July 20xx
3 bulan kemudian...
Srett!
Sebuah tangan menjulur ke depan untuk menarik sepotong set gaun pesta, yang tengah berada di genggaman Andrea. 30 menit waktu yang dihabiskan oleh gadis muda itu, untuk menemukan sebuah gaun.
Namun, gaun tersebut harus hilang dari hadapannya. Ia segera mengangkat pandangannya dan menatap dengan garang kearah si pelaku. Rasanya tak rela melihat orang lain memiliki barang yang seharusnya menjadi miliknya.
"Aku lebih dulu menemukan dan mendapatkannya!" tekan Andrea sambil meraih gaunnya kembali.
"Hei, kembalikan gaunku!" seru Jasmine, ia terlihat tidak terima, ketika gaun yang sudah berada ditangannya direbut oleh Andrea.
Namun, Andrea tidak menggubris sedikitpun teriakkan wanita itu. Dengan acuh tak acuh ia berjalan ke meja kasir. Ia telah memastikan ukuran gaun tersebut, sesuai dengan bentuk dan ukuran tubuhnya.
"Tunggu! Serahkan gaun itu!" jerit Jasmine mencoba menghalangi langkah Andrea.
"Tidak mau! Ini gaunku! Aku yang menemukannya pertama kali! Minggir!" bentak Andrea merasa emosinya telah sampai ke ubun- ubun.
"Kau! Tapi kau belum membayarnya! Jadi aku masih bisa membelinya!" kekeh Jasmine melototi Andrea karena tidak mau mengalah.
"Ada apa sayang?" tanya seorang pria asing kepada wanita yang tengah berada di hadapan Andrea.
"Dia mencuri gaunku!" rengek wanita itu.
Wanita itu segera mengalungkan kedua lengannya dan bersandar dengan manja di bahu kekar kekasihnya. Berharap pria itu membantu mendapatkan kembali gaun yang sangat diinginkan olehnya.
Jasmine terisak pelan di hadapan pria tersebut. Sehingga mengundang rasa simpati di dalam hati siapa saja yang melihatnya. Dalam sekejap, hati pria itu melunak. Ia menatap Jasmine dengan lembut dan penuh kehangatan.
"Nona, izinkan saya memiliki gaun itu." pinta pria tersebut dengan sopan.
"Huft!" dengus Andrea sambil berjalan melewati pasangan tersebut dengan sinis.
"Sayang..." keluh Jasmine saat melihat Andrea tidak memperdulikan mereka.
"Nona, Tunggu! Saya mohon! Saya akan membayarnya tiga kali lipat." tandas pria itu sambil meraih lengan Andrea.
"Lepas!" tekan Andrea.
"Nona, saya ..."
"Kubilang lepas!" teriak Andrea dengan nyaring.
Teriakan Andrea kali ini menarik perhatian di sekelilingnya. Sehingga semua orang yang berada di dalam toko tersebut, menatap kearah gadis itu penuh dengan rasa penasaran. Cengkeraman tangan pria itu akhirnya terlepas. Karena merasa terkejut dengan suara nyaring Andrea.
Seorang pengawal pribadi segera masuk ke dalam butik, untuk memastikan keadaan tuannya. Ketika berjalan ia terlihat sedikit kesulitan, karena kedua tangan penuh dengan kantong belanjaan nona mudanya. Butiran keringat membasahi seluruh bagian dahinya. Seharian penuh Andrea mengajaknya mengitari seluruh toko yang berada di dalam mall.
"Nona, kau baik- baik saja?" tanya Theo dengan cemas.
"Hmm... Istirahatlah di sofa, Uncle." tunjuk Rea kearah sudut ruangan.
"Tapi..."
"Pergilah!" perintah Rea tegas sambil menatap tajam kearah mata pengawalnya.
"Ah! Baik, Nona." jawab Theo cepat,
Ia merasa aura yang terpancar dari tubuh nona mudanya sedikit menyeramkan. Theo segera membalikkan badan dan berjalan menuju sofa yang ditunjuk oleh nonanya. Ia sangat hapal dengan perubahan sikap serta kelakuan majikannya.
Theo memilih duduk dengan tenang sambil mengamati keadaan sekitar. Ia akan turun tangan apabila keadaan mulai terlihat tidak kondusif. Sejak kecil Andrea lebih suka menyelesaikan masalahnya sendiri.
"Kau menginginkan gaun ini?" tanya Andrea sambil menunjukkan satu set gaun yang dipegangnya, tidak lupa ia sematkan senyum manis kepada pria tersebut.
"Ah, ya... saya..."
Pria asing itu masih terlihat shock, ia tidak tahu harus mengatakan apa. Perubahan sikap Andrea membuat dirinya sedikit lebih waspada. Ia mencoba menelan ludah berulang kali untuk menetralisir rasa gugupnya.
Srettt! Crash!
