instingnya sangat kuat.
"Iyalah. Kalau Mai pulang telat di marahi, nggak siapin baju sama sarapan di marahi. Mas Arka itu kayaknya punya penyakit darah tinggi, Bu." Maira terkekeh pelan saat tangan ibunya mendarat dipundaknya dengan sedikit keras. Ia tahu sang Ibu tidak pernah mengijinkannya mengatakan sesuatu yang dianggap tidak sopan.
"Jangan ngawur kamu," kata Rianti sembari ikut tersenyum. "Arka kelihatan baik kok kalau menurut Ibu. Dia sangat menyayangi keluarganya," sambungnya kemudian.
"Emang. Mas Arka paling nggak berani sama Mamanya," Maira membenarkan penilaian ibunya. "Mai juga pernah lihat Mas Arka cium kaki Ibu saat di rumah." Pandangannya kini tertuju pada Arka yang berjalan mendekat.
"Ada yang bisa Arka bantu, Bu?" sapa Arka begitu berada di dekat Rianti dan Maira.
"Nggak usah Nak Arka. Ibu sama Mai udah mau selesai," jawab Rianti yang sejujurnya sangat tidak nyaman karena harus memanggil Arka demikian. "Nak Arka suka makan apa? Nanti biar Ibu sama Maira yang masakin." Lanjutnya.
"Apa aja yang di masak Maira, Arka makan Bu." Arka tersenyum tipis. "Bapak biasanya pulang jam berapa, Bu?" ia pun menanyakan Bapak Maira yang sejak kedatangannya tak kunjung kembali ke rumah.
"Bapak biasanya kembali jam makan siang, Nak Arka. Kalau tidak kembali berarti Bapak sudah ada yang kasih makan di ladang," sahut Rianti sembari terkekeh pelan. Ia sudah hapal dengan tabiat bapak Maira yang akan pulang saat jam makan siang dan membawa kopi setelahnya untuk bekal ke ladang sampai sore.
"Nggak di bawain makan ke ladang, Bu?" Arkas masih setia bertanya. Pasalnya, sang papa saja yang bisa pesan makanan lewat sekretaris selalu mengomel jika sang mama tidak datang membawakan makan siang.
"Ndak. Bapak ndak mau." Rianti tersenyum. Arka memang anak yang baik dan sangat perhatian pada orang lain. "Makasih ya, Nak Arka sudah mau membantu Ibu jaga Maira waktu masih di kota," ucapnya kemudian dengan tulus.
"Ibu bicara apa? Selama di kota dan tinggal di rumah kami, Maira adalah tanggungjawab saya sebagai anak sulung keluarga Pangestu. Mama akan pukul saya kalau sampai terjadi sesuatu sama Maira, apalagi kalau sampai lecet," tutur Arka panjang lebar membuat senyum Rianti terkembang semakin lebar.
"Ibu bersyukur Maira di kelilingi orang-orang baik seperti keluarga Nak Arka. Sekali lagi terimakasih," kata Rianti tak bisa mengatakan hal yang lain lagi.
"Ibu tenang aja. Maira aman selama di kota, selain itu adik saya juga sayang banget sama dia. Jadi tidak ada yang perlu Ibu khawatirkan," Arka menanggapi dengan bijak. Ia bisa melihat kebahagiaan yang terpancar dari mata bening dan indah milik Rianti yang sama persis dengan milik Maira. "Maira juga tipe yang mandiri, jadi ibu benar-benar harus percaya sama kemampuan putri ibu ini," sambungnya sembari menatap Maira yang juga sedang menatapnya.
"Dih tumben Mas Arka manis banget," cibir Maira membuat Rianti terkejut.
"Aku ngomong jujur sama Ibu," elak Arka.
"Masa? Nggak lagi ngerayu Ibu biar kasih Mai ikut Mas Arka balik kota kan?" cibir Maira lagi. Ia melirik sang Ibu yang sedang menatapnya juga Arka bergantian dengan bingung.
"Namanya juga usaha, Mai." Arka menghela napas pelan saat tatapannya bertemu dengan tatapan Rianti.