Arka bangun dari tidurnya dan mengernyit saat mendapati jarum jam masih menunjuk angka 2. Ini masih terlalu pagi untuk bangun, tapi tidak mungkin tidur lagi jika sudah mengingat Maira yang tak juga memberinya kabar. Seharusnya ia tadi memaksa Maira bicara bukannya membiarkan gadis itu mematikan sambungan telepon begitu saja. Sekarang tidak mudah untuk menghubunginya kembali, meskipun panggilanya terhubung. Sepertinya Maira memang sengaja menghindarinya untuk kali ini. Arka menghela napas pelan kemudian mengambil ponselnya yang sejak tadi diatas nakas. Masih belum ada kabar dari Maira membuatnya tanpa sadar berdecak kesal. Kemana sebenarnya gadis itu pergi?
"Telepon aja lagi," usul Restu yang diangguki oleh Daren.
"Kenapa jadi gue yang terkesan ngejar-ngejar dia?" Arka mengangkat sebelah alisnya.
"Kan emang lo yang bikin ulah. Gimana sih?" Restu menatap Arka kesal.
"Tapi kan nggak harus gue yang nelponin dia," balas Arka tidak terima.
"Terserah lo deh, gue cuma saran aja. Jangan sampe lo gali kuburan sendiri," kata Daren yang sudah tidak tahan melihat sikap Arka. "Lo tahu gimana bapernya cewek?" imbuhnya.
"Bukan urusan saya. Kalian ini sebenernya temen siapa?" Arka menatap tajam kedua temannya itu.
"Karena kita ini temen makanya kasih ide gitu, Ka." Daren membalas dengan sengit. "Lagian lo apain sih anak orang sampe minggat?" tambahnya sembari meninju pelan lengan Arka.
"Gue cuma ngambek karena dia bilang gue nggak ada benernya," bela Arka. Dia memang tidak melakukan apa-apa.
"Cih! Sensitif lo kayak pantat bayi," cibir Restu. Ia menendang kaki Arka yang selonjoran diatas kursi.
"Gue kesel, Restu. Kan gue udah nolongin dia, nungguin dia di rumah sakit seharian," keluh Arka.
"Kan biasanya lo juga suka iseng sama dia. Dia ngisengin lo balik kok lo sewot?" Daren menoyor kepala Arka keras kali ini.
"Kan gue kesel, pingin di hargai dikit." Arka masih membela diri.
"Berapa sih harga lo? Sini gue yang bayar." Daren dengan sombong mengeluarkan beberapa lembar mawar dari dalam dompetnya membuat Restu tertawa.
"Niat banget lo sumpah! Duit lo berapa sih?" ejek Arka ikut tertawa. Daren memang selalu sensitif dengan hal-hal seperti ini. "Gue nggak butuh duit. Gue butuh dia nelpon gue," lanjutnya.
"Dasar gede gengsi. Lo nggak mau nelpon ya terima aja nasib," kesal Daren akhirnya. "Kalau lo nggak mau ngejar dia biar gue aja," sambungnya.
"Enak aja lo!" Arka mendorong Daren kemudian beranjak ke balkon sembari membawa ponselnya. Ia tidak akan membiarkan ada orang lain yang mengganggu Maira. Ia pun menunggu dengan cemas teleponnya bersambut. "Angkat, Mai!" Rahang Arka mengeras karena teleponnya di abaikan.
"Halo," suara lembut Maira akhirnya memenuhi indera pendengaran Arka.
"Lo kemana aja sih dari tadi nggak ngabarin?" sembur Arka.
"Saya ke sawah, Den. Ada yang bisa dibantu?" kata Maira.
"Sawah? Lo lagi bercandain gue?" Arka kini berdiri.
"Kok bercanda? Saya kan pulang kampung," kata Maira menimpali.
"Kapan lo balik?" Arka to the point.
"Balik kemana?" Maira membeo.
"Balik ke rumah lah, emang kemana lagi?" Arka bersuara dengan lantang.
"Saya nggak balik lagi, Den." kata Maira pelan.
"Gue obrak-abrik kampung lo kalau sampe nggak balik," ancam Arka membuat Maira menahan tawa sekuat iman.
"Terserah saya dong," ketus Maira.
"Kalau gitu tunggu aja gue di kampung lo, ya!" Arka mematikan sambungan telepon begitu saja.
***
"Mas, hari ini jadi pergi jemput Maira?" tanya Witari.
"Siapa bilang?" tanya Arka santai. Sebenarnya ia kesal karena kabar ini sudah sampai ke mamanya, padahal ia tidak ingin ada yang tahu.
"Jadi apa nggak?" Witari masih bertahan dengan pertanyaannya. Ia ingin tahu.