Andrea mengangkat satu set gaun, yang berada di tangannya ke hadapan pria itu. Kedua tangannya menggenggam erat gaun tersebut. Kemudian ia menarik dengan keras ke arah yang berlawanan. Sehingga menciptakan robekan besar pada bagian tengah gaun. Bukan karena bahan gaun yang rapuh tetapi tenaga gadis itu terlalu luar biasa.
"Ah!" pekikan datang dari seluruh pelanggan dan pegawai toko.
Semua orang yang berada di sekitar, merasa terkejut hingga menahan nafas. Para staf yang bekerja di butik terguncang melihat perbuatan arogan Andrea. Gaun pesta limited edition harus berakhir secara mengenaskan. Mereka mengetahui gaun itu dibandrol dengan harga selangit.
Sudah tiga hari gaun itu berada di estalase toko. Namun, belum ada satupun pelanggan tetap butik mereka yang berani membelinya. Setelah melihat harganya yang terbilang tidak masuk akal.
"Sekarang kau bisa memilikinya! Tenang saja... Aku yang akan membayar!" ejek Andrea dengan sinis.
"Kau!!" jerit Jasmine dengan kesal.
Gaun tersebut dilemparkan oleh Andrea, tepat mengenai wajah cantik Jasmine. Kemudian ia berjalan dengan anggun menuju meja kasir. Tanpa memperhatikan ekspresi dua orang yang mengelap karena ulahnya. Andrea mengeluarkan sebuah kartu berwarna hitam dari dalam tas kesayangannya
Andrea meletakkan kartu hitam miliknya di atas meja. Tiba- tiba tubuh pramuniaga yang berada dibalik meja kasir terhuyung ke belakang. Wajah pelayan berubah menjadi pucat pasi setelah melihat dan mengenali kartu tersebut. Hanya orang tertentu yang dapat memiliki kartu hitam.
"Tolong... urus pembayaran gaunnya." pinta Andrea kepada pramuniaga yang bertugas di meja kasir.
"Ba... ba... ikk." jawab pramuniaga itu, tidak bisa menutupi rasa gugupnya.
"Bagaimana mungkin? Siapa dia?" tanya Jasmine penasaran.
Ia tidak percaya dengan penglihatannya. Rasa iri langsung menyelinap dalam benaknya. Jasmine menatap sosok Andrea dengan penuh kebencian. Tanpa disadari olehnya, kedua telapak tangan mengepal erat, sehingga tidak menyadari seluruh kukunya menusuk ke dalam kulit.
Sedangkan tangan pelayan kasir berkeringat dan gemetar ketika meraih kartu hitam tersebut. Ia berhati- hati supaya tidak membuat kartu itu lecet ataupun patah.
Karena dia tidak akan mampu mengganti, walau telah bekerja seumur hidup. Pramuniaga itu menyadari bahwa gadis di hadapannya, memiliki latar belakang yang tidak dapat diremehkan oleh siapapun.
"Sudah selesai... Silakan kartunya, Nona." ucap pramuniaga itu dengan sopan.
Gadis cantik itu hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban. Kemudian ia berjalan menuju pintu, berniat meninggalkan butik tersebut. Akan tetapi, langkahnya mendadak terhenti, ketika tepat berada di depan pintu.
"Sampai kapan kau mau duduk di sana, Uncle?" tanya Andrea tanpa menoleh.
"Ahh! Kau sudah selesai, Nona?" balas Theo sambil bangkit berdiri dari sofa.
"Huh!" dengus Andrea.
Ia kembali berjalan keluar dari butik ternama itu. Kejadian barusan membuat nafsu belanjanya hilang dalam sekejap. Karena tidak memiliki niat untuk melanjutkan, Andrea berjalan dengan acuh tak acuh menuju lift. Gadis itu ingin segera meninggalkan mall tersebut.
Disisi lain Theo tergopoh- gopoh mengikuti langkah nona mudanya. Andrea tidak memperdulikan kesulitan pengawal pribadinya. Karena suasana hatinya sedang memburuk.
"Tunggu Nona!" seru Theo, ketika melihat pintu lift akan segera menutup.
Tangan kanan gadis itu menjulur ke depan, menekan tombol yang dapat menunda pintu lift tertutup. Ia sedikit menggeser tubuh rampingnya, memberi ruang untuk pengawal pribadinya memasuki lemari besi tersebut.
"Semakin hari kecepatanmu semakin melambat, persis seperti Kakek tua renta, Uncle." ejek Andrea sambil menyeringai.
"Benarkah? Mungkin karena saya tidak pernah mendapatkan izin cuti darimu, Nona." keluh Theo dengan wajah sedih.
"Cih! Jangan harap!" sanggah Andrea.
"Oh, beruntungnya Kei... Sepertinya aku harus mencari istri." sambung Theo.
"Mana ada yang mau dengan Kakek tua renta sepertimu!" cibir Andrea dengan sinis.
"Bagaimana mereka mau bersamaku? Jika seorang gadis muda muncul di hadapan mereka, berpura- pura menjadi kekasihku!" timpal Theo enteng.
"Huft!"