"Okay. Nanti kirimkan berkas untuk besok ke email saya," timpal Arka seraya berlalu. Ia yakin semua karyawan tahu bagaimana hubungannya dengan Sinta karena mereka memang terbilang dekat mengingat dulu saat SMA satu sekolah.
E-Ca
Daren~
Arka susul gue di resto
Arka~
Capek gue, pingin balik cepet
Daren~
Penting. @Restu @Adrian jangan sampe ngilang lo berdua ya
Arka menghela napas kasar. Apakah mereka tidak tahu bahwa dirinya sedang terkena serangan mental? Seenaknya memerintah tanpa peduli waktu dan keadaan. Ingin sekali Arka mengumpat dan itu akan dia lakukan nanti saat mereka bertemu. Lihat saja! Ancamnya dalam hati tentu saja.
Restu~
Ya Allah Ren, gue ini kacung. Kalo sampe gue main-main bisa dipenggal
Adrian~
Bacot Restu.. Eh jari, kan jari lo yang ngetik.
Arka~
Si Daren nih nggak tahu waktu emang. Nggak punya kerjaan kali
Restu~
Dia mah makan tidur emang udah tajir dari masih zigot
Daren~
Wkwkwkwkwkwkwk
Makanya sini lo kerja ama gue biar makmur. Apaan lo jadi kacung Adrian?
Adrian~
Bangke lo emang. Gue walaupun kere tahu diri ye
Arka~
Lo pada nggak bisa diem!
Restu~
Arka jemput gue di depan kantor lo ya. Gue lagi di ojek
Arka~
Lo ngapain kesono setan? Gue baru aja cabut
Restu~
Nyari lo lah demit. Sahabat nggak peka banget lo
Arka~
Trus gue harus puter balik? Kejauhan kampret. Sini aja lo, gue di depan supermarket
Restu~
Supermarket sekitar kantor lo banyak Arka. Yang mana?
Daren~
Tempat lo ditolak Sinta... Wkwkwkwkwkwk
Adrian~
Wah iya ya. Gue lupa sama momen menyedihkan si Restu
Restu~
Sahabat Luknut emang lo pada
Arka~
Buruan Restu. Gue udah kayak sopir grab nunggu penumpang anjir
Belum sempat lagi membalas pesan, kaca mobil Arka sudah diketuk. Restu tersenyum semringah disana. "Lo ngapain ke kantor gue sih?" heran Arka dengan kelakuan sahabatnya itu. Tempat mereka bertemu jelas lebih dekat dari kantor Adrian yang notabenenya adalah tempat kerjanya.
"Gue tadi tugas di luar, Ka. Niat awal mau lihat lo sekalian lihat Sinta gitu," jawab Restu santai.
"Lo nggak bisa move on?" Ini adalah keprihatinan yang diungkapkan dengan bentuk cibiran.
"Lo sama aja kayak yang lain. Mau lihat Sinta bukan berarti gue belum move on kan?" kesal Restu. Arka memang menjadi orang pertama yang paling menentang usahanya mengejar Sinta.
"Mana gue tahu." Arka melajukan mobilnya pelan. Sesungguhnya ia ingin meminta Restu yang membawa mobil, tapi di urungkan. "Kenapa sih si cacing kremi itu minta kumpul?" katanya lagi masih kesal dengan Daren.
"Soal lo kayaknya. Adrian bilang dia ketemu Maira tadi pagi di jalan, mana pincang lagi." Restu memandang Arka yang sempat menatap kearahnya. "Lo lagi berantem sama dia?" lanjutnya.
"Berantem? Gue sama Maira?" Beo Arka.
"Kayaknya Maira sedih banget gitu. Dia kecelakaan lo katanya yang nolong," terang Restu.
"Iya. Gue kemarin nggak ke kantor," jawab Arka lesu.
"Terus masalahnya apa? Dia bilang mau balik kampung," kata Restu lagi. Ia masih ingat benar cerita Daren tadi di telpon.
"Kenapa lo jadi interrogasi gue?" keluh Arka yang merasa sedang dalam masa tahanan. "Jangan-jangan Daren juga mau bahas soal ini makanya minta ketemu," analisanya mulai bermain.
"Setahu gue sih enggak, Ka. Lo tahu sendiri kan dia bukan tipe orang yang suka ikut campur urusan orang lain." Restu mengingat-ingat bagaimana perangai sahabatnya yang satu itu.
"Terus mau bahas apaan? Dia nggak tahu apa seharian jadwal gue padat. Sinta nggak kasih gue napas," keluh Arka. Hanya Restu yang bisa mendengarnya dengan baik di saat seperti ini.
