"Nanti Mai yang izin sama Nyonya. Mas Arka nggak usah repot-repot," jawab Maira cepat membuat Arka menyadari sesuatu. "Lagian Mas Arka nggak ke kantor? Udah siang banget ini," imbuhnya.
"Tahukan udah kesiangan gue?" ketus Arka karena Mai tidak peka. "Terus ngapain masih nanya ke kantor?" imbuhnya saat melihat gadis pucat itu mengangguk.
"Kan masih bisa, Mas. Nggak usah ngegas kalo di ajak ngomong," balas Maira kesal. Arka memang jarang bicara lembut padanya.
"Bawel. Sana istirahat aja dulu," kata Arka mengalihkan pandangan.
"Mas Arka mau kemana?" tanya Mai saat melihat Arka beranjak.
***
Sore hari, Arka dan Maira pulang bersama. Mereka sedikit risih dengan tatapan orang rumah.
"Arka kemana aja seharian?" Suara Dharma membuat Arka dan Maira berhenti melangkah.
"Arka ada urusan di luar Pa," jawab Arka sembari melirik Maira.
"Nggak ada jadwal kunjungan Ka. Kamu bohongin siapa?" kilah Dharma yang merasa anaknya sedang menyembunyikan sesuatu. Ia harus tahu kemana Arka pergi apalagi datang bersamaan dengan Maira yang sedikit pincang.
"Siapa yang bilang Arka ada kunjungan Pa?" kilah Arka. Ia masih enggan mengatakan hal yang sebenarnya karena Maira juga tidak mengizinkan.
"Sana istirahat dulu nanti makan malam Papa mau penjelasan," kata Dharma sembari meninggalkan Arka dan Maira yang masih tak bergeming.
"Saya ke kamar dulu, Mas," pamit Maira sembari meninggalkan Arka dengan langkah tertatih.
"Bisa jalan sendiri?" tanya Arka yang segera mengikuti. Ia masih khawatir.
"Loh, Mai kenapa kaki kamu?" Witari muncul dari dapur dengan raut khawatir.
"Tadi, keserempet mobil Nyonya," aku Maira sembari menatap Arka minta pertolongan.
"Kok bisa?" Witari berjalan mendekat. "Arka yang bantuin kamu?" tebaknya kemudian. Ia tidak perlu bertanya banyak karena melihat bahasa tubuh Arka saja sudah menjadi jawaban yang diinginkan.
"Biarin Mai ke kamar Ma. Kasian," kata Arka yang mendapat tatapan penuh makna dari sang mama.
"Ya udah kamu yang anter. Mama ambilin camilan ya," kata Witari kemudian berlalu menuju dapur.
Sementara Arka, kembali memapah Maira menuju kamarnya. Ia terus menggerutu karena sebelumnya tidak mengizinkan Maira untuk pulang, paling tidak menginap semalam di rumah sakit. "Nggak usah banyak jalan kalau nggak perlu,"katanya.
"Terus gimana bersih-bersihnya? Nggak usah mandi juga?" jawab Maira dengan kesal. Arka terlalu banyak bicara menurutnya.
"Mandilah. Muka butek gitu kalau nggak mandi sekali aja pasti buluk," sahut Arka tulus.
"Mas Arka nih mulutnya emang nggak pernah ada enaknya," sungut Maira.
Arka tersenyum. "Mau mulut gue enak nggak?" tanyanya sembari menatap Maira.
"Dasar omes," maki Maira membuat Arka tertawa. "Ternyata nggak cuma mulutnya tapi, otaknya juga udah nggak bener," lanjutnya yang masih disambut tawa Arka.
"Kamu nih. Udah tahu Maira sakit masih ada di godain," sambung Witari yang ternyata sejak tadi sudah berada di belakang keduanya tanpa di sadari.
"Tahu ini, Nya. Mas Arka nih nggak pernah ada benernya," timbrung Maira membuat Arka meliriknya sinis.
"Lo ya! Keserempet mobil, pingsan di jalan gue yang tolong sampe ke rumah sakit. Seharian gue nggak kerja masih aja lo bilang nggak pernah ada benernya?" kesal Arka. Apa yang dia lakukan seharian ini tidak di hargai. Ia pun melepaskan Maira begitu saja dan berlalu.
"Kenapa tuh anak? Tumben sensi," heran Witari. Arka biasanya akan memilih beradu mulut jika tersudutkan. Tapi kenapa sekarang justru marah dan pergi?
