Chereads / Iblis Manis / Chapter 13 - Bab 14 Kan Gue Bosnya!

Chapter 13 - Bab 14 Kan Gue Bosnya!

Pagi ini Arka merasa ada yang berbeda. Suasana sepi dan tidak ada pergerakan Maira di kamar membuatnya menghela napas dan merasa sedikit lega. Jujur saja, sekarang ini belum ingin melihat wajah pucat gadis itu. Perasaan kesalnya masih menumpuk. Selesai mempersiapkan diri, ia pun turun menuju meja makan. Sedikit heran dengan pilihan setelan kerjanya hari ini.

"Den Arka mau sarapan apa?" sapa Bibi pagi itu.

"Roti aja sama kopi Bi," sahut Arka cepat. Ia tidak ingin bertemu tatap dengan Maira, jadi sebisa mungkin sarapan ini harus dipercepat.

"Buru-buru amat, Mas?" tanya Dini yang melihat sang kakak melahap sarapan dengan cepat.

"Ada meeting pagi," sahut Arka usai menelan roti di mulutnya.

"Oh! Hari ini lembur dong?" tanya Dini lagi.

"Sepertinya. Tumben kepo banget," selidik Arka yang merasa adiknya ini sedikit perhatian.

"Nggak. Iseng doang sih sebenernya," sahut Dini lagi dengan santai. "Mba Mai udah berangkat, Ma?" Ia pun beralih kepada sang mama yang sejak tadi diam.

"Udah. Tapi nggak mau dianter," jawab Witari lesu.

"Jadi?" Dini menggantungkan pertanyaannya.

"Sama ojek," lirih Witari sembari menghela napas pelan.

Suasana ruang makan menjadi hening saat kepala keluarga turut bergabung. Ia memandang wajah lesu yang menyambutnya pagi ini. "Maira udah pergi?" Dharma menanyakan hal yang sama dengan putri bungsunya.

"Udah, Pa. Sama ojek kata Mama," jawab Dini. Ia menghela napas.

"Emang kenapa kalau dia berangkat naik ojek? Bukannya biasa gitu?" tanya Arka dengan sedikit kesal karena keluarganya itu terlalu berlebihan kepada seorang pembantu.

"Emang masalah kamu sama Maira apa sih? Mama heran dengan sikap kekanakan kamu beberapa hari ini," kata Witari pelan. Ia tidak ingin Arka tersinggung dan berakhir mendiamkannya.

"Mama kan denger kemarin dia ngomong apa. Masa iya Mama masih nanya," sahut Arka.

"Mas Arka sih nyuekin Mba Mai kemarin. Dia udah susah payah jalan ke kamar Mas buat minta maaf, malah di usir." Dini memandang sinis pada kakaknya itu.

"Emang masalahnya apa?" Arka tidak mau kalah kali ini. Kenapa jadi dirinya yang di salahkan?

"Mas Arka nggak tahu kalau Mba Mai mengundurkan diri?" Sinis Dini.

"Biarin aja, kan itu hidupnya dia," kata Arka kemudian beranjak.

"Coba kamu hubungi dia. Kasian, kuliahnya berhenti dan menetap di kampung itu juga bukan hal mudah buat dia, Ka." Witari memandang putranya dengan penuh permohonan.

"Drama apalagi sih, Ma? Ini masih terlalu pagi kalau Mama mau ngerjain Arka." Dia mengabaikan sang mama dan sibuk dengan ponsel ditangan.

"Mama nggak bercanda. Kalau kamu nggak percaya bisa tanya sama Bibi," timpal Dharma yang sejak tadi hanya menjadi pendengar. "Soal keserempet dan berakhir kamu nggak kerja, Maira udah cerita sama Mama dan Papa." Ia masih menatap putranya yang pura-pura tidak peduli. "Padahal kamu bisa kabarin Papa kalau memang kondisinya urgent, Ka," imbuhnya sebagai pamungkas.

"Semua udah bereskan, Pa? Maira juga udah pulang dengan selamat walaupun agak lecet dikit." Arka menghela napas pelan. "Arka awalnya tetap mau berangkat ke kantor, tapi karena dia nggak bisa bangun tanpa bantuan akhirnya Arka nggak jadi. Arka udah ngabarin Sinta juga," kilahnya atas ucapan terakhir sang papa.

"Mas Arka nih, semalam Mba Mai kesana buat minta maaf malah di ketusin. Mba Mai sedih tahu," sambung Dini yang jauh dari topik. Ah! Dia benar-benar kesal dengan sang kakak.

"Udah Arka berangkat kerja dulu. Nggak ada waktu buat ngurusin anak orang," kata Arka.