"Ya temuin aja dulu. Ntar pulang gue setirin," tawar Restu yang tak tega melihat wajah lelah Arka. Ia tahu hari ini jadwal Arka memang meeting dan bertemu klien. Bahkan makan siangnya pun terhitung kilat.
"Gue males banget sebenarnya. Seharian gue kena mental," keluh Arka lagi membuat Restu terkekeh pelan.
"Nyokap lagi?" tanya Restu yang masih mempertahankan senyuman.
"Lo kira siapa lagi?" dengus Arka. "Lo tahu gimana sayangnya nyokap gue sama pembantu itu." Ia melampiaskan kekesalan kali ini. "Anaknya gue tapi yang di urusin tiap hari malah pembantu." Imbuhnya.
"Ya nyokap lo kan maunya emang Maira yang jadi mantu. Lo nggak bisa nolak kalau menurut gue sih," kata Restu.
"Kata siapa? Gue belum mau nyari bini, apalagi modelan kek dia. Lo lihat kan gimana ngelawannya sama gue?" balas Arka tak terima. "Lagian tipe ideal gue juga udah punya, Sinta contohnya." Ia pun terkekeh pelan setelah mengucapkan nama itu.
"Emang bangsat lo. Nggak bisa gue percaya sama mulut tipis lo itu," maki Restu, bagaimana bisa Arka menyebutkan nama itu tanpa beban di depannya?
Arka kembali terkekeh pelan. "Lo beneran masih ngarep sama dia? Buka mata lo Restu." Ia sungguh tak habis pikir. Apa yang ada di dalam isi kepala Restu?
"Nggak semudah itu, Ka. Lo tahu gimana bucinnya gue sama dia." Restu tersenyum getir. "Ngomong itu gampang. Ngejalaninnya yang berat," imbuhnya.
"Banyak cewek yang lebih baik dari dia di sekitar lo." Arka turut menghela napas pelan.
Suasana menjadi hening karena Restu memilih diam. Arka pun enggan mengajaknya bicara. Pikirannya pun sebenarnya masih belum tenang karena keberadaan Maira belum jelas. Ia pun masih belum percaya dengan pembicaraan mamanya tadi pagi. Ia yakin Maira tak sependek itu pikirannya.
"Lo nggak hubungi Maira?" tanya Restu. Ia tidak ingin terjebak keheningan dengan Arka hingga menjadi canggung.
"Tadi rencananya gue mau cari dia, tapi keburu si Cacing Kremi itu ngajak ketemu," keluh Arka dengan lesu.
"Sampe di resto lo telpon aja dulu biar gue yang samperin dia di dalam. Ambil waktu sebanyak mungkin yang lo butuhin," kata Restu denagn bijak. Arka memang tak salah orang jika membicarakan masalah serius dengan Restu.
"Thanks ya," ucap Arka tulus.
"Take your time, Brother. Sebenernya gue penasaran sama masalah kalian sih, tapi kayaknya bukan waktu yang tepat buat nanya," kata Restu yang tak menutupi keingintahuannya.
"Sebenernya tuh dia becandain gue, katanya gue nggak pernah ada benernya. Padahal, dia di rumah sakit gue yang nungguin seharian. Nggak tahu kenapa gue jadi kesel," aku Arka akhirnya. Dia tidak bisa berbohong kali ini. Rencana awalnya ingin menutupi, tapi tetap tidak bisa.
"Lagian sok-sokan lo kayak bocah," caci Restu akhirnya. Arka memang sangat berbeda jika sudah berhadapan dengan Maira. Ia menyadari hal itu sejak pertama kejadian menyenangkan yang dilakukan Daren waktu itu.
"Maunya gue sih dibujukin gitu," kata Arka sembari tersenyum malu.
"Terus?" Rasa penasaran Restu semakin menjadi.
"Ya dibujukin, tapi habis itu dia pergi. Nggak niat banget bujukin gue," lirih Arka. Ia pun menyesali sikapnya kemarin, Maira memang hanya bercanda.
"Lo kali yang kayak bocah makanya Maira jadi sedih. Awas aja lo kalo sampe dia nggak ketemu, bisa abis sama Daren." Kali ini Restu tidak main-main mengucapkan kalimat itu. Mereka memang sama-sama tahu, jika kelakuan memang tidak ada yang benar, tapi tidak ada istilah menyakiti atau melecehkan perempuan.
"Makanya kasih gue waktu buat telepon Maira. Gue juga nggak tenang kalo belum denger apa-apa dari dia sendiri. Nyokap sama Dini udah nyalahin gue aja dari pagi, awalnya gue kira drama doang." Arka sekali lagi menghela napas.