"Loh Daren sama Restu tumben dateng barengan." Suara Witari membuat tawa Arka dan Restu menghilang. Begitupun wajah Daren yang kemudian berubah kaku.
***
Makan malam kali ini lebih ramai dibanding biasanya karena kehadiran Restu dan Daren. Mama Arka terlalu bersemangat hingga memasak kesukaan mereka juga. Meja makan penuh dengan menu yang Arka saja tidak bisa membayangkan sejak kapan ibunya akan memasak.
"Mumpung kalian disini jadi Mama masak banyak. Ini kesukaan kalian kan?" kata Witari sembari mendekatkan menu-menu itu pada Daren juga Restu.
Daren begitu tersentuh dengan perhatian Mama sahabatnya itu. Hatinya merasa hangat karena selama ini bahkan mamanya tidak pernah menanyakan apa yang ingin ia makan. "Makasih, Ma. Daren jadi keenakan," katanya kemudian.
"Eh! Kalian kan juga anak Mama, jadi wajar kalau Mama masak buat kamu juga Restu." Witari tersenyum hangat pada keduanya. "Sering-sering pulang kalau nggak sibuk, Mama nih udah tua." Imbuhnya.
"Mama ngomong apaan sih?" kali ini Arka yang menimpali.
"Mama jujur lho ini. Kalian itu harusnya udah bawa pulang pasangan trus kenalin sama Mama juga Papa. Iyakan Pa?" Witari meminta bantuan kepada suaminya.
"Iya biar Mama kalian ini nggak gangguin Papa terus biar bujukin Arka mau nikah." Dharma menghela napas setelah mengatakan hal itu.
"Nah kan emang Arka paling tua diantara kita, jadi biar Arka yang lebih dulu bawa calon," Restu menimpali dengan sangat semringah. Ia terkekeh pelan melihat Arka meliriknya sinis.
"Ngomong aja lo. Makan sana yang banyak biar tumbuh ke atas," cibir Arka membuat Daren ikut tertawa.
"Ketawa lo?" kesal Restu pada Daren. "Awas aja lo minta tolong sama gue," imbuhnya membuat Witari dan Dharma tertawa.
"Wih! Rame bener." Dini menatap dengan penuh tanya melihat dua sahabat kakaknya sudah ada di rumah dan ikut makan malam. "Mau nginep Kak?" tanyanya kemudian.
"Iya. Kangen makan malam bareng," jawab Restu dengan ramah. Memang diantara semua teman Arka hanya dia yang paling manusiawi.
"Kangen? Bilang aja lo nyari gratisan," ejek Daren membaut Arka terkekeh pelan sedangkan Restu memanyunkan bibirnya.
"Kalian ini sebenernya kumpulan cowok-cowok ganteng kurang belaian kalo menurut Adik mah." Dini ikut mencibir sebelum ada yang menimpali.
"Ya Allah mulut si adik," gerutu Witari yang tidak menyangka putrinya akan tertular dengan perilaku kakaknya.
"Satu produk jadi levelnya masih sama, Ma," timpal Dharma membuat tawa sekali lagi menggema di ruangan 5 x 5 meter itu.
Suasana terus berlanjut hingga akhirnya mereka memutuskan untuk menyantap makanan. Suasana yang membuat Daren mati-matian menahan diri untuk tidak terisak saat ini. Biar bagaimanapun ia tetap seorang anak yang masih membutuhkan keluarga, terutama ibunya. Selama ini ia hanya makan sendiri atau jika ingin ada teman ia akan meminta ART untuk makan bersama di meja makan keluarganya.
"Daren jangan sedih dong. Kan sekarang sudah ada teman makannya. Kamu bisa pulang kesini setiap hari, kalau bisa tinggal disini. Ada kamar kosong banyak," kata Witari yang naluri keibuannya tidak bisa di bohongi.
"Makasih ya, Ma." Daren tidak bisa mengatakan hal lain. Ia terlalu bahagia dan terharu dengan perhatian kedua orangtua Arka.
"Apa gue bilang? Kalian kesini tuh emak gue pasti bahagia," kata Arka menengahi. Ia tahu betul apa yang dirasakan sahabatnya itu. Ia tersenyum kecil melihat tatapan haru Daren juga Restu.
Suasana kembali ramai saat mereka kompak menjahili Dini yang paling muda usianya. Entah mengapa Restu dan Arka akan sangat kompak melakukannya sedangkan Daren hanya memperhatikan dan menyumbang tawa. Ia sangat terhibur melihat kekesalan Dini dan bagaimana gadis itu membalas ucapan menyakitkan Arka dan Restu dengan lancar. Mungkin karena usianya yang masih muda jadi ia sangat pandai berkilah sehingga Arka dan Restu kewalahan untuk melawan.