"Mama nih bikin drama apalagi sih? Arka banyak kerjaan di kantor." Arka cemberut. Bagaimana berita ini cepat sekali tersebar?
"Ih beneran apa nggak sih? Kan Mama juga pingin tahu," kesal Witari karena Arka terlalu pandai berkelit.
"Apa sih, Ma? Siapa yang kasih kabar nggak jelas gitu?" Arka beranjak meninggalkan meja makan, jika terlalu lama berada disana tak yakin berita ini akan semakin melebar.
"Nggak asyik deh kamu, Ka." Witari melengos.
"Mama juga nggak asyik. Dari mana ide kayak gitu." Arka berlalu menuju mobilnya dengan masih menggerutu. Pasalnya, yang tahu hal itu hanya dirinya dan Maira, kalaupun ada yang lain adalah Restu dan Daren. Mereka tidak mungkin membocorkan hal itu.
Keesokan harinya,
Arka melihat cuaca sedikit mendung membuatnya malas untuk beranjak dari kasur. Hari minggu memang lebih enak jika digunakan untuk tidur. Ia ingin menenangkan diri dan mengambil waktu terbanyak untuk memejamkan mata. Niatnya untuk menjemput Maira pun diurungkan karna sang Papa mendadak keluar kota sehingga ia harus menggantikan untuk rapat besok. Tidak banyak waktu yang ia miliki, apalagi rumah Maira juga ada dipinggiran kota yang butuh waktu lama untuk sampai disana.
"Mas, nggak jadi pergi?" Dini masuk kamar kakaknya tanpa mengetuk pintu.
"Kemana?" tanya Arka dengan malas.
"Nyusul Mba Mai," jawab Dini ikut merebahkan tubuhnya di kasur king size kakaknya.
"Nggak sempet, Dik. Kan Papa nggak ada," jawab Arka malas.
"Emang harus banget Mas Arka yang gantiin?" Dini kembali bersuara.
"Emang ada yang lain?" Arka menaikan suaranya karena kesal. Ia masih ingin tidur, tapi kehadiran Dini merusak suasana.
Dini terkekeh pelan. "Mas Arka kok emosian banget sih?" Candanya kemudian. "Kalau emang nggak bisa bantuin Papa ya udah bilang aja," usulnya kemudian.
"Gampang banget lo ngomong, bocah! Lo kata kantor kaya tukang setrika baju." Arka menjitak kepala Dini yang posisinya lebih dekat. "Anak kecil kayak lo tuh tahunya ngomong inoncencent aja," sambungnya sembari beranjak. Ia membopong tubuh Dini dan menurunkannya di luar pintu kamarnya. "Ke luar lo dari kamar gue," pungkasnya sebelum menutup pintu.
"Mas Arka!" Dini memukul pintu kamar Arka dengan patung kayu yang ada di dekat tangga.
"Andini! Rusak pintu kamar gue," teriak Arka kesal.
"Bodo amat!" balas Dini dengan kesal, sedang sang mama hanya bisa menggelengkan kepala menyaksikan kakak beradik itu tidak pernah akur.
"Dini, kamu perempuan," tegur Witari kemudian saat melihat putrinya itu tak lupa menendang sekali lagi pintu kamar Arka untuk melampiaskan kekesalan.
"Mas Arka tuh nyebelin banget, Ma. Masa Dini dibopong taruh di lantai kan nggak lucu," sungut Dini pada Mamanya itu.
"Lagian pagi-pagi ngapain nggangguin Masmu?" Witari tersenyum kecil.
"Dini cuma nanya Mas Arka jadi apa nggak jemput Mba Mai," aku Dini akhirnya.
"Terus?"
"Malah Dini di marahin katanya berisik," adu Dini.
"Lagian ngapain kamu ngurusin itu? Biar aja Masmu yang atur semuanya," kata Witari. Ia memang ingin Arka pergi karena kemauannya sendiri, bukan atas paksaan orang lain apalagi dirinya.
"Mama nggak dukung Mas Arka jemput Mba Mai?" tanya Dini penasaran. Pasalnya, tumben sang Mama tidak ikut heboh karena calon mantu kesayangannya itu pergi.
"Bukan nggak dukung, tapi Masmu itu semakin di suruh malah semakin cuek. Biar aja dia yang mikir sendiri kalau di rumah nggak ada Maira gimana. Mama yakin dia juga nggak akan betah." Senyum Witari tersungging. Ia akan melakukan hal apapun agar Arka melakukan semua itu karena merasa tidak tahan sendiri. Selama ini ia hanya mengamati, tapis ebagai seorang Ibu tentu akan mudah mengetahui apa yang dirasakan oleh putranya.