"Setan lo emang!" maki Arka saat sudah bertemu dengan Daren juga Adrian. Ia kesal bukan main lantaran Daren hanya mengerjainya saat ini.
"Gue tuh kangen sama lo, Ka." Daren beranjak untuk memeluk sahabatnya itu. Ia terkekeh pelan saat Ara meninju lengannya pelan. "Sedih nggak sih cakep-cakep kek kita nih, tapi jomblo?" tanyanya kemudian dengan raut wajah yang dibuat memelas.
"Lo aja gue enggak," sahut Adrian segera. "Hidup gue nggak pernah ngenes kayak lo pada," imbuhnya dengan pongah.
"Nggak ngenes? Lo aja habis ditolak OB di kantor," cibir Restu. "Tampang sama kantong lo boleh, tapi nasib lo bener-bener mengenaskan," imbuhnya sembari tertawa mengejek.
"Sialan lo!" maki Adrian. "Untung temen kalo bukan udah gue tendang lo," katanya lagi.
"Lagi lo kacung ngadi-ngadi," timpal Daren yang setuju dengan ucapan Adrian.
"Sebenernya lo pada mau ngapain sih? Kesini cuma buat saling maki kayak gini?" dengus Arka. Ia benar-benar tidak senang dengan perjumpaan kali ini.
"Weitsss sabar, Mas Arka. Kita hari ini ada hal penting yang harus dibahas." Daren mengusap pelan pundak Arka. Ia tahu sahabatnya itu sedang kalut.
"Apaan?" Arka masih ketus.
"Besok libur, gue pingin jalan-jalan." Daren mengangkat kedua alisnya untuk memastikan bahwa sahabatnya itu mendengar apa yang baru saja ia ucapkan.
"Liburan? Lo kata dunia ini buat hiburan doang," kesal Arka. Dia kira ada sesuatu yang penting hingga harus berkumpul hari ini. "Gue nggak punya waktu, masih banyak yang mesti gue kerjain." Semua mata tertuju pada Arka dengan tatapan penuh selidik.
"Lo mau nyari Maira?" Adrian lebih peka kali ini. "Bukannya dia udah pulang kampung?" katanya lagi setelah melihat Arka mengangguk.
Daren tersenyum mengejek. "Lo kata nggak suka sama dia, tapi baru ditinggal sehari aja udah mau nyusul. Dasar bucin!"
"Lo lupa emak gue kayak apa?" Daren, Restu dan Adrian tertawa mendengar pertanyaan Arka. Tentu saja mereka masih ingat. "Lo pada ngineb entar malam di rumah gue biar inget," ajaknya kemudian.
"Sorry, Ka, gue lagi banyak kerjaan." Daren mengalihkan pandangan usai mengatakan hal itu.
"Emang setan lo. Giliran gue kena serangan mental aja lo pada kabur semua," maki Arka.
"Itu resiko jadi pembangkang, Ka. Kan lo yang nolak nikah sama Maira," balas Adrian. Ia pun enggan jika harus menginap di rumah Arka, bukan karena apa, tapi lebih karena sikap mama sahabatnya itu yang tidak bisa membedakan anak sendiri dengan anak orang lain. Mereka semua dipukul rata, jika harus mengomel pada Arka maka mereka semua pun akan terkena dampaknya. Mama Arka memang sesayang itu pada mereka semua.
"Durhaka lo sama emak gue. Gimana sayangnya emak gue sama lo pada, eh lo nya malah ngelunjak nggak pernah nengokin pulang," cibir Arka yang kali ini merasa menang.
"Gue ingetin gimana emak lo kalo lupa, Ka." Daren bergidik ngeri mengingat ulahnya yang membuat Arka harus menanggung perjodohan setelahnya. Mama Arka mengamuk padanya dan menguncinya di kamar sampai tidak bisa kerja 2 hari. Hukuman yang sama untuk Arka. Mereka makan bahkan harus menunggu Bibi membawakan ke kamar. Menyedihkan!
Kali ini Arka, Restu dan Adrian yang tertawa terbahak. Melihat wajah menyedihkan Daren saat itu memang menyenangkan. Untuk pertama kalinya di marahi dan di hukum membuat Daren trauma jika harus datang ke rumah Arka, pasalnya kedua orangtuanya tidak pernah melakukan hal itu meskipun ia bersalah.
Suasana kembali meriah saat Daren mengingat momen itu dan bercerita. Pengalaman yang tak pernah bisa ia lupakan karena merasa ada yang memperdulikan sekaligus hari tersial dalam hidupnya. Mama Arka memang menyayanginya sama seperti ibunya sendiri. Bedanya, Mama Arka memperlakukannya dengan hangat, sedangkan ibunya sendiri hanya tahu memberi uang saku. Waktu mereka jarang, berbeda dengan Mama Arka yang akan selalu ada di rumah saat ia dan yang lain datang.