"Udah malem, tidur sana lo bogel," usir Arka pada Dini yang masih betah mengganggunya di kamar. Ia ingin mengamuk sebenarnya karena tidak memiliki waktu untuk memegang ponsel.
"Dih! Mas Arka selalu aja manggil gitu," kesal Dini pada kakaknya itu.
"Emang dasarnya lo bogel," kata Arka. Ia senang melihat wajah kesal adiknya itu.
"Tinggi lo berapa sih Dik?" tanya Restu sembari mengusap pelan puncak kepala Dini yang duduk lebih dekat dengannya.
"169, Mas. Tapi, Mas Arka nih selalu aja manggil bogel-bogel. Dia kira dia tinggi apa?" sungut Dini.
Restu dan Daren terkekeh pelan. "Lo masih kecil, Dik. Bukan waktunya begadang apalagi duduk sama laki-laki sampai tengah malam gini," kali ini Daren yang bicara. Sejak tadi ia hanya ingin mendengarkan saja.
"Kenapa emangnya? Kan sama kakak sendiri bukan orang lain," kilah Dini yang memang masih ingin berlama-lama dengan kakak-kakaknya itu. Menurutnya, para lelaki beranjak dewasa itu sangat hangat dan menyenangkan. Lebih bisa menjaganya dibanding yang seusia dengannya.
"Iya tahu. Besok masih ada waktu, kan kita libur. Sekarang istirahat dulu gih, nggak enak kalau mama sampai tahu." Daren masih dengan sabarnya menasehati Dini. Ia tidak memiliki adik, tapi begitu melihat Dini rasanya ia tidak bisa menolak pesona adik kecil Arka yang sangat manja itu. Keinginannya memiliki saudara sudah terpenuhi dengan kehadiran Arka, Restu dan Adrian yang kali ini juga ditambah dengan Dini. Gadis itu tidak kekanakan seperti yang dipikirkannya selama ini.
"Okay. Tapi besok ajak Adik jalan-jalan ya, Mas?" pinta Dini dengan penuh permohonan.
"Lihat besok ya. Soalnya takut nggak bisa menepati," kata Restu. Ia tak yakin bisa membawa Dini pergi karena sedang ingin mengejar sesuatu yang sudah lama ia inginkan. "Kalau besok nggak bisa, Mas janji lain hari akan diganti," sambungnya saat melihat Dini menghela napas dalam.
"Okay. Good night, Mas." Dini pun beranjak meninggalkan kamar kakaknya tanpa menunggu tanggapan. Ia ingin menghabiskan waktu libur dengan sang kakak, tapi nyatanya mereka punya urusan sendiri yang jauh lebih penting. Jika biasanya ada Maira, kini ia harus menghabiskan waktu sendiri. Calon kakak iparnya itu hingga kini bahkan belum memberi kabar satupun pada keluarganya. Tadi ia ingin bertanya pada Arka, tapi berhubung ada kakak-kakaknya yang lain, Dini mengurungkan niat.
"Kasar banget lo ngatain Dini bogel," omel Restu pada Arka yang nampak santai saja usai membuat adiknya kesal.
"Gue suka aja lihat muka juteknya itu," sahut Arka santai.
"Dia kan tersinggung, Ka." Kali ini Daren ikut menimpali.
"Kagak mungkin lah. Lo nggak tahu aja aslinya Dini kayak apa," kilah Arka yang tidak setuju dengan penilaian sahabatnya itu. Dini bukan lah gadis baperan.
"Adik gue tuh tomboy kayak Maira. Jadi buat dia tersinggung itu kemungkinannya sangat kecil," papar Arka yang sangat mengenal tabiat Dini sejak gadis itu menginjak bangku kuliah. Perilakunya berubah drastis, ditambah bergaul dengan Maira saban harinya.
"By the way, lo udah ada kabar dari Maira?" tanya Restu yang baru mengingat hal itu.
"Nggak ada. Yang penting gue udah kirim pesan ke dia," kata Arka terdengar lemah.
"Lagian lo sok kayak bocah sih. Kondisi Maira kan lagi sensi waktu itu, malah lo tambahin. Sekarang nyesel nggak dia pergi?" kata Daren yang sepenuhnya dibenarkan Arka sendiri juga Restu yang sempat mengatakan hal sama.
"Gue cari dia besok. Kalian tugas bawa Dini pergi ya, biar nggak ngerecokin gue. Tuh anak kalau hari libur resenya kebangetan," tutur Arka sebagai pamungkas karena selanjutnya mereka sudah sibuk dengan play station milik Arka yang selalu menjadi sasaran saat berkumpul.