Chereads / Iblis Manis / Chapter 11 - Bab 12 No Kepo!

Chapter 11 - Bab 12 No Kepo!

Arka turun dari lantai kamarnya dengan senyum semringah. Ia mengedarkan pandang berusaha menemukan orang yang sudah meracuninya.

"Senyumnya indah banget, Mas Arka," ejek Dini yang ternyata lebih dulu sampai di ruang makan.

"Iri bilang bos!" sahut Arka sinis.

"Dih! Iri apaan? Jatuh cinta ya?" Dini masih betah menggoda kakaknya itu.

"Mama sama Papa mana?" tanya Arka. Padahal, maksudnya bukan itu.

"Berangkat, nggak sempet sarapan," jelas Dini. "Mas Arka udah baikan sama Mba Mai?" imbuhnya yang masih penasaran dengan kelanjutan kisah tak jelas kakaknya dan calon kakak iparnya itu.

"No kepo!" Arka memandang sinis pada adik semata wayangnya itu.

"Tapi, Mba Mai udah berangkat ke kampus tadi. Kayaknya, sih sengaja ngehindarin Mas, deh." Iseng Dini memancing kakaknya itu. Ia penasaran dengan perubahan ekspresi lelaki urakan seperti Arka.

"Berangkat pagi? Bukannya hari ini dia ada kelas jam 11?" tanya Arka dengan heran. Ia hapal betul jadwal gadis itu karena sejak awal sudah memintanya. Alasannya ingin memantau kegiatan di luar agar tidak lupa waktu dan tanggung jawab.

"Kok, Mas Arka tahu?" Dini memicingkan matanya.

"Emang kenapa? Kita kan majikannya dia, wajarlah kalau tahu jadwal dia di luar. Biar nggak keluyuran," kata Arka, mencoba mengatakan hal rasional pada adiknya itu agar tidak mencurigainya.

"Dih! Mas mah nyari untung. Mama sama Papa aja nggak segitunya," cemooh Dini sambil terkekeh pelan.

"Berisik lo bocah!" kesal Arka. Ah, dia tambah kesal karena ternyata Maira memang masih marah padanya. "Gue berangkat dulu ya. Lo makan yang banyak biar nggak bogel," balas Arka kemudian.

"Jahat lo, Mas! Gue nggak bogel!" kesal Dini karena Arka selalu mengatainya demikian. Padahal, tingginya dan Arka hanya berbeda beberapa centimeter saja.

"Ngapain dia berangkat pagi-pagi? Gue mesti cari tahu," gumam Arka sembari berjalan menuju mobilnya. Kenapa paginya begitu buruk? Tak  jauh beda dengan sorenya kemarin, walaupun malam sudah sempat membaik. Ia pun menghela napas dan melarikan kuda besinya untuk berbaur dengan kuda besi lain yang ikut menambah keramaian jalanan. Macet. Entah apa yang terjadi karena sepagi ini, jalanan sudah ramai dan padat. Terlalu pagi untuk kepadatan lalu lintas. "Ada apa di depan, Pak?" tanya Arka pada seorang lelaki paruh baya yang nampak sedikit panik.

"Ada yang keserempet, Mas. Dia pingsan tapi, yang nyerempet kabur. Kasian udah setengah jam nggak ada yang berani nolong," jawab lelaki paruh baya itu dengan raut yang tak bisa dijelaskan.

"Sekarang dimana orang yang di serempet? Udah hubungi polisi?" tanya Arka lagi yang ikut geram dengan aksi warga yang nyatanya sejak tadi ada di kerumunan.

"Di bawa ke sisi jalan Mas. Udah ditolong tapi, bingung mau dibawa kemana. Puskesmas jauh," timpal lelaki paruh baya itu membuat Arka berdecak kesal.

"Bawa ke mobil saya bisa, Pak? Nanti saya yang tanggung jawab," pinta Arka. Ia masih punya cukup waktu untuk membantu orang pagi ini. Itung-itung buang sial.

Tampak lelaki paruh baya itu terkejut. "Baik, Mas," katanya kemudian. Ia pun beranjak dan membawa korban yang tadi pingsan ke mobil Arka dengan dibantu oleh beberapa orang.

"Maira!" pekik Arka mengenal jelas tubuh siapa yang sedang dibopong beberapa orang itu. Ia pun bergegas turun dan membantu. "Makasih, Pak atas bantuannya. Kebetulan saya kerabatnya," katanya lagi kemudian memberikan beberapa lembar 'mawar merah' kepada orang yang membantunya tadi. Ia segera membawa Maira ke rumah sakit terdekat untuk mendapat penanganan pertama. "Bodoh!" makinya pelan, entah pada siapa. Dengan raut wajah yang khawatir, Ia pun membawa Maira ke rumah sakit terdekat.

Sampai di rumah sakit, Arka segera membawa Maira ke UGD dan menyelesaikan administrasi. Ia kembali ke depan ruang UGD dengan cemas. Bagaimana jika sesuatu terjadi pada Maira?

