Terpaksa itulah yang dirasakan Gelora saat ini. Duduk bersama Pragma di luar rooftop kamar Pragma, lebih tepatnya kamar mereka menurut Pragma. Setelah pertengkaran hebat tadi, mengenai si penelpon yang terkesan disembunyikan Gelora, masih saja menghantui pikiran Pragma. Tapi, pria itu hanya bungkam menikmati pemandangan lebih indah di depannya. Di mana Gelora sedang mengunyah makanan dengan anggun.
Gelora semakin tak suka akan tatapan Pragma, yang terkesan sangat berlebihan. Mau menegurnya, itu tidaklah mungkin karena ia terlalu malas untuk beradu argumen dengan Pragma. Wanita itu membuang tatapannya ke arah lain, sembari mengeratkan genggamannya pada mangkok yang ia pegang. Memasukkan makanan ke dalam mulutnya secara perlahan, jujur makanan tersebut adalah makanan kesukaannya, tapi rasa nikmat pada makanan itu tak lagi ia rasakan karena Pragma yang berada di sisinya. Sangat mengganggu, pikir Gelora terlalu muak.
"Permisi Tuan, Nyonya," sahut seseorang baru saja datang. Membungkukkan setengah badannya, pada Pragma dan Gelora.
"Ada apa?" tanya Pragma tanpa mengalihkan tatapannya.
"Nyonya besar ingin berbicara kepada Nyonya Gelora di kamarnya," beritahu pelayan yang bernama Suzie itu, terlihat jelas pada tanda pengenal di baju yang ia kenankan. Khusus untuk baju seorang pelayan. Memang pelayan wanita sudah diperbolehkan masuk ke dalam kamar Pragma, sejak Gelora sudah berada di dalamnya. Tapi khusus untuk pelayan, yang usianya terbilang berumur. Tidak diperkenankan pelayan muda masuk ke dalam, itu hanya untuk mengantisipasi terjadinya kecemburuan Gelora lagi, dan berakibat fatal pada Pragma karena Gelora meninggalnya. Itulah kira-kira sederet pemikiran Pragma.
"Katakan padanya, aku tidak mau." Bukan Pragma yang menjawab melainkan Gelora, wanita itu meletakkan mangkok makanannya dengan kasar.
Pragma yang terlalu peka, saat suasana hati Gelora kembali tidak baik-baik saja. Dia segera berujar dengan lembut untuk menenangkan istrinya itu. "Sayang jangan marah ya, kalau kamu tidak mau bertemu ibu tidak apa-apa. Tapi tolong, kamu harus menghabiskan makananmu, itu masih tersisa banyak. Mau aku suapi Sayang?"
"Aku tidak mau Pragma," sentak Gelora melirik Pragma.
"Aku mau pulang." Gelora menatap Pragma dengan mata berkaca-kaca.
Sebelum menanggapi ucapan Geloranya, Pragma lebih dulu mengusir pelayan itu, mengibaskan tangannya di udara sembari menatapnya tajam seakan mengatakan 'Gara-gara kamu dia kembali mengingat untuk pulang'
Bergidik ngeri dan merasa sangat ketakutan dirasakan oleh Suzie, saat netranya bertemu dengan Pragma. "Maafkan saya Tuan, jika kedatangan saya merusak suasana hati Nyonya. Tapi percayalah, saya hanya menjalan tugas yang diberikan. Bukan maksud apa-apa," jelasnya panjang lebar agar tak terjadi kesalah pahaman mengenai dirinya. Dia sangat takut Pragma, akan mengacungkan pisau buah yang berada di depannya.
"Kenapa Suzie?" tanya Pragma mendengus geli menyadari lirikan mata Suzie.
"Pergilah," sahut Gelora menyadari wajah tertekan Suzie.
Suzie mengembuskan napas lega saat Gelora menyuruhnya pergi dari sana, dirinya tak henti-hentinya mengucapkan rasa terima kasih, dan syukur pada Tuhan karena berhasil bebas dari amarah Pragma.
"Aku tahu kamu tidak nyaman dengan kedatangannya, Sayang. Begitupun dengan aku," ujar Pragma setelah Suzie pergi dari sana.
"Aku muak denganmu," pungkas Gelora menatap cahaya jingga yang menghiasi langit di ujung sana. Sebentar lagi matahari akan terbenam, berganti malam dan dia masih berada di kediaman Pragma.
Pragma diam mendengarkan, tapi di dalam pikirannya bergerilya ke sana kemari mencari cara agar Gelora tidak muak padanya.
"Hm, apa kamu mau pergi berbelanja Sayang?" tanya Pragma setelah seperkian detik diam. Dia sengaja mengalihkan pembicaraan, agar Gelora bisa betah bersamanya dengan mengajaknya berbelanja mungkin.
Gelora menoleh pada Pragma, "Kamu yakin ingin mengajakku berbelanja?"
Pragma mengernyitkan alisnya bingung untuk apa Gelora bertanya seperti itu. "Iya Sayang. Kenapa tidak?"