Arka beberapa kali melihat ponsel berharap Maira menepati janji untuk mengubunginya nanti. Gadis itu bersedia mengangkat teleponnya, meskipun nampak masih enggan berbicara banyak. Sedikit banyak Arka sudah merasa lega.
Lama mereka berbincang dan menyantap makanan ringan hingga satu persatu harus kembali ke rumah. Dengan berat hati Daren mengijinkan sahabatnya itu untuk pulang, meskpin dirinya masih enggan. Jika kembali ke rumah, maka ia akan merasakan kesepian. Rumahnya hanya di isi dirinya dan beberapa ART yang biasa mengurus rumah dan keperluannya.
"Balik ke rumah gue aja. Restu juga mau kesana," kata Arka yang tahu perubahan ekspresi sahabatnya itu. Ia sebenarnya tidak setega itu pada Daren.
"Gue bayar dulu," kata Daren yang akhirnya setuju. Sudah lama ia tidak berjumpa dengan Mama Arka.
Perjalanan 30 menit terasa begitu lama bagi Arka yang sudah merasa lelah. Ia membiarkan Restu yang menyetir sementara dirinya terus mengamati ponsel menunggu telepon. Rasa gelisah mulai menghampiri ketika detik demi detik terlewat tanpa tanda. Ia tidak ingin Maira mengingkari janjinya. Bagaimanapun caranya ia harus bisa mendapatkan pesan dari wanita itu.
"Coba hubungi aja lagi daripada lo cemas gitu," usul Restu yang menyadari kegelisahan sahabatnya itu.
"Menurut lo dia bakal angkat telepon gue nggak?" bimbang Arka. Ia takut akan ditolak.
"Sejak kapan Arka takut ditolak?" cibir Restu yang bisa menangkap ketakutan Arka.
Arka berdecak kesal tanpa niat menjawab. Baginya kali ini lebih menegangkan dibanding harus bertemu dengan klien untuk mendapat kerjasama dengan nilai besar. Maira lebih menakutkan dibanding klien sang papa yang berasal dari Jepang nyatanya.
"Nggak cocok sama tampang selebor lo, tahu nggak?" cibir Restu lagi. "Maira nggak akan berani nolak panggilan lo selama lo nggak ada ngelakuin kesalahan sama dia," imbuhnya ingin menguatkan sahabatnya itu. Ia tidak tahu hal itu berguna atau tidak yang jelas keinginannya hanya satu, melihat Arka tenang dan kembali mengoceh seperti biasa.
"Gue yang udah bikin dia sedih, menurut lo kesalahan apa bukan?" Restu terbaak mendengar pertanyaan konyol Arka. "Gue nanya serius," kesalnya kemudian.
"Ya kali lo masih diterima kalo udah terbukti bikin dia nangis begi. Dimana-mana lo pasti udah ditendang," kekehnya membuat Arka kembali berdecak kesal. "Setan manapun nggak akan bisa maafin lo, Ka."
"Sialan lo! Malah bikin gue tambah gugup aja," maki Arka. Ia ingin sekali melempar Restu kejalanan saat ini.
"Lagi pertanyaan lo tuh nggak masuk akal," kata Restu. Ia benar-benar merasa Arka sangat menyedihkan sekaligus menggemaskan saat ini. "Gemes gue, Ka sama lo," sambungnya.
"Jangan becanda. Gue lagi serius ini," lirih Arka dengan nada sangat frustasi. Restu sama sekali tidak membantu.
"Lo suka sama dia?" tanya Restu. Ia memang melihat Arka yang begitu berbeda saat bersama Maira.
"Gue suka sama lo," bisik Arka ditelinga membuat Restu mengumpat dengan sangat keras.
Restu mengeluarkan semua penghuni kebun binatang untuk melampiaskan kekesalannya pada Arka yang tak berhenti tertawa hingga mereka sudah memasuki pelataran kediaman Arka. Bathinnya ingin sekali membunuh Arka dan membuang mayatnya dimana saja asal hatinya bahagia. Suasana indah yang sudah ia bangun sejak tadi buyar karena kegilaan Arka yang nyatanya akan tetap ada meskipun sedang dalam fase patah hati. Arka memang selalu berbeda. Sedih dan bahagianya sangat ambigu di pandang mata.
"Loh Daren sama Restu tumben dateng barengan." Suara Witari membuat tawa Arka dan Restu menghilang. Begitupun wajah Daren yang kemudian berubah kaku.