Tak berselang lama dokter yang menangani Maira keluar dan menyambut Arka yang tanpa dipanggil langsung mendekat.

"Pasien syok berat. Benturan di kepala tidak seberapa karena beliau sempat menutupnya dengan tangan. Tapi, untuk memastikan silakan lakukan pemeriksaan," terang dokter kemudian undur diri setelah mendapat tanggapan dari Arka.

Sepeninggal dokter, Arka masuk ke ruang perawatan Maira sembari membawa sarapan yang ia beli di kantin rumah sakit. "Udah sadar?" tanyanya saat melihat Maira sudah membuka matanya.

"Kok, Mas Arka disini?" tanya Maira sembari menatap Arka dengan heran.

Arka berdecak kesal. "Sok-sokan lo berangkat pagi," katanya kemudian.

"Astaga! Mai ada kuis pagi, Mas," seru Maira sembari mencoba bangun membuat Arka bergerak cepat menahannya.

"Lo masih sakit. Gue udah telepon sama pihak kampus buat kasih izin beberapa hari," kata Arka, masih menahan Maira agar tidak duduk.

"Tapi, saya udah nggak apa-apa Mas. Sudah sehat," kata Maira disusul ringisan kecil.

"Nggak apa-apa? Ini apa?" ketus Arka sambil menekan pelan lutut Maira yang luka. "Ini lagi," tambahnya sembari menekan siku.

"Sakit, Mas," rintih Maira sembari menjauhkan sikunya.

Tanpa suara, Arka membuka bungkusan yang ia bawa dan menyiapkannya. "Buka mulut," perintahnya sembari menyodorkan nasi goreng pada Maira.

"Nasi goreng, Mas?" tanya Maira dengan heran.

"Iya. Nggak mau?" tanya Arka sama sekali tidak tersinggung, walaupun suaranya juga tidak lembut.

"Orang sakit biasanya dikasih bubur, Mas," kata Maira kesal. Arka ini terlalu apa?

"Emang lo sakit?" tanya Arka dengan nada mengejek. Ia tersenyum tipis saat melihat Maira melengos. "Yang sakit kan kaki sama tangan bukan mulut atau perut, jadi nggak apa, lah, makan nasi goreng," tambahnya, tetap menyodorkan sendok pada Maira.

Dengan terpaksa, Maira menerimanya. Ia lapar karena tadi pagi memang tidak sarapan. "Mas Arka kok bisa disini?" Ia pun mengulang pertanyaan yang sebelumnya belum terjawab.

"Nggak sekalian nanya kenapa lo disini?" tanya Arka balik dengan sebelah alis terangkat.

"Karena saya sakit. Kan Mas Arka nggak sakit," jawab Maira sembari mengunyah makanan. Ia memandang Arka yang sama sekali tidak repot untuk menyuapinya.

"Gue lagi nungguin orang yang ngaku sakit," jawab Arka. Tangannya kini terulur mengambil air yang ada di nakas. "Tapi, makannya rakus," sambungnya, sambil terkekeh pelan.

"Kan kata Mas Arka mulut saya nggak sakit. Jadi apa hubungannya?" suara Maira membuat Arka mengangkat kepala dan menatap wajah cantik yang sedikit pucat itu intens.

"Semerdeka lo aja," kata Arka, kemudian menyerahkan beberapa butir obat yang tadi sudah ditebusnya.

Maira berdecak kesal. "Harus minum obat?" tanyanya sembari menatap Arka penuh permohonan.

"Nggak kalo itu dalam mimpi lo," sinis Arka membuat Maira berdecak sekali lagi.

"Mas Arka nungguin orang sakit nggak ada manis-manisnya sama sekali," ketus Maira membuat Arka menghela napas.

"Gue bukan gula atau manisan, jadi jangan ngarep ketinggian. Jatuh amnesia," sahut Arka santai, mengabaikan Maira yang sudah sangat kesal padanya. "Gue perlu telepon rumah nggak nih? Tadi, nyokap nanyain lo di mana," lanjutnya.

"Bilang Mai ada tugas kelompok ya, Mas. Jangan bilang lagi di rumah sakit," rengek Maira.

"Terus, kalo lo nggak balik gimana gue bilang sama nyokap?" tanya Arka lagi.

"Nanti Mai yang izin sama Nyonya. Mas Arka nggak usah repot-repot," jawab Maira cepat membuat Arka menyadari sesuatu. "Lagian Mas Arka nggak ke kantor? Udah siang banget ini," imbuhnya.

"Tahukan udah kesiangan gue?" ketus Arka karena Mai tidak peka.  "Terus ngapain masih nanya ke kantor?" imbuhnya saat melihat gadis pucat itu mengangguk.

"Kan masih bisa, Mas. Nggak usah ngegas kalo di ajak ngomong," balas Maira kesal. Arka memang jarang bicara lembut padanya.

"Bawel. Sana istirahat aja dulu," kata Arka mengalihkan pandangan.

"Mas Arka mau kemana?" tanya Mai saat melihat Arka beranjak.