"Den Arka," Bibi yang sedari tadi diam di dapur muncul dan memanggil Arka. "Maaf kalau Maira selalu ngelawan. Sebenarnya dia baik, tapi memang sedikit tomboy," katanya lagi.

"Bibi ngomong apa sih? Arka bingung kalian ini sebenarnya kenapa?" Arka menghela napas kasar. Semua orang di rumahnya memang sangat aneh hari ini.

"Den Arka nggak tahu kalau Maira sudah nggak kerja disini?" tanya Bibi dengan takut-takut. "Maira pulang kampung dan nggak balik lagi, Mas." Ia menatap sebentar anak majikannya itu kemudian menunduk.

"Bibi ikutan Mama bikin drama pagi-pagi. Sama sekali nggak lucu, Bi." Ia berdecak kesal.

"Drama-drama. Mas Arka tuh yang suka bikin drama. Masa bercandaan gitu doang ngambek," sahut Dini sembari terkekeh pelan. Ia merasa lucu melihat wajah sang kakak sekarang. "Mba Mai sedih karena bikin Mas Arka kesel sampe memutuskan pulang kampung aja. Mas nggak ngerasa bersalah?" lanjutnya yang mendapat sorotan mata tajam setajam silet dari Arka.

"Sumpah pagi ini kalian bikin drama yang nggak banget," ketus Arka kemudian beranjak tanpa mendengarkan panggilan siapapun. Ia kesal kenapa hari-harinya malah sial saat sudah dekat dengan gadis itu. Sepanjang perjalanan ke kantor ia pun menggerutu kesal karena drama pagi ini. Kenapa Maira memutuskan pulang kampung dan menyudahi kuliah hanya karena bertengkar kecil dengan dirinya? Alasan yang sangat tidak masuk akal. Ia pun mengeluarkan ponsel dan menepuk jidatnya dengan sangat keras, ponselnya mati. "Bego banget sih!" kesalnya pada diri sendiri. Ia pun segera menghubungkan ponselnya dengan kabel charge yang ada di mobil. "Pantes nggak ada bunyi-bunyian dari pagi," sambungnya.

Perjalanannya ke kantor pun tak semulus itu. Jalanan sudah macet, meskipun berangkat lebih awal. Entah ada apa lagi di depan sana ataukah Maira keserempet lagi? Mengingat Maira membuatnya kesal. Drama kali ini membuatnya menjadi bahan cibiran di rumah. Ia menghela napas pelan kemudian mengambil ponsel dan tasnya kemudian keluar mobil. Ia akan mencoba menghubungi Maira setelah rapat. Jadwalnya sangat padat hari ini karena kemarin sudah bolos. Entah apa kata Sinta nanti.

"Selamat pagi, Pak. Sudah sehat?" sapa Sinta seraya memberikan sindiran.

Arka berdecak kesal. "Jadwal gue hari ini apa aja?" tanyanya kemudian.

"Rapat jam 9, rapat jam 2 dan harus menemui klien jam 5 sore di restauran BSD City," jawab Sintatanpa basa-basi. "No izin ya, Ka." Ini bentuk ancaman yang sangat kentara. Ia tidak akan membiarkan dirinya menjadi bahan cacian klien seperti kemarin lagi.

"Nggak ada kosongnya? Gue mau nelpon orang bentar aja," kata Arka pelan.

"Sekarang kosong kan? Emang mau nelpon siapa sih?" kesal Sinta karena Arka masih mencoba menego jadwal yang sudah susah payah ia atur. "Gue nggak mau di maki klien kayak kemarin ya," peringatnya membuat Arka terkekeh pelan.

"Kok jadi lo yang merintah gue sih? Kan gue bosnya," kata Arka menimpali.

"Lo itu bos nggak tahu diri dan kurang ajar. Main batalin kegiatan seabrek seenak jidat. Lo kata enak jadi gue yang mesti di maki klien pagi-pagi. Sarapan aja belum gue." Sinta mengeluarkan unek-unek yang sejak kemarin ia simpan rapat.

"Mau gue pecat lo?" balas Arka yang tak terima. "Sepagian ini banyak banget drama dalam hidup jadi sebisa mungkin jangan lo tambahin," sambungnya berharap sekretarisnya itu paham.

"Sama nyokap?" Sinta mulai penasaran. Ia terkekeh pelan saat melihat Arka mengangguk. "Apa gue kata? Kalau aja lo cepet nikahin Maira nggak akan kejadian kaya gini," tuturnya santai, berbeda dengan raut wajahnya yang berubah masam.

"Nanti gue pikirin. Mana berkas gue?" tanya Arka kemudian. Ia tidak ingin membahas hal ini lagi.

"Kalau ada apa-apa segera panggil gue," kata Sinta sembari beranjak meninggalkan ruangan bosnya itu. Pekerjaannya pun masih banyak.