"Kalau keluar berbelanja bersamanya aku bisa kabur. Tapi, dengan kondisinya yang cukup memprihatikan. Kasihan juga," batin Gelora tanpa sadar menyentuh luka Pragma di lengannya. Dan Pragma menyukainya.
"Tapi," ujar Gelora ragu pada Pragma.
"Tapi apa Sayang?" tanya Pragma sedikit lelah karena kurang istirahat. Seharusnya ia masih dalam tahap pemulihan, tapi dia tidak mau lalai untuk menjaga Gelora tetap di sisinya.
"Kamu istirahat dulu. Sepertinya kamu terlihat lelah," pungkas Gelora langsung membuang muka. Tidak ingin menatap wajah Pragm lebih lama lagi.
Pragma tersenyum senang mendapatkan perhatian kecil dari Gelora. Jika memang cara seperti ini, dia mendapatkan perhatian dari Gelora. Dia rela melakukannya, termasuk tidak baik-baik saja di hadapan Gelora.
"Kalau begitu temani aku. Tolong dekap aku, seperti dulu lagi Sayang. Agar tidurku bertambah nyenyak," pintanya cepat membuat Gelora segera menggeleng.
"Aku tidak mau," tolaknya mentah-mentah.
Senyuman di wajah Pragma pudar, dia mengembuskan napas gusar dan kembali menatap Gelora dari samping. "Asal kamu tahu, aku selalu mengkonsumsi obat tidur agar bisa tertidur. Semenjak kepergianmu waktu itu."
Gelora cukup termanggu mendengarnya. Sedikit tidak percaya, kini ia menatap bola mata Pragma, mencoba mencari kebohongan di dalamnya, tetapi yang ia lihat hanya ada guratan sendu, gusar, menjadi satu.
Entah dengan terpaksa atau karena merasa kasihan, Gelora mengangguk. "Kita ganti perbanmu dulu. Setelah itu, aku menemanimu tidur."
"Seriously Babe?" tanya Pragma tidak percaya. Akhirnya setelah sekian lama, mendambakan pelukan hangat Gelora. Akhirnya bisa terwujud juga.
"Aku sangat bahagia Sayang," pekik Pragma melemparkan dirinya masuk ke dalam pelukan Gelora.
***
Sedangkan di dalam dapur Raeni sedang berkutat dengan masakannya, dibantu oleh beberapa maid. Hari ini dia akan mempersiapkan salad kesukaan Gelora, khusus untuk menantunya itu.
"Nyonya, Tuan Pragma sudah sedikit berubah yah. Tidak seperti kemarin-kemarin," celetuk salah-satu Maid yang sedang memblender buah naga.
Reani tersenyum menanggapinya. "Karena Gelora sudah datang."
"Saya turut senang Nyonya. Semoga saja Tuan Pragma, selalu diberikan kebahagian," timpal Suzie yang datang membawa beberapa jenis coklat. Rencananya dia akan membuatkan beberapa cake kesukaan Pragma dan Gelora.
"Suzie jangan lupa untuk mengambil buah blueberry juga. Gelora menyukainya," tambah Raeni saat salad buah yang ia buat sudah jadi.
"Baik Nyonya," jawab Suzie.
"Bagaimana Merry, apakah jus buah naganya sudah jadi?" tanya Raeni yang langsung diangguki oleh si empu.
Para pelayan tersebut sangat sibuk mempersiapkan beberapa kue. Sedangkan koki di dalam dapur utama, sedang sibuk menyiapkan beberapa jenis menu masakan.
"Kalau begitu saya tinggal dulu, yah, kalau sudah siap. Tolong segera panggil saya," pesan wanita itu sebelum pergi.
"Iya Nyonya," sahut Suzie sebagai kepala pelayan.
Raeni segera meninggalkan dapur. Sekarang tujuannya, adalah kamarnya. Dia akan membersihkan diri dulu, sebelum acara makan malam dimulai.
"Kenapa Mas Zaelan lama sekali yah," gumamnya melirik jam saat ia melewati ruang keluarga. Jam besar yang tergantung di dinding.
"Awas saja kalau dia terlambat," gerutunya.
"Aku mendengarnya Sayang," tegur seseorang dari belakang.
Raeni terlonjak kaget dibuatnya. Wanita itu mengusap dadanya pelan, menatap suaminya tajam.
"Kamu membuatku kaget," ujarnya.
"Maaf," ucap Zaelan sambil mengecup keningnya.
"Di mana dia?" tanya Zaelan lagi menyapu pandangannya ke segala arah.
"Di kamar bersama Pragma," jawab Raeni cepat. Wanita itu sangat peka apa yang ditanyakan suaminya.
Zaelan mendongakkan kepalanya, menatap ke atas pintu kamar Pragma yang tertutup rapat. Sebuah seringaian tipis muncul di wajahnya.
"Dasar anak itu," ucapnya dibalas kekehan kecil oleh Raeni.
"Sekarang kita harus berisap-siap, Mas." Raeni mengambil tas kerja suaminya dan menarik tangannya menjauh dari sana.
Bersambung