"Aduh. Mai pasti bikin Mas Arka marah lagi," sesal Maira, bukan itu maksudnya tadi. Ia juga sedikit heran karena Arka marah dan pergi begitu saja. Sejak kemarin ia memang sudah merasa ada yang tidak beres.
"Nggak apa! Arka mungkin lagi capek," kata Witari, mencoba menenangkan calon menantu yang di idamkannya itu. 'Kamu bisa cerita bagaimana kejadian awalnya?" tanyanya kemudian. Ia cukup penasaran karena hal ini bisa membuat Arka sampai izin dari kantor. Sesuatu yang sangat jarang terjadi.
"Mai berangkat lebih pagi karena ada kuis, Nya. Terus, di jalan Mai sudah jalan di pinggir kok, eh, masih keserempat juga. Nggak tahu siapa dan kemana yang nyerempet karena Mai pingsan," cerita Mai dengan polosnya. Ia menghela napas mengingat sudah sadar saat berada di rumah sakit dan herannya yang muncul justru Arka. Tidak mungkin lelaki itu yang menyerempetnya bukan? Karena saat ia berangkat Arka bahkan belum bangun.
"Arka seharian di rumah sakit sama kamu?" tanya Witari setelah mendengar cerita dari Maira. Ia tahu Arka tidak mungkin bolos kerja tanpa alasan. Dan ternyata!
"Iya, Nya. Maaf karena saya Mas Arka jadi nggak kerja," sesal Maira, berharap majikannya itu tidak akan marah padanya atau justru memberhentikannya saat ini juga.
Witari tersenyum, sepolos ini calon menantu yang ia pilih untuk putranya, meskipun hanya sebagai pekerja tapi, Maira tetap bersemangat menempuh pendidikan hingga kuliah. Bahkan tidak membebani keluarganya sama sekali. "Nggak apa, Mai. Mama cuma memastikan saja, soalnya Arka itu jarang izin kalau tidak ada urusan mendesak atau sesuatu yang memang penting," terangnya kemudian. Ia tersenyum dalam hati karena tahu bahwa Arka memang cukup perhatian pada Maira. Ia tahu anaknya itu tidak bisa menolak pesona dan keluguan Maira.
"Begitu ya, Nya? Terus, sekarang bagaimana, Nya? Mas Arka pasti kesel sama Mai." Maira menunduk sembari meremas kedua tangannya dengan cemas. Tidak biasanya Arka akan marah saat ia membalas ucapan lelaki itu seperti tadi. Setahunya, Arka memang bukan tipe orang yang pendendam.
"Kamu bersih-bersih saja dulu terus temui dia. Mama yakin dia begitu karena malu," timpal Witari yang sangat paham dengan karakter anaknya. "Dia mungkin merasa kamu tidak menghargai apa yang dia lakukan hari ini," sambungnya saat Maira masih menatapnya dengan sedih.
"Nanti Mai minta maaf sama Mas Arka ya, Nya. Sekarang Mai mau ganti baju dulu," pamit Mai yang akhirnya beranjak.
"Bisa sendiri?" tanya Witari yang sedikit khawatir. Pasalnya dari baju dan celana yang di pakai Maira sudah banyak robek.
"Bisa, Nya. Lukanya juga nggak terlalu parah." Maira tersenyum pada majikannya itu. Ia masih sedikit canggung jika mendengar Witari membahasaan dirinya Mama. Biar bagaimanapun Ia ingin menghargai kebaikan majikannya itu dan rasanya sangat lancang jika memanggil Mama. Padahal, Witari sendiri yang memintanya.
"Ya sudah kalau begitu, Mama kembali ke dapur ya. Kalau ada apa-apa kamu bisa minta tolong Arka atau Dini," kata Witari kemudian meninggalkan kamar Maira dan kembali ke dapur. Tak lupa ia meletakkan potongan buah dan air minum keatas nakas.
Maira mengangguk pelan kemudian beranjak menuju kamar mandi. Ia ingin mandi tapi, tadi dokter melarang bahkan Arka juga. Ia menghela napas pelan kala mengingat Arka. Lelaki itu menjadi sangat sensitif belakangan ini. Mengamuk padanya dengan alasan tidak jelas, juga memarahinya dengan tuduhan keluyuran bukan kuliah.
Selesai membersihkan diri, Maira beranjak menuju kamar Arka. Pintunya tertutup rapat, apakah Arka sedang tidur? Dengan gerakan pelan, Ia pun mengetuk pintu berharap ada penghuninya.